Harimau Sumatra dan Peradaban Masyarakat Sumatra yang Sakral

Harimau Sumatra dan Peradaban Masyarakat Sumatra yang Sakral
info gambar utama

Perburuan liar dan terutama penggundulan hutan yang dilakukan secara masif hingga perluasan perkebunan sawit diduga membuat habibat harimau sumatra kian terancam. Berbagai alasan kerap dilontarkan, seperti menyempitnya lahan untuk manusia, sehingga keberadaan harimau yang salah.

Dikisahkan Mongabay Indonesia, sepanjang tahun 2019 diketahui ada sejumlah konflik hewan Panthera trigis sumatrae ini dengan manusia di sepanjang pulau Sumatra. Seperti di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, dan Sumatra Selatan.

Padahal sebenarnya bukan keberadaan harimaunya yang salah, melainkan manusianya yang kerap mengusik kehadiran harimau. Sangat disayangkan memang di tanah kelahirannya, harimau sumatra harus merasa terasingkan dengan manusia Sumatra.

Hingga tahun 2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan bahwa populasi harimau sumatra tinggal tersisa 603 ekor di Indonesia. Dan 50 persen di antaranya berada di luar habitatnya. Tren pertumbuhannya masih memperlihatkan tren turun, itulah alasan harimau sumatra berstatus kritis atau critically endangered.

Harimau Sumatera
info gambar

‘’Sebenarnya ada tradisi yang hidup selama ratusan tahun yang menjelaskan hubungan harmonis manusia dengan harimau pada sebuah komunitas masyarakat di Sumatra. Baik yang berada di sepanjang Bukit Barisa, dari Lampung hingga Aceh, juga sepanjang pesisir timur dan barat Sumatra,’’ ungkap Husni Tamri, budayawan dari Palembang dikutip Mongabay Indonesia (18/12/2019).

Sudah dipercaya bahwa sebelum ada manusia, harimau merupakan satwa dengan ‘’derajat’’ paling tinggi di hutan. Dari kisah yang dituturkan secara turun-temurun hingga kini, para leluhur manusia di seantero Sumatra memandang harimau sebagai ‘’seseorang’’ yang dituakan yang harus dihormati.

Atas dasar sikap itu, seharusnya masyarakat melahirkan sebuah tradisi atau budaya untuk menjaga keberadaan harimau. Terutama harimau Sumatra yang kini sudah sangat terancam punah.

Berikut adalah beberapa peradaban masyarakat Sumatra yang sejak dulu ditanamkan kala harus hidup berdampingan dengan harimau.

Aceh

Masyarakat Aceh biasa menyebutnya dengan rimueng yang dikenal memiliki nilai-nilai mistis. Hal ini tertulis dalam buku karya penulis asal Belanda, Henri Carel Zentgraff berjudul Atjeh. Zentgraff diketahui menjelaskan harimau hitam dan harimau putih sebagai penjaga makam tokoh-tokoh yang diyakini keramat.

Diketahui makam Teuku Cot Bada di daerah Kabupaten Pidie, Kota Sigli, Aceh, kerap didatangi oleh rimueng menjelang waktu shalat maghrib.

Gunung Kerinci

Salah satu masyarakat yang tinggal di gunung yang terletak di Provinsi Jambi dan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatra Barat ini juga diketahui sangat menghormati harimau. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan rimau.

Mereka percaya jika manusia dan masyarakat sopan memasuki hutan, maka sang rimau tidak akan mengganggu. Saking menghormati keberadaannya, saat ditemukan ada rimau mati maka masyarakat akan menggelar tarian yang disebut Ngagah Harimau. Yang artinya menghibur roh harimau.

Hal ini dilakukan dan dipentaskan sebagai kegiatan ritual agar harimau dan masyarakat bisa hidup dengan damai tanpa ada konflik atau saling menyerang. Rimau tidak menyerang manusia, manusia pun tidak menyerang rimau.

Sumatra Utara

Warga Sumatra Utara menyebut harimau dengan ompung yang artinya ‘kakek’ dalam Bahasa Batak. Sama halnya memperlakukan seorang kakek, sebutan ompung untuk harimau pun merupakan tanda hormat masyarakat Sumatra Utara kepada harimau.

Hal ini beralasan sebab di kalangan masyrakat suku Batak, Sumatra Utara, terkenal dengan legenda Babiat Sitelpang. Babiat Sitelpang adalah harimau pincang yang konon menjaga ibu serta seorang anak yang diasingkan ke dalam hutan.

Atas penghormatannya tersebut, perilaku masyarakat Sumatra Utara saat memasuki hutan atau membuka ladang pun akan ada menggelar ritual meminta izin terlebih dahulu kepada Babiat Sitelpang. Ini karena Babiat Sitelpang dikenal sebagai penguasa hutan.

Selanjutnya menurut kepercayaan masyarakat Batak Mandailing, ketika melihat ompung masuk ke dalam kampung itu artinya ompung ‘’mendeteksi’’ ada warga kampung yang telah berbuat dosa.

Minangkabau

Sama halnya dengan masyarakat Sumatra Utara yang menghormati harimau sebagai yang dituakan, masyarakat Minangkabau juga melakukan hal serupa. Pasalnya hewan ini dipanggil dengan sebutan datuak atau inyiak yang artinya kakek atau nenek.

Ya, Kawan GNFI mungkin sudah tahu bahwa istilah Datuak kemudian menjadi inspirasi aliran ilmu bela diri yang disebut silek (silat) harimau. Ilmu bela diri ini pun menggunakan senjata kecil yang disebut kurambik. Bentuknya seperti pisau kecil serupa cakar harimau.

Bengkulu

Agak sedikit berbeda dengan masyarakat Sumatra lainnya, masyarakat Bengkulu justru memiliki kepercayaan bahwa ketika harimau memakan hewan ternak milik warga, secara tidak langsung itu adalah peringatan untuk warga setempat yang berperilaku kurang baik.

Salah satu penulis novel Motinggo Busye pernah mengisahkan tentang Tujuh Manusia Harimau. Motinggo Busye menulis kisah itu berdasarkan cerita rakyat tentang tujuh manusia harimau yang hidup di Bukit Sarang Macan, Desa Ladang Palembang, Kabupaten Lebong, Bengkulu.

Legenda ini juga pernah disinggung William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra (1984).

-

Itulah beberapa peradaban masyarakat seantero Sumatra yang ternyata tak bisa lepas dari kehadiran harimau, khususnya harimau sumatra, hewan endemik Sumatra. Jika kawanan harimau itu hilang, dipindahkan, atau bahkan punah, para budayawan menilai bahwa ini sama saja memusnahkan tradisi atau budaya luhur yang sudah ditanam sejak ratusan tahun lalu.

Terutama terkait budaya bijak dan arif terhadap lingkungan dan spesies yang hidup di dalamnya.

--

Sumber: Mongabay Indonesia | Liputan6 | Detik.com

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini