Sebelum Mengajukan, Ada Baiknya Pahami Skema Restrukturisasi Kredit

Sebelum Mengajukan, Ada Baiknya Pahami Skema Restrukturisasi Kredit
info gambar utama

Kawan GNFI, dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, restrukturisasi kredit menjadi salah satu pokok bahasan yang tak pernah redup. Aturan ini tercantum dalam POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Wajar saja, karena sebagian pengguna kendaraan, UMKM, dan para pelaku usaha--lazim disebut debitur--memiliki kewajiban membayarkan cicilan kredit setiap bulannya kepada pihak pemberi pinjaman (kreditur).

Padahal, secara ekonomi mereka terdampak akibat pandemi Covid-19. Ada yang usahanya tutup, atau sebagian karyawan ada yang di rumahkan atau kena PHK. Pendek kata, boro-boro mereka ada uang buat bayar cicilan kredit, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah.

Pada akhirnya dalam kondisi ini, kreditur dan debitur sering salah tafsir dalam mengartikan restrukturisasi kredit. Buntutnya, terkait hal ini acapkali kisruh.

Apa Itu Restrukturisasi Kredit?

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita pahami bersama apa itu restrukturisasi kredit.

Restrukturisasi kredit adalah terminologi keuangan yang banyak digunakan dalam perbankan, yang maknanya adalah upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.

Restrukturisasi yang dilakukan antara lain melalui:

  • Penurunan suku bunga,
  • Perpanjangan jangka waktu kredit,
  • pengurangan tunggakan bunga kredit,
  • pengurangan tunggakan pokok kredit,
  • penambahan fasilitas kredit, dan
  • konversi kredit menjadi penyertaan modl sementara.

Dalam dunia perbankan restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

  • Debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit, dan
  • Debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.

Sementara pihak debitur dilarang melakukan pemohonan restrukturisasi kredit jika hanya bertujuan untuk menghindari:

  • Penurunan penggolongan kualitas kredit,
  • Peningkatan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA), dan
  • Penghentian pengakuan pendapatan bunga secara akrual.

Soal dasar hukum restrukturisasi kredit, tentunya telah diatur dalam undang-undang yang lengkapnya dapat kawan GNFI baca di sini.

Informasi yang Simpang-Siur

Merujuk data Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), disebutkan sejak masyarakat diperbolehkan memohon restrukturisasi kredit terkait dampak ekonomi pandemi Covid-19, ada sekira 583 ribu debitur yang mengajukan kepada perusahaan pembiayaan (leasing).

Ketua APPI, Suwandi Wiratno, mengatakan ada 183 leasing yang terus memonitor kemampuan debitur pengaju restrukturisasi kredit tersebut.

''Dengan jumlah kontrak permohonan yang masih proses kurang lebih 358 ribu dan sudah disetujui sebanyak 203 ribu. Situasi ini terus berjalan dan kami terus melakukan pendataan setiap hari, dan melaporkannya kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," jelas Suwandi dalam video conference, Selasa (28/4/2020).

Terkait hal ini, Suwandi berharap seluruh otoritas, baik itu OJK, perbankan, dan industri pembiyaan lainnya, untuk meluruskan apa yang dimaksud dari himbauan Ketua Dewan Kehormatan OJK, Wimboh Santoso, dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai diperbolehkannya penundaan bayar cicilan atau restrukturisasi kredit.

Pasalnya, kata dia, saat ini banyak masyarakat yang menyalahartikan maksud dari restrukturisasi kredit tersebut.

Baca juga:

Soal salah tafsir, GNFI punya contoh kasus yang langsung disampaikan debitur saat mengajukan restrukturisasi kredit pada sebuah leasing.

Adalah Mamay (30)--sebut saja demikian, warga Tangerang yang mencoba mengajukan restrukturisasi kredit kepada leasing motor. Ia mengatakan cicilannya tinggal lima bulan saja--dari total tenor 35 bulan.

Dalam kasus ini, cicilan bulanan Mamay adalah Rp850 ribu, namun ia masih memiliki denda keterlambatan cicilan sebesar Rp2 juta. Dengan kata lain, jika Mamay tetap menjalankan cicilan secara normal, maka sisa piutangnya adalah;

  • 5 kali masa tenor tersisa x Rp850.000 = Rp4.250.000, dan
  • Denda keterlambatan cicilan Rp2 juta untuk menebus BPKB motor.
  • Hasilnya, ia hanya perlu menyiapkan uang Rp6.250.000 dalam lima bulan agar cicilanhya lunas dan BPKB ia terima.

Namun ketika, ia mengajukan restrukturisasi kredit, ia disarankan memperpanjang masa tenor selama lima bulan. Jika ditambahkan dengan sisa masa tenornya adalah menjadi 10 bulan.

Pihak tellerleasing mengatakan bahwa denda keterlambatan cicilan akan dianggap hilang jika Mamay mengajukan restrukturisasi kredit.

Namun yang mengagetkan adalah, angka cicilannya hanya berkurang sedikit dari cicilan jika ia membayar secara normal.

Cicilan yang ditetapkan leasing kepada Mamay adalah Rp755 ribu yang harus dibayarkan saban bulan. Jika mengikuti program restrukturisasi kredit ini, Mamay harus mengeluarkan uang sekitar Rp7.550.000 agar hutangnya lunas.

Setelah ia kroscek, ternyata denda hutang tak hilang. Total angka Rp7.550.000 merupakan akumulasi dari;

  • Total sisa angsuran, Rp4.250.000
  • Denda keterlambatan cicilan, Rp2 juta
  • Plus estimasi bunga selama 10 bulan, Rp1,3 juta.

"Wah, kalo ini mah namanya bukan meringankan, malah memberatkan. Ada kebohongan soal denda keterlambatan cicilan yang katanya dihilangkan. Ternyata itu semua akumulasi," kata Mamay, Rabu (29/4).

''Kalo begini caranya mendingan bayar normal, padahal tinggal lima kali lagi. Saya pikir dengan kebijakan restrukturisasi kredit ini kita mendapatkan potongan denda keterlambatan cicilan dan potongan angsuran. Gak apa-apa deh tenornya ditambahin, asal angka angsurannya juga gak gede-gede banget," bebernya dongkol.

''Ini mah sama saja bohong, akal-akalan aja," umpatnya.

Bukan tanpa alasan Mamay mengajukan restrukturisasi kredit. Warungnya sepi sejak pandemi. Labanya drop hingga 80 persen, dari yang tadinya bisa mengantongi Rp200 ribu saban hari.

Kisah Mamay boleh jadi mewakili ribuan para pemohon restrukturisasi kredit yang gagal paham soal skemanya.

Padahal, pihak leasing, pemerintah, maupun OJK, seharusnya memberikan pemahaman dan literasi terkait hal ini, agar masyarakat kalangan awam tak merasa dibohongi.

Belum lagi soal singgungan skema libur cicilan, yang pernah disebut oleh Ketua APPI.

Baca juga:

Skema Restrukturisasi Kredit di Mata Lembaga Advokasi

Restrukturisasi kredit ini nyatanya belum menyelesaikan persoalan. Kira-kira demikian pandangan perwakilan dari Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, Indra Rusmi, dalam Hukum Online.

Salah satu persoalan yang muncul adalah sulitnya mencari titik temu antara debitur dan lembaga jasa keuangan. Hal ini, dikarenakan debitur tidak mampu menyanggupi opsi atau syarat restrukturisasi kredit yang ditawarkan bank dan leasing.

Skema restrukturisasi yang ditawarkan lembaga jasa keuangan, menurut Indra, masih menjadi soal yang memberatkan debitur.

Contoh skema yang memberatkan adalah, debitur dapat membayar bunga utang saja saat ini selama setahun. Namun, angsuran pokoknya dikalkulasikan dengan utang pokok pada tahun depan.

Begitu pun dengan skema restrukturisasi yang memberi kesempatan debitur hanya membayar utang pokoknya saja. Namun tahun depannya, debitur harus membayar utang bunga ditambah bunga dan angsuran pokok.

Skema tersebut tentunya sangat membebani debitur karena harus membayar utang pada tahun depan jadi lebih besar dari keadaan normal.

Semestinya, sambung Indra, skema restrukturisasi yang baik adalah dengan memberi penangguhan waktu pembayaran bunga dan utang pokok. Jadi, debitur tetap membayar utang pokok dan bunga seperti keadaan normal di tahun berikutnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Mustafa Iman lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Mustafa Iman. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini