Ngerebeg Mekotek, Tradisi Tolak Bala ala Desa Adat di Bali

Ngerebeg Mekotek, Tradisi Tolak Bala ala Desa Adat di Bali
info gambar utama

Tak hanya tersohor oleh keindahan pantai, Bali rupanya juga dikaruniai budaya dan tradisi yang menarik. Masyarakat setempat maupun turis mancanegara bisa dibuat kagum dengan kekayaan tradisi dan budaya yang dimiliki Pulau Seribu Pura tersebut.

Salah satu tradisi Bali yang menarik adalah Ngerebeg Mekotek. Tradisi atau ritual Mekotek merupakan adat khas Desa Adat Munggu di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Mekotek dilakukan setiap enam bulan sekali menurut penanggalan Hindu, tepatnya pada hari Sabtu (Saniscara) Kliwon Wuku di Hari Raya Kuningan atau setelah Hari Raya Galunggung.

Mekotek pada awalnya adalah sebuah tradisi Kerajaan Mengwi yang mana menjadi salah satu kerajaan di Bali zaman dahulu. Di tempat asal Mekotek inilah dulu nya merupakan lokasi Kerajaan Mengwi yang ada pada abad ke-18 Masehi.

Berawal dari kemenangan Kerajaan Mengwi

Pura Taman Ayu, salah satu warisan dari Kerajaan Mengwi © Bali Gateway
info gambar

Tradisi Mekotek pada awalnya dilakukan untuk menyambut kedatangan para pasukan Kerajaan Mengwi. Sambutan tersebut diberikan lantaran Kerajaan Mengwi menang dalam peperangan melawan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi, Jawa Timur.

Kerajaan Blambangan sendiri adalah wilayah yang berhasil ditaklukan Dinasti Mataram tepatnya oeh Kesultanan Kartasura (Kasunanan Surakarta). Pada tahun 1743, pemimpin Kasultanan Pakubuwana II menyerahkan wilayah Kerajaan Blambangan kepada VOC atau Belanda.

Blambangan yang berhasil lepas dari Mataram membuat Kerajaan Mengwi berniat untuk merebut wilayah di Banyuwangi tersebut yang dinilai sangat strategis dan menguntungkan.

Hanya dipisahkan oleh selat dengan Kerajaan Mengwi, Blambangan juga menjadi benteng terakhir untuk membendung masuknya pengaruh Islam ke pulau yang mayoritas beragama Hindu. Invasi militer yang dilakukan oleh Mengwi di Blambangan tersebut kemudian memicu peperangan. Dari perang tersebut lah Kerajaan Mengwi berhasil menang melawan Blambangan.

Sempat diberhentikan oleh Pemerintah Belanda

Tradisi Ngerebeg Mekotek © Jurnalistic & Photography

Tradisi Mekotek sempat diberhentikan sementara oleh pemerintah kolonial pada tahun 1915 atau saat kolonial Hindia Belanda menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara.

Hal tersebut dikarenakan pemerintah kolonial khawatir tradisi tersebut bisa memantik pemberontakan hingga perlawanan kepada pemerintah Belanda.

Namun, beberapa waktu setelahnya sebuah wabah penyakit menyerang Desa Munggu dan kawasan disekitarnya yang menjadi penyebab banyak orang meninggal. Pemuka adat hingga masyarakat Desa Munggu pun meminta tradisi Mekotek diizinkan untuk kembali diselenggarakan sebagai tradisi tolak bala.

Sempat mengalami penolakan dari pihak Belanda, akhirnya Mekotek pun dilaksanakan kembali setelah melalui negosiasi dan meningkatnya korban akibat wabah.

Pada tahun 1946 tradisi Mekotek dilanjutkan setelah warga Munggu terbebas dari gerubug atau wabah penyakit. Setelah itu Mekotek menjadi ritual untuk tolak bala, memohon perlindungan dan keselamatan dari penyakit dan juga daya tarik wisatawan.

Awalnya, perayaan Mekotek ini dilakukan menggunakan besi atau tombak yang merupakan senjata prajurit Blambangan. Namun, karena faktor keamanan akhirnya tombak ataupun besi tersebut digantikan dengan tongkat galah dari kayu pulet dengan panjang 2 hingga 3,5 meter sejak tahun 1948.

Diikuti oleh remaja laki-laki hingga bapak-bapak

Para pemuda yang mengikuti Tradisi Mekotek © Jurnal & Photography

Mekotek dilakukan sebagai perayaan kemenangan dharma kebaikan melawan adharma atau kejahatan. Tradisi ini biasanya diselenggarakan oleh 12 banjar yang ada di Desa Adat Munggu dan dilakukan di depan pura.

Sebelum Mekotek dimulai para peserta harus menggunakan pakaian adat madya berupa kancut dan udeng batik sebelum berkumpul di Pura Dalem Muinggu.

Mekotek dimulai dengan melakukan sembahyang terlebih dahulu di Pura Dalem Munggu sebelum akhirnya melakukan pawai dengan iringan gamelan Beleganjur menuju sumber mata air di Desa Munggu.

Tradisi Mekotek ini diikuti kaum laki-laki yang berusia antara 12 hingga 60 tahun. Dari peserta tersebut kemudian dibagi dalam beberapa kelompok untuk membawa tongkat kayu. Kelompok-kelompok tersebut lalu mengangkat kayu untuk disatukan ke atas dan membentuk kerucut atau piramida.

Kayu-kayu yang diangkat tersebut bergesekan dan menimbulkan suara “tek tek” terus menerus sehingga tradisi tersebut akhirnya dikenal dengan nama Mekotek. Sesekali ada peserta yang berdiri di puncak piramida untuk memberi komando dan membakar semangat para peserta.

==

Sumber Referensi: Tirto.id | Warisanbudaya.kemdikbud.go.id | Balitoursclub.net

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Iip M. Aditiya lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Iip M. Aditiya.

IA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini