Asal Usul Tari Lengger, Tarian untuk Pengingat kepada Sang Pencipta

Asal Usul Tari Lengger, Tarian untuk Pengingat kepada Sang Pencipta
info gambar utama

Penayangan Film Tarian Lengger Maut mendapatkan sambutan hangat dari para penonton. Selama empat hari tayang di bioskop, film ini berhasil kumpulkan 100.000 penonton.

Kisah antara Sukma (diperankan Della Dartyan) dan dokter Jati (diperankan Refal Hady) menjadi salah satu film pilihan favorit masyarakat Indonesia saat libur Lebaran. Film karya Visinema Pictures bersama Aenigma Picture ini sudah tayang perdana bertepatan dengan perayaan Idulfitri atau 13 Mei 2021.

"Kini 100.000 orang telah berobat ke kliniknya dr. Jati, terima kasih sudah mendukung Tarian Lengger Maut dengan tetap mengikuti protokol kesehatan, terima kasih banyak apresiasinya," tutur aktor Refal Hady melalui siaran pers yang dikutip dari Medcomid.

Tarian Lengger Maut sendiri merupakan film bergenre thriller yang berkisah tentang seorang dokter pendatang bernama Jati (diperankan Refal Hady). Dia jatuh cinta pada penari lengger bernama Sukma yang diperankan oleh Della Dartyan.

Baca Juga : Sarat Nuansa Romantis, 5 Tarian Nusantara Ini Lambangkan Kisah Asmara Dua Sejoli

Siapa sangka, rasa jatuh cinta itu membuat jantung dr. Jati berdetak lebih kencang dan detak tersebut justru mengganggunya. Detak jantung di film ini ternyata memiliki kisah yang tersembunyi, termasuk berkaitan dengan masa lalu dr. Jati dan berkaitan dengan kondisi desa yang tiba-tiba kehilangan warganya.

Selain mengangkat drama percintaan, film ini juga memperkenalkan budaya tarian lengger sesuai dengan misi pembuatan film. Ini merupakan tarian tradisional asal Banyumas.

"Visi atau tujuan awalnya ingin memperkenalkan budaya. Dan selama ini stigma tarian lengger kan banyak yang negatif, kita mau coba angkat dari perspektif yang berbeda," tutur sutradara Yongki Ongestu.

"Kita coba kemas bagaimana supaya anak muda akhirnya pengin nonton dan juga kita ingin mengangkat budaya lewat cara berkolaborasi dengan anak-anak kreatif dan seniman lokal," tambahnya.

Aryanna Yuris selaku produser Aegnigma Pictures pun mengatakan bahwa film ini benar-benar bercita rasa lokal. Sebab, bukan sekedar mengangkat budayanya ke dalam film, tapi melibatkan langsung para senimannya.

"Kita juga langsung melibatkan seniman lokal, karena kita percaya untuk memberi direct impact bukan cuma dengan menceritakan tentang mereka, tapi juga memperlihatkan bagaimana mereka bisa hidup dari skill dan profesi mereka," ungkap Aryanna Yuris.

Legenda Brawijaya hingga Cara Dakwah Sunan Kalijaga

Konon, awal kisah Tari Lengger ini bermula dari sayembara Raja Brawijaya yang kehilangan putrinya, Dewi Sekartaji. Sang raja memberikan imbalan kepada siapa pun yang berhasil menemukan putrinya.

Jika yang menemukan adalah pria, dia akan dinikahkan dengan putrinya itu tapi jika yang menemukan wanita akan diangkat sebagai keluarga kerajaan

Sayembara ini diikuti oleh banyak ksatria dan akhirnya hanya menyisakan 2 peserta, yaitu Raden Panji Asmara Bangun yang menyamar dengan nama Joko Kembang Kuning dari Kerajaan Jenggala dan Prabu Klana dari kerajaan sebrang. Prabu Klana inilah yang membuat sang putri Raja kabur karena hendak akan dijodohkan dengan Prabu Klana.

Agar bisa memenangkan sayembara, Joko Kembang Kunin:g melakukan pencarian dengan menyamar sebagai ledek perempuan dan bertopeng yang menari dari satu daerah ke daerah lain untuk memancing agar sang putri keluar dari tempat persembunyiannya.

Penampilan Joko Kembang Kuning ini menarik banyak kerumunan yang melihat penampilannya hingga akhirnya nama tarian ini disebut Lengger yang berasal dari 2 silabel Bahasa Jawa, ‘Ledek’ yang artinya penari dan ‘Geger’ artinya kerumunan.

Baca Juga : Makna Kehidupan dalam Tari Wutukala yang Dinamis

Singkatnya, Dewi Sekar Taji muncul dari persembunyiannya dan akhirnya Joko Kembang Kuning memenangkan sayembara dan menikahi sang putri. Dalam pernikahannya, kedua mempelai ini disuguhi pertunjukan Tari Lengger.

Sementara itu pada masa Kerajaan Islam, tarian ini dulunya dianggap negatif karena gerakan dan adegannya dianggap mengundang birahi. Selain itu juga tidak jarang para penonton yang ikut menari sambil mabuk.

Namun tarian ini telah berhasil di ubah oleh Sunan Kalijaga dan menjadikankanya sebagai sarana dakwah dan disisipkan ajaran untuk selalu mengingat Tuhan. Hingga akhirnya makna Lengger diubah menjadi ‘Elingo Ngger’, sebuah frasa Bahasa Jawa yang berarti ‘Ingatlah Nak!’

Dari tembang-tembang parikan yang kerap mengiri tari ini pun menyiarkan pesan-pesan akan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan nilai-nilai kebaikan. Pada masa itu, tari Lengger sedang ramai di kalangan masyarakat sebagai tontonan dan hiburan warga.

Sehingga mereka susah diajak ke masjid, apalagi untuk mendalami agama Islam. Mereka tidak tertarik. Oleh karena itu, dengan tetap mempertahankan tradisi dan budaya setempat, Sunan Kalijaga ikut menari untuk memperingatkan.

Tradisi Penari Lengger yang Hilang

Tari Lengger merupakan kesenian tari yang berkembang di Jawa Tengah, khususnya di kawasan sisi barat, seperti Banyumas, Purwokerto, dan Wonosobo. Lengger disebut juga ronggeng.

Tarian Lengger ini merupakan pengembangan dari tarian sebelumnya yaitu tari Tayub. Pada tari Lengger dimainkan oleh dua hingga empat orang laki-laki yang didandani serupa perempuan dengan pakaian khas.

Walau dianggap sebagai tari yang sakral, tidak ada waktu khusus untuk pertunjukan tari ini. Tari lengger dapat dipertunjukan kapan pun dan di manapun, dengan memberikan sesajen sebelum memulai pertunjukan.

Tapi para penari lengger yang dipilih tidak boleh sembarangan, haruslah yang dianggap bersih secara spiritual. Para penari juga perlu ritual khusus, salah satunya adalah tidur di depan pintu tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.

Tak hanya itu, seorang calon penari Lengger juga harus melakukan puasa mutih alias tidak makan apapun kecuali nasi kepal dalam sehari dan juga melakukan laku tirakat di sebuah tempat khusus bernama Panembahan Lengger.

“Penari juga harus bersemedi di tempat khusus Lengger,” ujar Didi Nini Thowok, seorang penari yang dikutip dari Merdeka.

Baca Juga : Kisah Dibalik Tarian Kinyah Mandau Kalimantan Tengah LR

Namun dewasa ini penari Lengger lebih banyak dibawakan oleh perempuan, yang lebih dikenal dengan nama Ronggeng. Padahal dulunya kesenian Lengger lebih banyak dibawakan oleh penari transgender.

Menurut penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari kesenian Banyumasan hampir seluruhnya berorientasi kerakyatan. Kesenian itu bisa dinikmati oleh rakyat jelata yang rata-rata hidupnya sebagai petani.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini