Perempuan Tanah Jahanam di Malam yang Kelam

Perempuan Tanah Jahanam di Malam yang Kelam
info gambar utama

*Hati-hati tulisan ini mengandung spoiler

Desa dan kota selalu menjadi dua wilayah yang bertolak belakang. Desa yang penuh kesederhanaan dan kota dengan gemerlap kemewahan, desa yang selalu diselimuti keramahan dan kota kerap arogan. Tapi di film Perempuan Tanah Jahanam, desa dan kota punya satu kesamaan: malam yang kelam.

Joko Anwar kembali menunjukkan kapabilitasnya dalam meramu film horor Indonesia. Setelah sukses di Kala (2007), Modus Anomali (2012), dan sangat fenomenal di Pengabdi Setan (2017), sekali lagi pria asal Medan itu membius penonton dengan ciri khas nuansa horornya.

Sejak opening scene, film Perempuan Tanah Jahanam sudah memberi kesan mencekam. Suasana malam hari di gerbang tol, jalanan yang sunyi, mobil tua yang misterius, dan adegan kejar-kejaran Bimo (Teuku Rifnu Wikana) dan Maya (Tara Basro) menjadi pemacu senam jantung penonton yang terus dijaga Joko Anwar sampai akhir film.

Di film ini, Joko Anwar memberi bumbu-bumbu horor yang sangat detail di setiap lokasi kejadian. Dari gerbang tol, pasar tempat Maya dan Dini (Marissa Anita) berjualan baju, perjalanan menuju desa Harjosari, dan nuansa mengerikan rumah orang tua Maya di desa itu, menjadi lahan subur Perempuan Tanah Jahanam membuat bulu kuduk penonton berdiri.

Walau termasuk film horor, tapi uniknya Perempuan Tanah Jahanam sangat minim jumpscare. Kengerian di film ini bukan berasal dari setan-setan yang muncul tiba-tiba dengan rupa mengerikan, tapi dari suasana lokasi-lokasi yang didatangi pemeran utama, situasi desa Harjosari yang hampir setiap harinya ada bayi meninggal, ekspresi warga desa Harjosari yang datar, dan aura mistis yang menaungi Ki Saptadi (Ario Bayu) serta Nyi Misni (Christine Hakim).

BACA JUGA: Pretty Boys, Joker, dan Kesunyian Kelompok Minoritas

Era baru film horor Indonesia

Dalam 11 hari pertama penayangannya, film Perempuan Tanah Jahanam sukses menggaet 1.133.160 penonton. Ada alasan kuat kenapa film yang dalam versi internasional berjudul Impetigore ini bisa melakukannya.

Joko Anwar seperti dengan film-film horor karya sebelumnya, benar-benar mengeksploitasi sisi mistis di Perempuan Tanah Jahanam. Dia tidak menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek pemikat mata penonton, tidak menjajakan adegan-adegan 'panas'. Murni film horor berdarah-darah dengan corak pedesaan di Jawa yang memang, sampai sekarang, masih banyak ditemui aura mistisnya.

Bahkan, pergantian pemeran pendamping Maya dari Dini ke Ratih (Asmara Abigail) di akhir film, menunjukkan pesan moral bahwa perempuan harus berani melawan, harus mandiri menentukan nasibnya sendiri. Contohnya, Maya yang ingin segera keluar desa, dan Ratih yang berjuang mempertahankan bayi di rahimnya.

Busana dan pernak-pernik di Perempuan Tanah Jahanam juga sangat khas, sesuai dengan kultur masyarakat Jawa. Dari pakaian Nyi Misni, busana dalang Ki Saptadi dan Ki Donowongso, pagelaran wayang semalam suntuk, dan bahasan Jawa ngoko maupun kromo, menambah kuat gambaran budaya Jawa di film ini. Bukan sekadar dipaksakan.

BACA JUGA: Review Gundala: Hujan, 10% Kenangan, 90% Kekuatan

Timeline yang rapi dan kaitan semua pemeran ke alur cerita

Salah satu kelemahan utama film Indonesia, alur ceritanya sangat rapi di awal tapi menumpuk jelang akhir film, yang berimbas pada closing terburu-buru. Contoh terbaru, Gundala, yang cara mengakhiri konfliknya terasa sangat tergesa-gesa.

Di Perempuan Tanah Jahanam, Joko Anwar tidak mengulang kesalahannya itu. Dia benar-benar menyusun garis waktu yang sangat rapi, transisi scene yang sangat teratur, dan tidak ada adegan yang tergesa-gesa.

Kalau memang harus buru-buru, ya dibuat cepat, seperti saat leher Dini digorok ala Game of Thrones oleh Nyi Misni. Kalau harus diulur, ya tidak masalah, seperti flashback yang dilihat Maya sewaktu dirasuki roh anak kecil yang jadi korban pembunuhan.

Garis waktu yang rapi ini kian sempurna dengan kaitan semua pemeran ke alur cerita. Bahkan untuk cameo seperti Bimo dan Pak Polisi yang menembak kusir delman, Joko Anwar tidak hanya memberi jatah sekali tampil ke mereka.

BACA JUGA: Bebas: Kebersamaan dalam Perpisahan

Bimo ternyata suami dari Ratih, wanita penjual makanan di warung yang pada akhirnya membantu menyelamatkan Maya. Pak Polisi yang menembak kusir delman, di akhir cerita merana karena kehilangan bayinya yang dimakan arwah Nyi Misni.

Satu lagi aktor yang perlu sangat diapresiasi di film ini adalah Zidni Hakim. Pemeran Ki Donowongso (ayah Maya) ini berhasil menjadi pusat atensi di tengah cerita, dan melakukannya tanpa satu pun dialog.

Perempuan Tanah Jahanam diawali dengan malam yang mencekam di gerbang tol, dan berakhir dengan malam yang kelam di Desa Harjosari. Senjata tajam, senjata api, dan kendaraan roda empat yang membuka konflik di awal cerita, juga menjadi penutup kisah Maya yang berlari menyelamatkan diri dari Desa Harjosari.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini