Parijs van Sumatra yang Terlupakan

Parijs van Sumatra yang Terlupakan
info gambar utama

Chairil Anwar pernah berkata, ‘’Ketika Medan tumbuh menjadi kota yang makmur, terbuktilah apa yang kerap diucapkan oleh Dr. H Van Der Veen, guru ilmu bumi yang diucapkannya sering diajarkan kepada anak- anak sekolah Sumatra: ‘Molukken is het verleden, Java is het heden en Sumatra is de toekomst’. Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang, dan Sumatra adalah masa depan.’’

Chairil mengatakan begitu pasalnya Medan sedang menjadi kota tanda kemakmuran dan representasi keajaiban ekonomi perkebunan—khususnya tembakau—sekaligus revolusi. Selain tembakau, komoditas-komoditas unggul lainnya yang membuat Medan tersohor adalah karet, kelapa sawit, dan sejumlah tanaman lainnya.

Terutama tembakau sebagai pembungkus cerutu dari Deli. Saking dikenalnya tembakau Deli, komoditas pala dari Maluku, kopi atau teh dari Jawa, seolah-olah kalah pamor dan terlupakan di Medan.

Selama ini Kawan GNFI mungkin hanya mengetahui kota Bandung sebagai Parijs van Java, sebenarnya Indonesia pernah punya dua kota “Paris”. Sebelum ada Bandung sebagai Parijs van Java, di Sumatra, Medan pernah dijuluki sebagai Parijs van Sumatra.

Kota yang dikenal Tanah Deli ini sempat populer di kalangan orang Belanda sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20. Tembakau Deli—yang menjadi komoditas utama kota Medan kala itu—disebut-sebut sebagai tembakau terbaik dan menjadi tembakau favorit oleh orang-orang Eropa.

Awalnya, Parijs van Sumatra adalah bentuk ‘’kompetisi’’ Belanda karena kala itu di tahun yang sama Inggris sudah membangun Pulau Pinang dan Singapura untuk menjadi koloni Inggris di sepanjang Semenanjung Malaya. Pembangunan kota koloni yang dilakukan Belanda dan Inggris merupakan simbol kesuksesan.

Dibangun oleh Para Deliaan

Paris van Sumatra
info gambar

Deliaan alias Belanda-Deli yang membuat Medan identik dengan suasana Eropa sehingga muncul istilah Parijs van Sumatra. Memang, karakteristik Deliaan kala itu memang sangat ke-barat-barat-an. Pasalnya mereka dikenal sebagai pemabuk, kasar, dan benci pada birokrasi.

Meski begitu, Deliaan sangat menjiwai pesona Paris yang mereka bawa sampai Medan. Paris yang romantis dan penuh dengan orang-orang yang mampu bekerja keras, adalah karakter dan etos yang mereka bawa ke Medan.

Tak heran Medan pernah sempat dihiasi oleh gedung-gedung bercorak art deco bercat putih, beragam monumen, dan simbolisasi di ruang publik yang erat kaitannya dengan perkebunan tembakau, citra Eropa, dan aktualisasi kebanggaan diri dari seorang Deliaan.

Bahkan segala hal yang menjadi tren di Eropa kala itu mentah-mentah diimpor oleh para Deliaan untuk menjadi bagian utama dari budaya baru perkotaan di Medan. Salah satunya tren yang pernah ramai di Medan saat itu adalah Baret Perancis, pertunjukan opera, hingga bacaan roman picisan bertema percintaan dan detektif khas Paris.

Pokoknya apa yang menjadi tren di Paris, maka bisa segera ditemukan di Medan. Para Deliaan ini yang membawanya. Keasrian kota Paris benar-benar tergambar di Medan. Selain kekhasan dengan gedung-gedung putih, suasana asri dilengkapi dengan petak-petak rumput hijau nan segar pun menyelimuti kota Medan.

Jalanan kota dulu selalu bersih, disirami setiap pagi dan sore hari. Kala malam menyambut, di sudut-sudut utama kota terlihat terang dihiasi lampu gas yang memendar.

‘’Medan sebagai pusat perkebunan dijiwai oleh semangat kemajuan, keberanian, dan kerja keras. Sejarah dan orang-orang di sana diresapi oleh semangat itu. Di sini orang tidak suka kelambanan, mereka harus aktif. Penduduk Medan bersifat internasional dan yang terutama adalah unsur Barat,’’ ungkap H. Blink dikutip Harian Sejarah.

Perang Dunia II Pecah, Parijs van Sumatra Terlupakan

Perang Dunia II
info gambar

Layaknya Paris atau Medan yang menjadi ‘’bayangan’’ Paris, turut ''hancur '' setelah Perang Dunia II pecah. Suasana Medan sontak berubah drastis. Perang membuat Medan juga berhenti berkembang, mengikuti terhentinya perkembangan di Paris.

Perang Dunia II turut membuat citra Medan sebagai salah satu kota terkemuka di Hindia Belanda, sebagai kota ‘’masa depan’’, seketika tenggelam. Parijs van Sumatra itu kini telah hilang dan yang ada hanya kenangan jejak perubahan mentalitas masyarakat Medan yang sangat mirip dengan masyarakat Paris.

Ditinggalkan para Deliaan, banyak bangunan-bangunan tua bercat putih itu tidak terawat, diterlantarkan, dirombak, bahkan sampai dihancurkan. Satu sisi, Medan tak mau lagi dibayang-bayangi oleh kenangan kolonial karena kini Medan sudah menjadi kota maju dan metropolis Indonesia. Tidak ada lagi Hindia Belanda.

Sejarah pernah mengisahkan bahwa pada masa kolonial, para Deliaan yang sebagian besar adalah para elit onderneming (pengusaha tembakau) dulu memang kerap memonopoli perkebunan tembakau di Deli. Bukan hanya monopoli hasil kebun, melainkan monopoli pekerja.

Para kuli harus bekerja 10 jam per hari, 7 hari perminggu, dan hanya mendapatkan liburan satu hari per dua minggu saat gajian. Setelah kemerdekaan, kasus perbudakan ini, warisan buruk perkebunan kolonial kala itu perlahan dilupakan. Meski sayangnya berjalan beriringan dengan dilupakannya Parijs van Sumatra.

--

Sumber: Historia | Harian Sejarah | Wikipedia | Indozone

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini