Daulat Pangan Kasepuhan Ciptagelar yang Bertahan dari Perubahan Iklim dan Covid-19

Daulat Pangan Kasepuhan Ciptagelar yang Bertahan dari Perubahan Iklim dan Covid-19
info gambar utama

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan masyarakat adat yang bermukim di Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasepuhan Ciptagelar adalah masyarakat tradisional yang sampai saat ini masih memelihara ajaran warisan budaya leluhur dan sistem pertanian tradisional.

Kasepuhan tersebut identik dengan tradisi sistem pertanian tradisionalnya yang menganggap bahwa beras atau padi adalah hal yang sakral sehingga memiliki tempat yang luhur. Konon tetua adat Kasepuhan Ciptagelar diberikan wewenang untuk merawat sistem pertanian tradisional.

Menurut Khomsan A dalam buku Aspek Sosial-Ekonomi, Pangan, dan Gizi Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat, memaparkan bahwa Kasepuhan Ciptagelar merupakan kesatuan masyarakat adat yang masih tetap memegang kuat sistem tradisi yang diwariskan leluhur sejak 640 tahun yang lalu, hingga saat ini.

Karakter kuat yang dimiliki Kasepuhan Ciptagelar adalah kekuatannya menjaga sistem pertanian tradisional. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tetap setia pada bibit padi yang diberikan leluhur, dan menolak menggunakan bibit dari luar. Ada beberapa alasan kenapa Kasepuhan Ciptagelar tetap mempertahankan bibit lokal.

Hal yang pertama adalah upacara adat yang mengharuskan menggunakan padi lokal, kedua adalah padi jenis unggul yang dianjurkan pemerintah tidak cocok dengan keadaan geografis Ciptagelar, ketiga yaitu padi lokal berbatang panjang sehingga mudah di-etem (ani-ani), dan keempat merupakan upaya untuk melestarikan adat leluhur.

Hikayat Kesuksesan Masyarakat Adat Hadapi Pandemi Covid-19

Dalam proses penanaman hingga panen, Kasepuhan Ciptagelar memperlakukan padi dengan sangat terhormat. Mereka mengiringi seluruh proses tersebut dengan serangkaian upacara adat. Perayaan terhadap proses pertanian ini merupakan tanda bahwa Kasepuhan Ciptagelar benar-benar memeluk sistem pertanian tradisional.

Adapun upacara-upacara adat yang diselenggarakan, di antaranya:

  • Upacara sapang jadian pare (syukuran penanaman padi ketika benih mulai tumbuh), yang lazim dilakukan sepekan setelah penanaman.
  • Upacara pare nyiram (syukuran saat pada mulai tumbuh subur),
  • Upacara mapag pare beukah (syukuran saat padi siap dipanen),
  • Upacara mpit pare (syukuran pascapanen), dan
  • upacara ngayaran (syukuran besar) ketika hasil panen sudah bisa dikonsumsi.

Agenda upacara pun tidak hanya syukuran, melainkan terdapat pembahasan persiapan acara seren taun yaitu acara puncak dari seluruh rangkaian proses penanaman hingga panen, yang merupakan ritual agung yang dijadikan upacara pamungkas.

Menlansir Tirto, sistem pertanian dengan cara tradisional ini membuat Kasepuhan Ciptagelar memiliki 8.000 lumbung padi. Selain itu cadangan beras mereka pun bisa bertahan selama 3 tahun. Hal ini berbeda dengan beras Indonesia yang rata-rata hanya cukup untuk 8 bulan, atau paling lama 12 bulan (1 tahun).

Cadangan beras Indonesia juga dipenuhi dari impor, sedangkan adat di Ciptagelar justru melarang menjadikan beras sebagai komoditas yang diperjual-belikan. Terakhir, rata-rata lahan pertanian di Indonesia memanen padi setahun dua kali dengan sebagian di antaranya menerapkan sistem pertanian modern, lengkap dengan subsidi benih dan pupuk.

Sedangkan adat di Ciptagelar hanya mengizinkan setahun sekali, dan melarang menggunakan traktor. Pupuk kimia, hanya digunakan satu kali dilokasi tertentu yang tanahnya dianggap kurang mendukung pertumbuhan dan kekuatan akar padi. Masyarakat adat pun menjaga penggunaan areal tanahnya.

Di Ciptagelar, areal tanaman pangan hanya mencapai 10 persen, dengan tetap membiarkan sisanya menjadi hutan yang juga mampu menjaga pasokan air. Hal ini untuk menghidupkan lebih dari 10 turbin mikrohidro yang listriknya menerangi sekira 6.000 rumah warga. Ini menggambarkan, meski hidup dengan penuh ketaatan adat, masyarakat Ciptagelar tidak anti teknologi.

Di Kasepuhan Ciptagelar terdapat pembangkit listrik dari energi terbarukan, yang merupakan hasil gotong royong masyarakat. Pemamfaatan teknologi yang bersanding dengan kearifan lokal menjadikan kasepuhan layak menjadi percontohan dalam mewujudkan keselarasan antara kepentingan manusia dan kelestarian alam.

Pertahankan pertanian adat di tengah perubahan iklim

kasepuhan ciptagelar
info gambar

Dosen Universitas Brawijaya, Susilo Koesdiwanggo, yang menjadikan Kasepuhan Ciptagelar sebagai bahan disertasinya, membuktikan ketahanan pangan itu. Catatannya sejak tahun 2012-2020, pare warga dan rurukan/padi yang ditanam di lahan pertanian warga serta di huma jumlahnya terbilang stabil.

Pada 2015, ungkap Susilo, produksi pare warga pada tahun itu mencapai 2,1 juta pocong. Satu pocong itu antara 3-5 kilogram. Jumlah ini melonjak tajam dibandingkan tahun-tahun lainnya yang berkisar antara 694.429-1.041.533 pocong.

"Pada tahun 2015 itu ada El Nino ternyata produksi malah tinggi sekali, perlu penelitan lanjut yang pasti ketika orang ramai-ramai terdampak El Nino, justru melonjak di sini," ujar Susilo pada 12 Oktober 2020 lalu.

Susilo memandang, warga Kasepuhan Ciptagelar mengedapankan relasi ruang dan waktu terkait budaya tanamnya. Kegiatan menaman padi, disesuaikan dengan waktu yang disesuaikan dengan wanci atau momennya. Pengetahuan soal wanci dan penentuan tempat menanam ini yang dipegang secara turun-temurun.

"itu pengetahuan lokal dan biarkan itu jadi ilmu pengetahuan mereka yang sangat berharga," kata Susilo.

Dosen pasca sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran, Rini Soemarwoto, memandang konteks perubahan iklim itu bisa diadaptasi oleh tradisi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Kebiasaan menanam secara berpindah menjadi cara masyarakat adat beradaptasi dalam perubahan iklim.

Bedasarkan data, rata-rata konsumsi beras antara 2008-2019 itu, sekira ada sebanyak 400 ton. Sementara cadangannya sampai 2019 mencapai 40 ribu ton. Rorokan pamakayan atau juru pertanian Kasepuhan Ciptagelar, Aki Koyod, menjelaskan tidak ada perubahan dalam proses penanaman. Mereka masih berpegang teguh pada tradisi yang diwariskan.

Penghayat Kepercayaan, Bagian Dari Masyarakat Yang Harus Kita Jaga Dan Hormati

"Selaku warga adat, tata cara menanam padi tidak semau kita. Ada proses meminta, mengambil, dan berterima kasih," ujarnya.

Prosesi penanaman dimulai dengan ngaseuk yang dipimpin langsung oleh pimpinan adat Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. Bersama abah, warga menuju ke huma dan melubangi tanah yang akan ditanami benih. Satu pekan selepasnya masuk ritual salamat sapangjadian atau syukuran satu pekan masa tanam benih.

Aki Koyod menjelaskan, secara umum prosesi dilanjut dengan persemaian yang memakan waktu bisa hingga 70 hari. Selanjutnya, prosesi tandur atau penanaman di sawah yang diawali dengan sawah abah baru di lahan warga. Nanti, sambungnya, ada salamet pare nyiram atau momen padi sudah bunting yang direspon dengan perayaan hingga panen.

Aki Koyod juga memaparkan bahwa penetapan waktu juga disesuaikan dengan musim. Patokannya pada kemunculan rasi bintang di langit. Dia memberi contoh, saat rasi Bintang Waluku hilang, maka itu momen datengnya hama. Ada juga istilah tanggal kerti turun wesi, posisi bintang kerti saat muncul berarti sudah waktunya petani menyiapkan perkakasnya.

"Kalau semua dipatuhi, perubahan (pada hasil panen) tidak akan terasa. Kita juga menyesuaikan bibit yang akan ditanam dengan ketersediaan air," terangnya.

Ketahanan pangan saat Covid-19

kasepuhan ciptagelar
info gambar

Badai pandemi Covid-19 yang belum reda, membuat ancaman dan krisis ekonomi dan pangan di depan mata menjadi keniscayaan. Namun, hal itu tidak terjadi di Kasepuhan Ciptagelar. Pasalnya di sana dilarang untuk menjual padi hasil panennya. Tradisi ini pun telah berjalan turun-temurun.

"Aturan disini itu padi yang panen tidak boleh dijual karena itu merupakan simbol kehidupan kami. Kalau padi dijual, bagaimana dengan kehidupan anak cucu kita nantinya," ujar Koyod, dalam Media Indonesia.

Mereka juga sadar bahwa sistem menjual-belikan beras tidak selamanya menguntungkan. Karena itu mereka lebih memilih menabung beras untuk dikonsumsi sendiri. Karena itulah dalam urusan pangan di Ciptagelar, sampai lima tahun ke depan pun akan tetap terjamin ketersediaannya.

Memang setelah padi dipanen, bakal ada gelaran prosesi seren taun, yaitu ritual ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang telah dilakukan. Selanjutnya hasil panen akan disetorkan ke lembaga adat untuk disimpan di leuit--lumbung tempat menyiman padi dalam bentuk gabah yang berasal dari benih lokal.

Berkenalan Dengan Suku Sasak dari Dusun Sade Yuk!

Setiap leuit mampu menampung kurang lebih 1.000 ikat padi kering, atau sekitar 2,3 sampai 3 ton padi. Bentuk leuit sedemikian rupa dan unik, berpintu satu, berbentuk rumah panggung, lantai dan dinding menggunakan kayu, dengan atap dan ijuk agar tidak bocor dan tidak mudah dimasuki tikus.

Karakteristik penting lain Leuit adalah dengan menyimpan cadangan pangannya dalam bentuk gabah kering, sehingga dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan beras. Bentuk penyimpanan cadangan seperti ini bisa diadopsi oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), untuk mencegah terjadinya kerusakan beras, seperti yang pernah terjadi.

Apalagi dalam konteks pandemi Covid-19 saat ini, ketika pemerintah menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT), terdapat potensi cadangan beras di gudang penyimpanan Bulog akan menumpuk. Pengelolaan cadangan berbasis lokal ini bisa menjadi pilihan solusi untuk terus dijaga, dan dikembangkan dalam menghadapi ancaman krisis pangan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini