Ramai Tapera, Ini yang Dijelaskan Para Ahli Tentang Rumah Idaman Generasi Muda

Ramai Tapera, Ini yang Dijelaskan Para Ahli Tentang Rumah Idaman Generasi Muda
info gambar utama

Bukan hanya momentum 100 tahun peringatan Kemerdekaan Indonesia, pada 2030-2040 nanti Indonesia juga bakal diprediksi akan mengalami masa bonus demografi. Kondisi tersebut digambarkan dengan dominasi jumlah penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) dibandingkan jumlah penduduk usia tidak produktif (usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).

Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah yang diproyeksikan mencapai 297 juta jiwa.

"Mereka yang betul-betul potensial, itu bisa menjadi bonus. Tapi kalau sebaliknya, itu yang akan menjadi beban nasional," kata Profesor Elly Malihah, sosiolog Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, kepada GNFI (17/6).

Mengutip Tirto, perusahaan asuransi seperti Manulife membagikan hasil riset tentang fenomena milenial di Asia. Hasilnya menyebutkan, tiga dari sepuluh milenial diprediksi akan kekurangan uang di masa pensiun. Ini merupakan ancaman bagi milenial di Asia, tak terkecuali Indonesia.

Survei Scwhab Retirement Plan Services juga mengungkap hal yang seakan mengamini hasil riset tersebut. Dengan temuannya yang menyebutkan bahwa untuk menabung sekadar 10-15 persen dari pemasukan, hampir semua milenial kepayahan untuk menyimpan separuh dari target yang disarankan para perencana keuangan.

Meski begitu, temuan Schroders Global Investor pada 2016 menyebutkan bahwa milenial pada umumnya lebih suka memenuhi kebutuhan terdekatnya. Yang mengejutkan adalah mereka lebih memilih menabung untuk membeli rumah dan untuk membiayai kebutuhan anak dalam rumah tangga nantinya.

Bonus Demografi Indonesia
info gambar

Sayangnya, dunia seolah-olah sudah memberikan stigma negatif bagi generasi Milenial, Generasi Z, sampai Generasi Alfa, terkait sulitnya mereka untuk memiliki rumah idaman di masa depan.

Perilaku konsumtif disebut sebagai salah satu penyebabnya, tetapi di sisi lain, semakin sempitnya lahan yang tersedia, lalu kenaikan harga properti yang terlampau tinggi juga menjadi alasan kuat klaim tersebut.

"Teori sederhananya adalah kenaikan upah minimum di Indonesia rata-rata 8 persen setiap tahunnya, sementara kenaikan harga properti lebih dari 20 persen di daerah Jabodetabek. Jadi nonsens bisa punya rumah kalau situasi upah dan kenaikan harga propertinya memang tidak berimbang,’’ jelas ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, kepada GNFI (17/6).

Besarnya Keinginan Memiliki Rumah

Memiliki Rumah Adalah Impian Gemerasi Muda
info gambar

Beberapa waktu lalu, isu tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi ramai dibahas setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera pada 20 Mei 2020.

Tujuannya adalah menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan layak huni dan terjangkau bagi peserta.

Caranya adalah dengan pemotongan gaji setiap bulan sebesar 2,5 persen yang dibebankan oleh penerima gaji dan 0,5 persen yang dibebankan oleh pemberi kerja.

Kebijakan ini memang menimbulkan banyak pro dan kontra, terutama para pekerja yang merasa bahwa pemotogan gaji tersebut dinilai memaksakan. GNFI menghimpun beberapa pernyataan dari riset sederhana mengenai kebijakan Tapera.

Menurut kamu, apakah Tapera akan membantu kalian dalam mewujudkan impian memiliki rumah?

"Nggak tahu, ya. Kayaknya nggak, deh. Agak belum paham juga sama sistemnya gimana. Misal gue udah ada rumah nih sekarang, terus dalam 7-10 tahun ke depan gue mau renovasi, masa iya harus nunggu Tapera cair pas pensiun? Sejatinya belum paham sistemnya gimana,’’ jelas Ririn (27)

"Enggak. Mulainya aja masih lama (2027), gue udah keburu tua," kata Widya (28)

"Tidak," kata Fany (27)

"Belum paham bagaimana sistemnya," ungkap Fitri (27)

"Mendingan uangnya untuk investasi yang tenornya sebentar-sebentar. Cuan-nya dikumpulkan, ditabung sendiri buat beli rumah nantinya. Kayaknya bakal lebih cepet gitu, deh. Supaya rumahnya kebelicepet," jelas Nur (26)

"Gak tau sih. Tapi kayaknya agak maksa ya program ini. Sebel aja karena maksa motong dari gaji," kata Tari (27).

Pernyataan itu GNFI himpun yang menggambarkan sebagian respons masyarakat. Dan hampir semuanya mengaku bahwa memiliki rumah adalah impian yang ingin mereka capai, terutama saat sudah menikah.

Menanggapi fenomena keinginan para generasi muda untuk memiliki rumah, Elly mengatakan bahwa hal tersebut merupakan awal mula yang bagus.

"Artinya, ada keinginan dia pisah dengan orang tua, dalam artian untuk mandiri. Mereka punya cita-cita ingin punya masa depan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan apa yang mereka dapatkan hari ini," jelasnya.

Stigma terkait kesempatan kepemilikan rumah yang kecil, Elly memberikan penjelasan bahwa ada sebuah kebiasaan, tingkah laku, bahkan penilaian "kolot" yang seolah-olah dapat menghambat para generasi muda mendapatkan rumah idamannya.

"Kalau paradigmanya memakai sistem bagi waris, memang betul akan terjadi perebutan lahan. Itu adalah pemikiran dan perspektif yang menurut saya perlu diluruskan. Seharusnya belajar dari negara-negara maju," ungkap Elly.

Semisal yang dicontohkan Elly adalah baik negara maupun masyarakat harus sudah mulai berpikir tentang kondominium. Menurut Elly, ini merupakan salah satu cara untuk menyikapi kenyataan tentang keterbatasan lahan.

"Jadi artinya bicara untuk perumahan itu tidak harus tanah dalam artian persegi panjang saja," katanya

Rumah yang Cocok Untuk Generasi Muda

Kondominium Ideal untuk Generasi Muda
info gambar

Selama ini orang mengidentikkan kondominium dengan apartemen. Padahal, istilah ini lebih merujuk pada sistem kepemilikan daripada bentuk. Mengutip Kompas, kondominium atau biasa disebut secara singkat sebagai kondo merupakan gabungan dari kata Latin ‘’con’’ yang artinya bersama atau bergabung, dan ‘’dominium’’ yang artinya kepemilikan atau pengendalian.

Kondominium merupakan bentuk lain hak guna perumahan. Pemilik unit kondominium mempunyai hak melakukan apa saja terhadap unit tersebut. Semisal menyewakan atau menjualnya lagi kepada orang lain.

Masih mengutip sumber yang sama, apartemen adalah model tempat tinggal berupa rumah susun. Istilah apartemen dipakai untuk menunjukkan hunian vertikal yang cenderung untuk disewakan.

Jadi, yang membedakan antara kondominium dan apartemen adalah yang satu lebih kepada hak guna, sedangkan yang lainnya adalah fisik bangunan.

Bhima menjelaskan, jika dikaji dari sisi ekonomi, jenis rumah seperti inilah yang akan lebih banyak dicari oleh para generasi muda. Di Indonesia sendiri sudah ada jenis seperti rumah susun sederhana milik atau disebut Rusunami.

"Buat milenial, tidak ada masalah. Asalkan lokasinya sangat closed dengan kantor untuk bisa menunjang produktivitas mereka,’’ tegas Bhima.

Bhima menilai bahwa salah satu tantangan generasi muda yang sedang di masa-masa produktif bukan lagi soal kepemilikan rumah. Melainkan, pertimbangan jarak antara tempat mereka pulang dengan tempat mereka bekerja.

Apalagi ini dilakukan untuk menyambut dan menunjang masa bonus demografi Indonesia.

"Biar bisa tetap produktif, harus terhubung dengan transportasi publik dan lokasinya lebih dekat dengan kantor. Bahkan dengan harga yang cukup mahal, itu tetap menjadi prioritas utama. Jadi yang dibutuhkan adalah huniannya ada dulu apa tidak," jelas Bima

Rumah Representasi Generasi Muda

Rumah Representasi Generasi Muda
info gambar

"Saya tanya ke beberapa mahasiswa saya," ujar Elly, "Di masa depan nanti mana yang akan kamu pilih, rumah atau mobil? Sebagian besar mengatakan, rumah, karena rumah adalah tempat pulang."

Melihat dari segi kedinamisan perilaku generasi muda dalam ruang lingkup pekerjaan, Elly menilai bahwa mereka cenderung mulai berpikir untuk membuat perumahan berdasarkan fungsinya saja.

"Tidak usah besar, yang penting rumah yang sehat. Apalagi mereka nanti akan super sibuk yang kalau datang ke rumah hanya untuk tidur saja," katanya.

Ditambah dengan kondisi pandemi yang melanda Indonesia sekarang, tingkah laku atau kebiasaan para pekerja sudah berubah secara drastis. Kehidupan dengan kebiasaan baru pada akhirnya membuat para pekerja, terutama generasi muda semakin sadar bahwa produktifitas tetap bisa dilakukan di mana saja.

"Saat WFH (work from home), sekalipun rumahnya kecil, maka rumah itu harus representatif. Harus nyaman sehingga mereka bisa bekerja dengan benar dan nyaman di rumahnya," jelas Elly.

Bhima mengatakan hal yang klop dengan pernyataan Elly. Di tengah berkembangnya teknologi yang ternyata mengubah kebiasaan dan menciptakan kenormalan baru dari siklus bekerja, hal tersebut juga mengubah cara berpikir dan pola hidup para generasi muda.

"Kerjaan yang sifatnya bisa work from home, membuat mereka dalam sehari bisa saja bekerja di tiga atau empat perusahaan yang berbeda. Jadi challenge untuk menunjang bonus demografi agar bisa tetap produktif adalah hunian yang dekat dengan kantor dan tidak terjebak dengan kemacetan," jelas Bhima.

Sebagai pusat bisnis di Indonesia, Jakarta masih termasuk dalam kategori 10 besar kota termacet di dunia. Lembaga pemantau kemacetan lalu lintas di Inggris, TomTom Index pada 2019 merilis bahwa Jakarta berada di peringkat 10 dari 416 negara dengan tingkat kemacetan 53 persen.

Dari hasil survei tersebut, sedikitnya Indonesia mengalami kerugian karena waktu yang hilang di tengah kemacetan mencapai 174 jam dalam setahun. Atau setara dengan 7 hari 6 jam.

Tingkat kemacetan itu sebenarnya tidak berubah jika dibandingkan dengan 2018 di mana Indonesia berada pada peringkat ke-7. Hanya saja setiap tahunnya Jakarta cenderung mengalami perbaikan setelah pernah menduduki peringkat ke-4 pada 2017.

Salah satu hal yang mendukung adalah jumlah penggunaan transportasi umum yang meningkat. Hal ini pernah dikatakan oleh Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Bambang Prihartono, pada November 2019 lalu, seperti dikutip Kompas.

Meski baru mencapai 30 persen dari target 60 persen pengguna transportasi umum di Jabodetabek, pihaknya mengklaim jumlahnya cenderung meningkat. Tahun 2015 pengguna transportasi umum mencapai 47,5 juta per hari. Lalu pada 2019 jumlahnya melonjak ke angka 88 juta per hari.

Para Ahli Mengupas Tentang Tapera

Ilustrasi Tapera
info gambar

"Tapera sebenarnya bentuk tabungan perumahan yang di-sharing antara pekerja dan pengusaha. Jadi memang skemanya seakan mirip dengan BPJS Ketenagakerjaan. Harapannya, Tapera ini bisa membantu Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang selama ini kesulitan untuk membeli rumah pertama,’’ jelas Bhima kepada GNFI.

Peserta yang memenuhi kriteria MBR adalah mereka yang berpenghasilan maksimal Rp8 juta per bulan. Syaratnya, pembiayaan ini sudah boleh diajukan oleh peserta setelah satu tahun masa kepesertaan Tapera. Dengan syarat, minimal usia 20 tahun.

Di sisi lain, Bhima merasa bahwa kebijakan tersebut diakui agak membingungkan bagi generasi muda. Terutama terkait tingkah laku mereka yang cenderung kerap pindah pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan mereka bisa memiliki tempat kerja lebih dari dua.

"Ini jadi challenge," kata Bhima, "Katakanlah dua tahun (sudah bekerja), terus pindah ke tempat kerja yang lain. Nah, itu gimana? Berarti harus memulai ulang lagi untuk Tapera?"

Meskipun sebenarnya bagi para pekerja mandiri, iuran sebesar 3 persen itu memang harus ditanggung oleh mereka sendiri.

Setelah teken pertama dari Presiden, kepesertaan Tapera ini akan diterapkan pada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merupakan eks peserta Tabungan Perumahan sebelumnya yang disebut Taperum.

Secara bertahap, kepesertaan ini selanjutnya akan diperluas ke segmen pekerja penerima upah di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usha Milik Daerah (BUMD), dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Terakhir perluasan kepesertaannya akan ke TNI/Polri, pekerja swasta, pekerja mandiri, hingga pekerja sektor informal dalam jangka waktu tujuh tahun setelah peraturan disahkan.

Lalu, bagaimana yang sudah punya rumah?

Karena ini bersifat wajib, maka simpanan peserta tersebut dapat diambil pada akhir masa kepesertaan. Simpanan ini sifatnya memang akan dikelola dan diinvestasikan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera secara transparan bekerja sama dengan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), bank kustodian, dan manajemen investasi.

Bhima memang mengkritisi soal pengelolaan dana simpanan Tapera yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan BPJS Ketenagakerjaan. Hal inilah yang mendorong polemik di tengah masyarakat.

"Sektor pengelolaan dana publik ini sebelumnya sudah banyak yang skeptis," katanya sambil mencontohkan kasus seperti Jiwa Sraya dan Bumi Putera.

Meski begitu pemerintah memang diberikan waktu dua tahun terkait pembuatan aturan turunannya pasca undang-undangnya disahkan.

Elly pun tak luput mengomentari kebijakan ini. "Kalau saya sih positif anak-anak muda yang baru bekerja sudah diarahkan untuk berhemat, menabung, dengan dalih apa pun. Itu mengajarkan mereka untuk efisien. Supaya stigma negatif terhadap anak muda memudar,’’ katanya.

Menurut Elly, keinginan untuk memiliki rumah memang harus dibarengi dengan sebuah paksaan selama berada di dalam koridor yang benar. Apalagi ini terkait persiapan masa depan para generasi muda nantinya.

"Dengan paksaan seperti itu, mau tidak mau suatu hari nanti dia jadi punya (rumah). Kalau sengaja beli, biasanya pada akhirnya pinjam ke bank," katanya.

Direktur Pemasaran Perumnas, Anna Kunti Pratiwi, pernah mengungkap bahwa 70 persen milenial calon pemesan rumah dari pengembang pelat merah tersebut akhirnya terpaksa harus gagal beli, dikutip dari Detikcom

Ini karena mereka tersandung proses BI Checking melalui Informasi Debitur Individual (IDI) Historis yang mencatat lancar atau tidaknya pembayaran kredit seseorang. Alasan yang mendominasi terkait banyaknya milenial tak lolos pemutihan BI Checking adalah kebiasaan yang konsumtif.

"Misalnya punya tagihan kartu kredit yang belum lunas, kemudian untuk cicilan dari barang konsumtif lainnya juga pasti tercatat di data perbankannya. Itu yang menyebabkan eligibility yang masuk ke dalam persyaratannya itu menjadi terbatas,’’ imbuh Anna.

Yang Harus Dilakukan Generasi Muda

Ilustrasi Kebutuhan Papan
info gambar

Karut-marut tentang Tapera ini kemungkinan masih bisa terjadi sampai aturan turunannya terbentuk dengan sempurna. Setelah tuntas, diharapkan tidak ada lagi kebingungan di tengah masyarakat, terutama generasi muda yang sudah mulai menuliskan mimpi-mimpinya di masa depan. Salah satunya adalah memiliki rumah idaman.

Lalu bagaimana generasi muda menyikapi ini?

Dua ahli ini memberikan pandangan dan pendapatnya.

Elly mengatakan, "Kita memang harus bercita-cita bisa hidup di rumah yang aman dan nyaman, sehingga kita bisa bekerja dari rumah, bisa berkreasi, bisa berinovasi, bahkan bisa memengaruhi orang-orang ke hal-hal yang lebih baik. Jadi, kalian tetap harus punya tempat pulang bagaimanapun caranya.’’

Sedangkan Bhima memberi saran, "Selama masih dikasih tolerasi tujuh tahun, lebih baik wait and see sambil memberikan masukan kepada pemerintah. Apa sih yang sebenarnya milenial Indonesia ini butuhkan dari sisi perumahan? Ketersediaannya? Atau permasalahan mahalnya DP, kah? Atau mahalnya bunga? Itu juga pengaruh."

Jadi, sudah sampai mana tabungan dan persiapan Kawan GNFI untuk beli rumah?

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

DY
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini