Menyusuri Labirin Air Hitam di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah

Menyusuri Labirin Air Hitam di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah
info gambar utama

Kewan GNFI, Pulau Kalimantan ditetahui memang memiliki banyak taman nasional (TN) dengan keanekaragaman flora dan faunanya. Tercatat ada delapan taman nasional yang tersebar di Kalimantan, yakni TN Betung Kerihun, TN Bukit Baka Bukit Raya, TN Danau Sentarum, TN Gunung Palung, TN Kayan Mentarang, TN Sebangau, TN Kutai, dan TN Tanjung Puting.

Dua nama terakhir adalah taman nasional yang tertua yang dinobatkan sejak 1982. Sementara yang terbaru adalah TN Sebangau yang baru diperkenalkan pada 2004.

Terletak di Provinsi Kalimantan Tengah, Kompas Travel menyebut bahwa TN Sebangau tergolong unik, karena sebagian besar merupakan ekosistem rawa gambut. Sementara secara administratif, TN Sebangau mencakup tiga wilayah, yakni Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Pulang Pisau.

Sebelum dinobatkan sebagai taman nasional, Sebangau merupakan hutan produksi yang dikelola beberapa Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan semenjak berakhirnya izin HPH, pembakaran lahan pun kerap terjadi di kawasan itu yang hingga kini bekasnya masih jelas terlihat.

Pemerintah daerah menyebut bahwa Palangkaraya tidak memiliki banyak sumber daya alam seperti wilayah lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih menitikberatkan untuk mengembangkan sektor pariwisata.

Surga habitat liar

Taman nasional seluas 568.700 hektare itu juga menjadi lokasi ekowisata, terutama bagi kawan GNFI yang ingin melihat langsung flora dan satwa liar.

Di sana, tercatat 808 jenis tumbuhan ada di sana, 15 jenis mamalia, 182 jenis burung, dan 54 spesies ular. Bahkan jenis flora yang tumbuh di kawasan tersebut sangat spesifik, serta memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Salah satunya adalah Ramin, kayu yang jadi bahan baku mebel. Ramin selalu dicari karena kayunya kuat dan tahan air.

Sementara beberapa satwa liar, seperti Orangutan, Bekantan, Beruang madu, Owa, Burung Rangkong, dan Monyet ekor panjang, juga dapat kawan lihat dengan leluasa jika mengarungi jalur-jalur rawa bak labirin di taman nasional itu.

Menikmati labirin Sebangau

Secara umum, ada tiga wilayah untuk mengakses taman nasional ini, namun lokasi yang paling mudah diakses adalah melalui Sungai Koran, di pinggiran Kota Palangkaraya. Kawan GNFI bisa menyewa mobil dari Kota Palangkaraya atau Bandara Tjilik Riwut menuju Desa Kereng Bangkirai dengan perjalanan sekitar 15-20 menit.

Sungai Koran juga terkenal unik, karena memiliki air berwarna hitam. Warna itu muncul dari kandungan tanin (tannin) yang tinggi. Kandungan tanin adalah zat yang berasal dari bahan organik seperti ranting dan kayu yang terlarut dalam air, dan menjadikan air berwarna coklat kehitaman.

Kandungan tanin pula yang membuat air jenis ini berasa kesat dan agak pahit, tak seperti air rawa pada umumnya yang terasa tawar atau payau. Tak heran memang, karena pada kedalaman 1-17 meter di bawah sungai terdapat gambut.

Keunikan air sungai ini membuatnya dijuluki sebagai cermin hitam yang memesona. Selain berair hitam, jalur Sungai Koran banyak ditumbuhi tumbuhan sejenis pandan yang memiliki duri di bagian daun dan batang.

Kawan GNFI dapat menikmati perjalanan sungai ini dengan menyusuri labirin-labirin selama 3-4 jam, dengan menyewa kelotok--sejenis perahu motor--seharga Rp500 ribu sekali sewa yang dapat diisi paling banyak tiga orang wisatawan, dan didampingi dua pemandu.

Selain menikmati perjalanan air dengan kelotok, kawan juga berkesempatan memancing di sungai ini. Dari aktivitas itu, kawan GNFI bisa mendapatkan Ikan Kerandang dengan berat rerata mencapai setengah kilogram dan juga Ikan Toman, dengan berat yang mencapai tiga kilogram.

Jika kawan GNFI menikmati labirin di Sungai Koran pada sore hari, maka akan banyak sekali Orangutan sedang memetik daun yang nantinya digunakan sebagai alas tidur.

Musim hujan pada bulan Desember hingga Februari adalah waktu terbaik menyambangi taman nasional ini, Kawan GNFI bisa menyusuri Sungai Koran menggunakan kelotok tanpa harus menjajak kaki di area gambut.

Sementara jika mengunjunginya di luar kurun itu, atau musim panas, maka kawan terpaksa harus menjelajah sebagian labirin-labirin tadi dengan menceburkan kaki ke lahan gambut atau rawa karena kelotok tak bisa melintas karena air surut.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Mustafa Iman lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Mustafa Iman.

Terima kasih telah membaca sampai di sini