Mengenal Jenis Satwa Menari Namun Mematikan yang Ada di Laut Indonesia

Mengenal Jenis Satwa Menari Namun Mematikan yang Ada di Laut Indonesia
info gambar utama

Yang cantik tak selamanya baik. Bukan istilah baru, kenyataannya ungkapan tersebut menjadi perumpamaan yang sangat tepat untuk menggambarkan keberadaan beberapa satwa yang ada di laut Indonesia.

Dikenal memiliki wujud yang menawan dengan kebiasaan unik beraktivitas di malam hari, mungkin banyak segelintir orang yang belum mengetahui jika di balik keindahannya beberapa satwa laut yang dimaksud memiliki racun mematikan.

Beberapa satwa laut dengan bentuk unik dan indah namun mematikan yang selama ini banyak dikenal sebut saja ikan buntal, bulu babi, bahkan beberapa berjenis terumbu karang atau anemon seperti anemon laut kuning dan koral api.

Selain ragam satwa laut tersebut, ada dua jenis lainnya yang dikenal memiliki racun bahkan salah satunya disebut lebih berbahaya dibandingkan sianida, yakni gurita cincin biru dan udang harlequin.

Pentingnya Peran Padang Lamun Sebagai Penunjang Kehidupan Biota Laut

Udang harlequin si pemburu bintang laut berduri

Udang harlequin
info gambar

Berasal dari genus Hymenocera, udang satu ini memiliki dua jenis yakni Hymenocera picta dan Hymenocera elegans. Satu yang dapat ditemui di wilayah perairan Indonesia tepatnya di kawasan surga diving Tulamben, Bali, adalah Hymenocera elegans.

Jenis udang yang mendapat julukan harlequin ini jelas sama sekali tidak bisa dikonsumsi layaknya jenis udang yang selama ini menjadi salah satu hasil tangkap utama dari laut Indonesia.

Dengan ukuran tubuh sekitar 5 sentimeter, udang harlequin memiliki ciri bintik berwarna kecoklatan di tubuhnya dengan tepi berwarna biru. Jenis yang ada di Indonesia juga memiliki antena sensorik berbentuk kelopak yang berfungsi untuk mencium mangsa. Menariknya, mereka biasa melakukan pemburuan mangsa bersama secara berpasangan.

Meski tubuhnya kecil, namun cakar beracun yang dimiliki untuk mencubit mangsa dikenal memiliki sengat yang sangat mematikan dan mampu membunuh satwa lain yang lebih beracun, yakni bintang laut berduri. Tak heran jika udang ini sangat tidak dianjurkan untuk dikonsumsi karena makanan yang diperoleh pada dasarnya adalah satwa beracun.

Mengapa udang harlequin dijuluki sebagai satwa laut menari? Julukan itu didapat karena selain lebih cenderung beraktivitas di malam hari, mereka memiliki pola pergerakan yang lambat dan cenderung bergelombang, sehingga gerakan berpindah yang dilakukan jika diperhatikan akan terlihat seperti menari.

Udang harlequin endemik Sulawesi
info gambar

Faktanya, meski udang harlequin di atas dikenal memiliki potensi mematikan di balik keindahannya, ada jenis udang harlequin berbeda yang cenderung lebih aman bahkan kerap dijadikan sebagai udang hias untuk kebutuhan akuaskap, yakni udang harlequin dengan nama latin Caridina wolterecka.

Semakin istimewa, karena udang harlequin satu ini merupakan udang endemik yang berasal dari perairan Sulawesi. Udang tersebut banyak diburu oleh pedagang ikan hias karena memiliki wujud yang dibalut perpaduan corak cantik dengan dominasi merah marun dan putih.

Sayangnya, karena banyak diburu dan membuat jumlahnya semakin menipis di laut bebas, udang endemik ini masuk ke dalam daftar spesies kritis terancam punah, dan memiliki status critically endangered versi IUCN.

Saksi Peristiwa Bersejarah, Memahami Potensi Sumber Daya Laut Arafura

Gurita cincin biru, racun lebih mematikan dari sianida

Gurita cincin biru di koral perairan Lembeh, Sulawesi Utara
info gambar

Satwa lain di laut Indonesia yang memiliki racun mematikan adalah gurita cincin biru (Hapalochlaena lunulate). Sama seperti udang harlequin yang senang beraktivitas di malam hari, pergerakan gurita yang bergelombang pada dasarnya juga membuat satwa satu ini kerap terlihat seperti selalu melakukan gerakan menari.

Seakan belum cukup, keindahannya ditambah dengan keberadaan cincin biru yang membuat tubuh satwa satu ini cukup menyita perhatian satwa laut lain bahkan manusia yang melakukan kegiatan diving untuk menyentuhnya.

Apalagi dengan ukuran yang terbilang kecil yakni di kisaran 12-20 sentimeter, dan berat hanya sekitar 25-80 gram membuat gurita ini semakin mudah untuk disentuh dengan tangan kosong, dan kerap dijumpai di kawasan laut Bali

Tapi siapa sangka di balik keindahan yang dimiliki, satwa satu ini ternyata memiliki racun yang jauh lebih berbahaya dari sianida. Beberapa waktu lalu bahkan sempat ramai pemberitaan mengenai turis asing yang memegang gurtia tersebut di sekitar Pantai Uluwatu, Bali.

Mengutip penjelasan KKP, gurita cincin biru sebenarnya memiliki dua jenis racun, yakni racun untuk memburu mangsa dan untuk melindungi diri dari ancaman predator dengan tingkat racun yang lebih tinggi.

Racun gurita cincin biru disebut 1.000 kali lebih kuat daripada sianida. Kandungannya diyakini cukup untuk membunuh 26 manusia dewasa dalam waktu beberapa menit saja. Bahayanya, hisapan atau gigitan kecil satwa ini terasa halus dan tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga korban seringkali tidak menyadari bahwa telah terinfeksi racun.

Bagi mereka yang terkena racun dari gurita ini, biasanya akan merasakan efek lumpuh dalam waktu 30 menit. Gejala awal yang muncul biasanya berupa mual, kehilangan penglihatan secara samar, baru mengalami kelumpuhan otot yang menjalar ke otot paru-paru hingga membuat korban sulit bernapas dan kekurangan oksigen, hingga akhirnya menyebabkan kematian.

Meski begitu, reaksi usai disengat gurita ini sebenarnya tergantung pada jumlah cairan yang masuk ke dalam tubuh. Fatal atau tidaknya gejala gigitan gurita cincin biru baru akan terdeteksi perkembangannya dalam waktu sekitar 10 menit.

Hingga saat ini, diketahui belum ada penawar yang dapat mengobati diri dari racun gurita satu ini, karena itu jika melihat atau menemukan gurita cincin biru di sekitar perairan laut Indonesia disarankan cukup mengamatinya dari jauh.

Mengenal Pencemaran Suara di Lautan Kita

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

SA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini