Malem Selikuran, Tradisi Keraton Yogya dan Solo Sambut Malam Lailatul Qadar

Malem Selikuran, Tradisi Keraton Yogya dan Solo Sambut Malam Lailatul Qadar
info gambar utama

Cara Wali Songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa kerap menggunakan cara yang unik dan menyenangkan sehingga mudah diterima oleh masyarakat.

Di setiap momen yang berkaitan dengan Islam selalu ada cara unik untuk menyambut dan memaknainya.

Termasuk menyambut malam Lailatul Qadar, malam dimana Rasulullah Muhammad saw menerima wahyu pertama yaitu ayat Al-Quran dari Allah swt.

Malam ini juga dipercaya sebagai malam yang lebih mulia dan lebih baik dibandingkan 1.000 bulan.

Ajaran Islam percaya bahwa malam Lailatul Qadar ada pada 10 malam terakhir Ramadan di setiap malam ganjil. Itulah alasan tradisi ini disebut Malem Selikuran karena selikur sendiri berarti 21 dalam bahasa Jawa.

Dimana tanggal 21 Ramadan menjadi hari pertama dari sepertiga bulan atau 10 malam terakhir Ramadan.

Jadi, ketika umat Muslim memperbanyak amal dan ibadah pada malam ini, maka dipercaya akan mendapat pahala seribu kali lipat lebih banyak dari hari-hari biasa maupun pada hari-hari Ramadan lainnya.

Tidak hanya itu, umat Muslim juga dianjurkan untuk banyak bersedekah, merenung, introspeksi diri, dan melakukan ibadah-ibadah lain sebanyak-banyaknya selama sepuluh hari terakhir Ramadan.

Perenungan dan introspeksi diri di sepertiga bulan Ramadan itu sampai sekarang dikenal dengan i'tikaf. Kegiatan yang disunnahkan untuk berdiam diri di masjid dan beribadah sepanjang malam.

Meski begitu tidak jarang beberapa orang mengerjakan i’tikaf di rumah. Yang penting, umat muslim dapat memaknai keistimewaan malam Lailatul Qadar.

Diyakini Sejak Awal Penyebaran Agama Islam di Tanah Jawa

Malem Selikur atau sering dikenal sebagai Selikuran diyakini telah ada sejak awal penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Wali Songo yang pertama memperkenalkan ini. Cara ini dipilih sebagai metode dakwah Islam yang disesuaikan dengan budaya Jawa.

“Sing linuwih ing tafakur”

Sebuah kalimat berbahasa Jawa yang selalu diajarkan Wali Songo kala itu yang artinya ajakan untuk lebih giat mendekatkan diri kepada Allah swt.

Pada praktiknya, sebenarnya tradisi Malem Selikuran Keraton Yogya dan Keraton Solo memiliki keunikannya masing-masing.

Namun pada intinya, tradisi ini diisi dengan serangkaian kegiatan ibadah seperti qiroah Alquran, tausiyah, doa bersama, zikir bersama, dan buka puasa bersama.

Selain itu, acara ini sebenarnya diselenggarakan untuk internal keraton yang diikuti para abdi dalem dan pejabat keluarga keraton.

Malem Selikuran Ala Keraton Yogya

Malem Selikuran di Keraton Yogya
info gambar

Mengingat sejarahnya, tradisi Malem Selikuran di Keraton Yogya dimulai sejak masa Sultan Agung, Raja Kerajaan Mataram Islam Kesultanan Yogyakarta.

Kala itu penanggalan Jawa yang sebelumnya berdasarkan penanggalan matahari diubah menjadi penanggalan bulan. Seperti penanggalan tahun hijriah.

Hal tersebut dilakukan untuk menyelaraskan kegiatan kerajaan dengan peringatan hari-hari besar Islam.

Tradisi tersebut terus berjalan selama jaman kolonial Belanda. Kala itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga kerap menghadiri acara beserta para abdi dalem keraton.

Meski dikatakan sebagai Malem Selikuran (malam ke-21), Keraton Yogya menyelenggarakan Malem Selikuran justru pada tanggal 20 Pasa atau 20 Ramadan.

Acara dimulai pukul 17.00 waktu setempat dan akan berakhir setelah azan maghrib penanda buka puasa berkumandang. Yang artinya sudah berganti tanggal menjadi 21 Pasa atau 21 Ramadan.

Tradisi ini diselenggarakan di Bangsal Sri Manganti diisi dengan membaca Alquran, qiroah, tausiyah, zikir bersama, doa bersama, diakhiri dengan buka puasa bersama.

Menu masakan yang disediakan sudah ditata dalam besek (kotak dari anyaman bambu) yang berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya.

Terdapat juga buah-buahan dan susunan nasi bungkus serta jodhang yang sudah diletakkan di tengah bangsal.

Makanan ini nantinya akan dibagikan ke seluruh peserta yang hadir sebagai bentuk sedekah dari Sultan.

Setelah Malem Selikuran selesai, pada malam tanggal 21 tersebut dan tanggal-tanggal ganjil setelahnya, para abdi dalem akan menyalakan lilin-lilin saat matahari terbenam.

Lilin itu nantinya diletakkan di beberapa tempat dengan jumlah yang berbeda.

Satu buah di pintu gerbang menuju Keraton Klien, dua buah di Gedhong Sedahan, 13 buah di Gedhong Prabayeksa, satu buah di Bangsal Pengapit, dan empat buah di Bangsal Kencana.

Lilin yang berada di Keraton Klien nantinya juga akan dilengkapi dengan cawan berisi bunga dan bokor berisi air.

Masyarakat percaya bahwa pada malam-malam ganjil sepertiga bulan Ramadan, pintu surga akan terbuka dan arwah-arwah para leluhur akan datang berkunjung.

Lilin yang diletakkan itu menjadi simbol penerangan bagi jiwa yang pulang yang mewakili makna padhang atine, artinya hati yang terang.

Sedangkan air pada bokor dimaknai ayem tentrem atine (hati yang tentram). Lalu bunga dalam cawan merupakan ganda arum, semerbak memberikan keharuman.

Malem Selikuran Ala Keraton Solo

Malem Selikuran di Keraton Solo
info gambar

Tradisi Malem Selikuran di Keraton Solo konon sudah ada sejak Kerajaan Demak yang dilanjutkan oleh Kerajaan Pajang, Mataram, dan Kartasura.

Saat Pakubuwana X menjadi Raja Surakarta sekitar tahun 1893, tradisi ini akhirnya disempurnakan dengan melakukan kirab dengan rute tertentu.

Berbeda dengan ritual yang dilakukan di Keraton Yogya, Malem Selikuran di Keraton Solo dilakukan tepat pada malam ke 21 Ramadan.

Ratusan prajurit Kasunan Surakarta berbaris membawa pedang, tombak, dan panah di depan Kori Kamandungan untuk memimpin Kirab Malam Selikuran.

Sepanjang kirab, sebagian abdi dalem yang berbaris juga ada yang menabuh gamelan dan menyanyikan tembang Macapat Dandhangula, yang diambil dari Serat Wulangreh karya Sunan Pakubuwono IV.

Isinya adalah tuturannya tentang Alquran sebagai sumber ajaran sejati serta rahasia malam seribu bulan.

Kirab juga nantinya akan mengarak 1.000 nasi tumpeng yang disebut sebagai Hajad Dalem Tumpeng Sewu (seribu tumpeng) sambil didampingi oleh 1.000 lampu ting (lentera) yang dibawa oleh para punggawa keraton.

Jumlah 1.000 diambil dari malam Lailatul Qadar yang kemuliaannya lebih baik dari 1.000 bulan. Sedangkan alasan membawa lampu ting adalah untuk memaknai hal yang pernah terjadi pada Rasulullah saw. yaitu saat beliau turun dari Jabal Nur di malam yang gelap pada malam ke 21, 23, dan 25.

Kala itu para sahabat dan pengikutnya selalu membawa obor-obor untuk menyambut dan menerangi jalan beliau menuju ke rumahnya.

Kirab Malem Selikuran Keraton Solo dilakukan menuju ke Kebonraja Taman Sriwedari. Di sana akan dilangsungkan doa bersama dan 1.000 tumpeng akan dibagikan kepada masyarakat.

Pada Ramadan 2019 silam, Malam Selikuran sempat dialihkan di Masjid Agung Kauman Surakarta karena lokasi di Taman Sriwedari sedang diperbaiki.

1.000 tumpeng itu nantinya akan dibungkus kecil-kecil supaya mudah dibagikan. Isinya terdiri dari nasi gurih, cabai hijau besar utuh sebesar telunjuk jari, kedelai hitam goreng, irisan mentimun, dan telur puyuh.

Nasi putih melambangkan kesucian hati untuk menyambut sepertiga terakhir bulan Ramadan. Sedangkan sebiji cabai warna hijau melambangkan ketauhidan dan persaksian tentang keesaan Allah swt.

--

Sumber: Kraton Jogja | Merdeka.com | Rappler.com | Kompas

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini