Merenungi Hubungan Antara Bung Karno, Pancasila, dan Milenial

Merenungi Hubungan Antara Bung Karno, Pancasila, dan Milenial
info gambar utama

Pertama kali menginjakkan kaki di Flores, Nusa Tenggara Timur, 2017 silam, saya dan keluarga menyempatkan untuk napak tilas di Ende, sebelum benar-benar pergi ke Pulau Komodo. Kala itu saya berjalan ke salah satu daerah di Kelurahan Rukun Lima.

Saya memicingkan mata berusaha menangkap sebuah sosok yang sedang terduduk diam di sana. Kaki kirinya menyilang, tangan di atas lutut, wajahnya menatap kosong ke arah pantai.

Saya pun ikut menatap ke arah objek yang sedang dia pandangi.

Hanya pantai yang terlihat dengan angin sepoi khasnya yang terasa. Menyejukkan seiring pohon sukun itu bergeliat mengikuti arah angin menggerakkan.

Pohon ini yang mungkin jadi satu-satunya saksi hidup kala dia pernah berbisik, mengatakan segala benaknya tentang kecintaannya terhadap negeri ini.

Saya tatap lagi wajahnya. Sayang, saya tidak bisa duduk di sampingnya meski sudah ada kursi panjang di sana. Benar-benar sangat menggambarkan kesendiriannya kala pengasingannya waktu itu.

Tatapannya masih kosong. Namun saya masih berusaha mengajaknya bicara seolah dia mendengar dan mengerti.

Patung Bung Karno di Taman Renungan Bung Karno, Ende, Flores
info gambar

‘’Bung, kondisinya berbeda kini. Pancasila hasil renunganmu malah diperdebatkan. Banyak dari kawan-kawanku merasa Pancasila, tapi di sisi lain dia malah jadi menghujat orang lain hanya karena menilai orang tidak sesuai dengan Pancasila sesuai tafsirannya.’’

‘’Mereka bilang, generasiku jadi generasi penentu dan ujung tombak penerus Pancasila-mu. Setelah para saksi sejarah habis dipanggil Tuhan, aku bingung apa yang harus aku lakukan. Harus aku apakan Pancasila-mu?’’

Diam.

Angin sepoi berhembus membuat aroma tanah tercium.

Tentu saja, replika Bung Karno itu tak akan pernah menjawab.

Pelajaran Pancasila yang “Tergantikan”

Ilustrasi Lambang Garuda
info gambar

Satu-satunya pintu gerbang untuk mempelajari Pancasila hanya dengan belajar sejarah. Saya pribadi tak bisa menafikan, ketika sekolah dimulai SD, SMP, SMA, Pancasila hanya sebagai euforia setiap tanggal 1 Juni.

Di masa perkuliahan, dua satuan kredit semester berjudul Pancasila saya anggap hanya formalitas. Dosen dan mahasiswa hanya berusaha sama-sama menghabiskan kewajiban proses di kelas sebagai mata kuliah dasar di tahun pertama kuliah.

Justru hal ini yang akhirnya kini membuat saya penasaran. Padahal saya tahu—hanya sekadar tahu—betapa pentingnya landasan negara itu untuk saya dan negeri ini. Sampai pada akhirnya saya menemukan fakta menarik.

‘’Pada tahun 1989, mata pelajaran humaniora (Pancasila dan kebudayaan) seolah-olah termarjinalkan karena visi pembangunan pendidikan orde baru berganti. Dari yang berbasis kebudayaan, kemanusiaan, kemasyarakatan, kemudian berganti menjadi ilmu pengetahuan dan teknologi.’’

‘’Karena arahnya adalah percepatan industri. Disitu lah pelajaran sains seolah-olah menjadi primadona,’’ ungkap Sumardiansyah P. Kusuma (Rian), Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) pada webinar Bung Karno, Pancasila, dan Milleniial pada 21 Juni 2020.

Oleh karena itu, Rian mengatakan, guru-guru sejarah yang kini menjadi pendidik Pancasila berperan sebagai garda terdepan di ruang kelas bagi siswa di sekolah.

‘’Meskipun guru sejarah tidak bisa dikatakan memonopoli pelajaran sejarah. Sesungguhnya yang terpenting adalah bagaimana kita membumikan Pancasila melalui keteladanan di ruang kelas. Belajar dari sejarah adalah awal yang harus dilalui untuk bisa mengenal apa itu Pancasila,’’ jelasnya.

Bung Tjokro: ‘’Milenial yang Jadi Korban’’

Ilustrasi Generasi Milenial
info gambar

Pernyataan Rian semakin klop dengan yang disampaikan oleh seorang milenial bernama R. M. E. Tjokrosantoso yang lebih dikenal Bung Tjokro, yang merupakan anak dari saksi sejarah Joyo Tjokrosantoso.

‘’Jujur, kita generasi muda Indonesia terlihat seperti krisis identitas. Di semua elemen. Kita tidak punya figur, tapi kita lah yang bisa menjadi figur,’’ ungkap Bung Tjokro pada acara webinar yang sama dengan Rian.

Beruntung. Bung Tjokro adalah salah satu dari generasi milenial yang sejak lahir sudah sangat dekat dengan sejarah. Meski ada perbedaan usia 54 tahun antara dia dengan ayahnya, tetap saja membuat dia masih terasa sangat dekat dengan momen kemerdekaan dan momen pengesahan Pancasila pada 18 Agustus 1945 silam.

‘’Ayah saya orang yang ikut dan hadir dalam pembacaan teks Proklamasi. Saat itu (ayah) masih berusia 15 tahun dan tugasnya untuk mengurusi segala hal keperluan pembacaaan Proklamasi di rumah Bung Karno,’’ ungkapnya.

Mengenai tentang generasi milenial, Bung Tjokro seolah tidak mau menafikan keadaan. Dia juga mengungkapkan kekesalannya ketika banyak sekali pembicara yang mengatakan bahwa generasi milenial itu adalah generasi yang paling menghancurkan Indonesia.

‘’Jadi kita ini (generasi milenial) adalah korban. Korban dari generasi sebelumnya yang tidak mengajarkan kami tentang pendidikan Pancasila. Banyak dari mereka (generasi milenial) yang mengaku bahwa mereka tidak terlalu diajarkan tentang nasionalisme dan Pancasila secara detil. Kita cuman diajarkan tanggal, bulan, tahun, dan menghafal,’’ jelas Bung Tjokro.

Melihat kondisi tersebut, bukan lagi waktunya saling menyalahkan. Bung Tjokro akhirnya menyimpulkan bahwa implementasi Pancasila harus dikembangkan dengan era dan generasi penerus masing-masing. Tentu saja pengembangannya akan sangat berbeda.

‘’Karena peperangan kita berbeda dengan (masa) kolonial. Peperangan kita yang terbesar adalah kemiskinan dan tiga hal terbesar. Korupsi, terorisme, dan narkotika,’’ katanya.

--

‘’Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan saudara sendiri.’’

Bung, rasanya benar yang kau katakan.

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini