Menilik Potensi Budidaya Kakao Secara Organik untuk Lestarikan Hutan Kalimantan

Menilik Potensi Budidaya Kakao Secara Organik untuk Lestarikan Hutan Kalimantan
info gambar utama

Siapa yang tidak mengenal kakao? Pohon dengan buah yang bijinya menjadi asal-muasal berbagai produk olahan cokelat, dan banyak digemari hampir semua kalangan ini merupakan tanaman budidaya yang keberadaannya di Indonesia sendiri cukup berkembang dengan baik.

Memiliki hasil budidaya yang tinggi, tak heran jika pada tahun 2020 Indonesia tercatat menduduki peringkat ketiga sebagai negara penghasil kakao terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 659,7 ton.

Sayangnya di balik potensi yang ada, diketahui bahwa pengelolaan hasil panen kakao di Indonesia sendiri ternyata belum maksimal. Hal tersebut dilatarbelakangi dengan berbagai faktor, salah dua yang paling berpengaruh yakni penggunaan metode pertanian yang telah usang, dan penggunaan bahan kimia dalam bentuk pupuk maupun pestisida yang tidak hanya mempengaruhi kualitas kakao itu sendiri, melainkan juga memberikan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

Meski masih belum dilakukan dalam bentuk gerakan besar dan massal, beruntungnya sejak beberapa tahun ke belakang sudah banyak berbagai pihak yang mendorong gerakan budidaya kakao secara organik, baik dari pemerintah melalui Kementerian Pertanian, organisasi swasta, atau bahkan petani kakao itu sendiri di berbagai wilayah.

Bersama Pantai Gading dan Ghana, Indonesia Kuasai Produksi Kakao Dunia

Keuntungan budidaya kakao secara organik dibanding nonorganik

Pohon kakao
info gambar

Tidak semata-mata untuk meningkatkan kualitas dan pelestarian lingkungan, sebenarnya program pendorongan budidaya berbagai macam pertanian termasuk kakao secara organik juga memberikan dampak kesejahteraan bagi para petani.

Dapat dipastikan bahwa dari segi ekonomis budidaya kakao organik dapat menekan biaya produksi dan menguntungkan, karena petani tidak perlu menggunakan pupuk dan pestisida nonorganik yang membutuhkan biaya lebih mahal.

Pasti sudah banyak diketahui, bahwa untuk memiliki pupuk organik petani cukup membuatnya dengan memanfaatkan kotoran hewan dan membuat pestisida organik dengan memanfaatkan beberapa jenis tumbuhan yang ada di lingkungan sekitar.

Sementara itu penggunaan pupuk dan pestisida nonorganik cenderung akan merugikan karena kebutuhannya akan terus meningkat seiring berjalannya waktu. Sebagai gambaran, biasanya dalam satu batang pohon kakao dibutuhkan pupuk sekitar 2-3 kilogram, namun pada tahun berikutnya kebutuhan pupuk akan terus meningkat hingga 3-5 kilogram.

Selain itu, diketahui bahwa pupuk dan pestisida nonorganik akan merusak tanaman kakao dengan cara memperpendek masa produktifitas dan membuatnya rentan terhadap hama penyakit.

Bahkan, secara tidak langsung pemakaian bahan kimia atau pupuk dan pestisida nonorganik juga akan berbahaya bagi petani, begitupun dengan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan sekitar berupa kerusakan tekstur tanah yang membuatnya menjadi tidak subur lagi.

Dengan melakukan budidaya secara organik, produktifitas akan jauh lebih meningkat dan ramah lingkungan. Tanaman kakao diyakini akan memiliki imun yang lebih kuat terhadap hama penyakit, ditambah tekstur tanah akan menjadi lebih subur.

Klaim tersebut sudah terbukti, berdasarkan data yang disebut oleh Kementerian Pertanian bahwa budidaya kakao organik tercatat dapat meningkatkan produktifitas per hektare hingga 2 ton.

Bali Bergiat, Hasilkan Produk Cokelat dari Kakao Jembrana

Hasil dan potensi budidaya kakao di Kampung Merasa, Kalimantan Timur

Meski selama ini wilayah penghasil Kakao di Indonesia lebih banyak diketahui berasal dari wilayah Sulawesi, salah satunya Sulawesi Tengah. Tak dimungkiri jika beberapa wilayah lain di tanah air memiliki potensi budidaya kakao yang cukup menjanjikan.

Salah satu wilayah yang menerapkan budidaya kakao secara organik dan telah membuktikan potensinya adalah petani kakao yang bermukim di wilayah Kampung Merasa, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Diketahui bahwa kakao Kampung Merasa yang belakangan menjadi komoditas unggulan dan bersaing dengan hasil budidaya kakao dari wilayah Indonesia lainnya ini, ditanam di sepanjang tepian Sungai Kelay dan dikelilingi oleh kawasan hutan langsung.

Karena letak posisi tersebut pula, pertanian kakao di Kampung Merasa diketahui telah menjadi mata pencaharian yang bertujuan agar masyarakat di kampung tersebut lebih fokus untuk membudidayakan kebun kakao tanpa harus bergantung pada hutan, dengan cara mengeksploitasinya.

Petani di Kampung Merasa telah berkomitmen untuk menjaga kelestarian hutan di kawasan tersebut demi keberlangsungan habitat orangutan.

Sebagaimana hasil budidaya kakao organik yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan budidaya kakao secara nonorganik dengan menggunakan pupuk kimia dan bahan pestisida, diketahui bahwa hasil budidaya kakao di kampung ini berhasil lolos ke 8 besar tingkat Indonesia dalam Cacao Excellent Award di Paris Salon du Chocolat.

Untuk menambah nilai tambah, kakao yang dihasilkan oleh para petani di Kampung Merasa telah diolah dengan cara fermentasi.

Kini, petani kakao yang berada di kawasan tersebut bahkan sudah menjadi pemasok untuk salah satu produsen cokelat di Indonesia yakni Pipiltin Cocoa, yang secara resmi menggunakan nama Kampung Merasa untuk penamaan labelnya.

Karakteristik rasa khas dan unik dari cokelat Kampung Merasa yang saat ini tengah beredar di pasaran adalah madu dan jeruk citrus yang secara langsung dihasilkan dari biji cokelat yang sudah difermentasi oleh Petani Asli Kampung Merasa.

Inovasi Produk Cokelat Edamame, Rizqo Palefi: Kami Ingin Jadi Trendsetter Olahan Edamame

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

Terima kasih telah membaca sampai di sini