Cerita dari Jogja: Berharap Munculnya Para Indonesianis Muda

Cerita dari Jogja: Berharap Munculnya Para Indonesianis Muda
info gambar utama

Yogyakarta bagi saya adalah kota yang selalu memberi inspirasi dan motivasi, karena banyak memberi pelajaran bagi kehidupan. Daerah khusus Yogyakarta ini memang disebut-sebut sebagai pusat budaya Jawa di mana banyak kearifan budaya yang luhur yang berkembang sejak dulu, dan merupakan miniatur bangsa mengingat berbagai suku bangsa ada di sana.

Tentu tulisan saya bukan soal budaya, tapi pandangan saya tentang Kongres Dunia Indonesianis yang tempatnya di Universitas Negeri Yogyakarta, diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Tema dari Kongres The World Indonesianist Congress selama tiga hari (14-16 Oktober 2016) ini adalah: “Building a Better Future of Indonesia: Toward a Tolerant, Vibrant and Creative Society”.

Kementerian Luar Negeri kita memang memiliki concerns, perhatian khusus terhadap keberadaan para Indonesianis yang sebagian besar sudah sepuh dan meninggal dunia, seperti Ben Anderson, William Liddle, dsb.

BACA JUGA: Cerita dari Mesir: Di Pesawat, Ungkap Sejarah Indonesia yang Hebat

Padahal keberadaan beliau-beliau ini sangat penting bagi Indonesia, karena para Indonesianis itu adalah orang asing yang memiliki perhatian tinggi terhadap Indonesia, melakukan penelitian tentang Indonesia, dan mencintai Indonesia.

Oeh karena itu, beliau-beliau itu fasih berbahasa Indonesia, dan banyak memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan Indonesia. Para Indonesianis ini ada yang ahli antropologi Indonesia, politik Indonesia, budaya, dan bahkan ada yang ahli NU -sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, seperti Prof. Mitsuo Nakamura dari Jepang, Prof. Martin Van Bruinessen (dari Belanda), dan Greg Barton dari Australia. Ada yang menekuni gamelan, batik, Tari-tarian nusantara, dsb.

Dengan menurunnya jumlah Indonesianis itu, pihak Kemenlu menyelenggarakan Kongres ini di Yogyakarta dengan mengundang berbagai Perguruan Tinggi yang memiliki peneliti dan mahasiswa asing, serta memiliki Kantor Urusan Internasional (KUI).

Saya melihat PT-PT yang datang di Kongres itu banyak antara lain UGM, UNY, UII, Unair, ITS, Universitas Brawijaya, Unusa (yang mengirim utusannya dari GENUS -Global Engagement Unusa) dll. Dan Yogyakarta tepat dipilih Kemenlu sebagai venue Kongres, mengingat selain kota ini sebagai pusat budaya Jawa, tapi juga merupakan miniatur Indonesia.

BACA JUGA: Cerita dari Mesir: Bicara Keras Tanpa Dendam

Jumlah peserta yang hadir sekitar 400 orang dan pihak Kemenlu mengundang Indonesanis dari 43 negara, di antaranya dari Amerika Serikat, Jepang, Myanmar, Timor Leste, Korea Selatan, Australia, Inggris, Polandia, Gambia, jerman, Rusia, Cina, Yordania, Libya, dsb.

Tentu pihak Kemenlu mengharap agar para peniliti dan mahasiswa asing yang berada di Indonesia ini akan tertarik menjadi Indonesianis, yang karena pengalamannya berada di Indonesia, berinteraksi dengan masyarakat dan mengikuti perkembangan dinamika sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.

Beberapa mahasiswa asing yang saya temui kebanyakan merasakan kekagumannya tentang budaya dan masyarakat Indonesia, serta hubungan antar ras dan agama. Mahasiswa asing yang beragama Islam misalnya dari Libya, Asia Tengah (bekas negara-negara bagian Uni Sovyet dulu), Afrika, dan Pakistan, merasa bahagia tinggal di Indonesia karena mereka menemukan masjid dan musala di mana-mana.

Mahasiswa asing di ISI Yogyakarta | Foto: Dok. Penulis
info gambar

Misalkan di mal, di Kampus, di jalan-jalan, dsb. Saya informasikan pada mereka di tempat kelahiran almarhumah ibu saya di Sidoarjo kota, bisa ditemukan setiap kampung memiliki dua musala.

Rata-rata mereka sudah pergi ke berbagai daerah di negeri ini, misalnya Bromo, Bali, Lombok, Bandung, Yogyakarta dan sekitarnya. Maklum, di antara mereka sudah berada di Indonesia ini selama 2-7 tahun; dan tentu mereka fasih berbahasa Indonesia.

Cara tutur kata mereka meskipun berbahasa Inggris sudah menunjukkan bahwa mereka sudah lama tinggal di Indonesia. Santun dan sopan. Bahkan mereka yang belajar di Yogyakarta sudah memahami budaya Jawa, bagaimana berbicara bahasa Jawa halus.

BACA JUGA: Cerita dari Mesir: Ternyata, Indonesia Lebih Rapi dan Bersih dari Kairo

Pada saat acara pembukaan resmi Kongres Indoesianis Dunia ini (yang dibuka Wakil Menteri Luar Negeri Dr. Abdurrahman Mochammad Fachir), dipertunjukkan para penari asing yang belajar di ISI Yogyakarta yang membawakan tarian Jawa yang gerakannya gemulai dan halus.

Para peneliti dan mahasiswa asing itulah yang di antara mereka akan menjadi Indonesianis, karena tertarik menekuni kajian-kajian tentang Indonesia dan pemikiran-pemikiran mereka akan menjadi kontribusi yang sangat penting bagi Indonesia ke depannya.

Memang unuk melihat maju tidaknya Indonesia ini tidak bisa dari kacamata kita sendiri, maka pandangan dan kritikan dari perspektif orang luar yang mencintai Indonesia sangatlah diperlukan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini