Cap Go Meh, dan Budaya Tionghoa-Betawi dalam Perayaan Terang Bulan

Cap Go Meh, dan Budaya Tionghoa-Betawi dalam Perayaan Terang Bulan
info gambar utama

Pada Selasa, 15 Februari 2022, masyarakat China merayakan fesival Cap Go Meh di daerah masing-masing. Perayaan ini bertepatan setelah 15 hari ingar bingar perayaan Imlek atau pada purnama pertama di awal tahun.

Biasanya perayaan Cap Go Meh selalu berlangsung meriah, terutama di wilayah yang penduduknya mayoritas suku Tionghoa, seperti di Pecinan Glodok, Jakarta Barat. Tetapi kini karena pandemi, banyak perayaan Cap Go Meh yang dilaksanakan secara sederhana.

Tahun 2018 silam, pada Karnaval Budaya Cap Go Meh paling tidak ada 100 dewa yang diarak dengan tandu (joli). Ketika arak-arakan dewa ini melintas, bau dupa langsung memenuhi udara. Beberapa warga kemudian menggapai tandu dewa demi mendapat berkah.

“Selain Barongsai dan arak-arakan joli yang menjadi ciri khas Cap Go Meh, ada tarian Gemufamire, Sisingaan, Reog Ponorogo dan juga marching band dari Remaja Masjid Istiqal yang sangat bersemangat memeriahkan acara,” ujar Ketua Dewan Pembina Panitia Cap Go Meh Glodok 2018, Charles Honoris, dalam Historia.

Kisah Zwembad Manggarai, Tempat Liburan Sehat bagi Masyarakat Jakarta

Memang, sejak ratusan tahun pesta Cap Go Meh menjadi salah satu hiburan bagi masyarakat Jakarta. Perayaan ini biasanya dilakukan di jalan raya Glodok, Pancoran, Senen, dan Jatinegara.

Tradisi Cap Go Meh telah datang bersama dengan kedatangan orang Tionghoa dari dataran Tiongkok sekitar 300-400 tahun yang lalu. Ketika itu Glodok juga sejak lama telah menjadi kawasan Pecinan.

Sementara itu, antropolog dan ahli folklor, James Danandjaja, menyebut perayaan Cap Go Meh yang sekarang berkembang sudah tidak sama lagi. Pasalnya dengan perkembangan unsur lain dan berbaurnya tradisi ini dengan budaya Nusantara.

“Ini tak mengherankan karena orang Betawi keturunan China sudah lama datang ke Batavia,” tulisnya dalam Perayaan Imlek dan Pesta Capgome yang terbit dalam Bunga Rampai Seni Pertunjukan Kebetawian.

Pada perayaan Cap Go Meh biasanya akan terdapat pesta rakyat yang menggelar seni pertunjukan Betawi. Seperti wayang cokek yang ditarikan empat wanita berbaju beraneka warna.

Musik pengiringnya adalah gambang kromong. Jenis wayang yang dipertunjukan lainnya adalah komedi bangsawan, stambul, dan wayang simpe, yang memainkan lakon Seribu Satu Malam.

Ada juga orgel putar orang-orang Italia yang turut serta untuk mengamen, selain tanjidor yang berasal dari Portugis. Perayaan Cap Go Meh hingga tahun 1950 an tidak kalah dengan malam pergantian tahun baru Masehi.

Tentunya yang paling meriah adalah ketika mengarak tapekong--gambar atau patung dewa--yang keluar dari kelenteng ke jalan-jalan bersama barongsai. Daya tariknya demikian besar, hingga malam Cap Go Meh.

“Sejak Magrib, semua orang Betawi keturunan Tionghoa, tua muda berpakaian indah-indah menuju Glodok-Pancoran menonton keramaian atau terjun langsung berjoget di jalan,” tulis wartawan senior, Alwi Shahab, dalam tulisan Kemeriahan Imlek di Jakarta Tempo Dulu, seperti termuat Republika.

Budaya Tionghoa dan Betawi rayakan Cap Go Meh

Sudah sejak dahulu, perayaan Cap Go Meh di Jakarta memang dirayakan oleh setiap kalangan. Alwi Shahab dalam Sudagar Baghdad dari Betawi, menyebut hampir semua warga Jakarta turun ke jalan untuk menyaksikan barongsai.

Iring-iringan tersebut begitu panjang, saat kepalanya sudah sampai di Senen, ekor iring-iringannya masih di Lapangan Banteng. Pesta Cap Go Meh biasanya dilangsungkan semalam suntuk.

Ular naga itu lalu diarak ratuasan orang dan meliuk-liuk diiringi musik tanjidor dan tambur besar. Tapekong yang sengaja dikelurkan dari vihara atau kelenteng, ditempatkan di tengah rombongan barongsai pada pesta itu.

“Untuk pengamanan, tiap rombongan barongsai diberi tambang. Mereka yang masuk ke dalam tambang umumnya para pria. Maklum, banyak bahayanya kalau perempuan ikut-ikutan masuk. Karena di dalam tambang banyak ‘hidung-belang’ yang mabuk-mabukan, sambil ngibing diiringi tanjidor. Di dalam tambang juga terdapat ratusan orang yang membawa taptu atau obor,” tulis Alwi.

Beragam Langkah Pemprov DKI Agar Langit Jakarta Selalu Biru

Menurut Alwi, pesta kemeriahan Cap Go Meh yang berlangsung di Jakarta tidak hanya diminati oleh masyarakat setempat, tetapi juga mengundang masyarakat lain dari luar kota seperti Bogor, Sukabumi, dan Cianjur.

Perayaan Cap Go Meh yang selalu meriah terjadi karena melibatkan unsur budaya Betawi. Hal ini karena perayaan tradisi Tionghoa telah melebur dengan kebudayaan lokal. Misalnya saja tradisi membersihkan rumah sebelum perayaan Imlek.

Selain itu, ketika perayaan Imlek dan Cap Go Meh, kampung akan diramaikan oleh para pengamen yang datang dari daerah pinggiran, seperti Karawang, Bekasi, Tambun, dan Cikarang. Mereka biasanya membawakan orkes tanjidor.

James Danajaya dalam buku Folklore Tionghoa menyebut para personel grup tanjidor ini kemungkinan besar adalah keturunan etnis Tionghoa yang masuk Islam. Tetapi karena kulitnya telah jadi cokelat dan berubah keyakinan, mereka tidak lagi terlihat seperti orang Tionghoa.

“Yang didatangi merasa senang dan menghadiahi mereka angpau, uang yang dibungkus kertas merah,” ucap guru besar ilmu antropologi Universitas Indonesia itu.

Hal senada diungkapkan oleh pemerhati budaya Tionghoa dari Univeritas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto, yang menyampaikan kolaborasi dua budaya Tionghoa-Betawi dalam menyambut dan menyemarakan Imlek dan Cap Go Meh bukan hal mengherankan.

“Unsur budaya Tionghoa itu memang banyak andil mewarnai seni Betawi,” tuturnya.

Cap Go Meh yang pernah hilang

Pada masa orde lama (Orla), perayaan Imlek dan Cap Go Meh tidak bisa terlepas dari dimensi politik. Ketika itu, Presiden Soekarno membangun persahabatan dengan pemerintah China. Sehingga perayaan tradisi China diberikan tempat.

Hal tersebut dibuktikan dengan Ketetapan Pemerintah tentang Hari Raya Umat Beragama Nomor 2/OEM tahun 1946. Pada butir Pasal 4 disebutkan, Tahun Baru Imlek, Ceng Beng (berziarah dan membersihkan makam leluhur) dan hari lahir serta wafatnya Khonghucu sebagai hari libur.

Tetapi tradisi Cap Go Meh hampir saja punah karena sempat dilarang. Wali Kota Sudiro melarangnya pada 1958. Bukan hanya Cap Go Meh, tetapi kebiasaan yang sering dilakukan seperti perayaan Peh Cun dan pesta air.

“Pesta itu berakhir tanpa keterangan yang jelas waktu Wali Kota Sudiro, tahun 1958 melarang, Cap Go Meh dilarang, Peh Cun dilarang. Kita juga enggak mengerti, sampai hari ini, kenapa dilarang,” kata Budayawan Betawi Ridwan Saidi, pada Tribunnews.

Sementara itu, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, giliran Gubernur Ali Sadikin yang melarang. Memasuki rezim Orde Baru (Orba), perayaan tradisi Tionghoa secara umum memang dilarang oleh Presiden Soeharto.

Penyerbuan Jatinegara, Kisah Pertempuran Prancis dan Inggris di Batavia

Melalui Instruksi Presiden nomor 14 Tahun 1967, rezim Orba melarang segala hal yang berbau Tionghoa, salah satunya Cap Go Meh. Ketika itu Soeharto membolehkan kegiatan masyarakat Tionghoa hanya di lingkungan rumah dan tempat tertutup.

Instruksi presiden ini bertujuan untuk mengeliminasi secara sistematis dan bertahap, identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap kebudayaannya, termasuk kepercayaan, agama, dan adat istiadat.

Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa, termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Peh Cun, dan sebagainya, dilarang dirayakan secara terbuka, demikian juga tarian Barongsai dan Liong.

Tetapi pada tahun 2000, Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur, mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967 itu. Gus Dur menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur untuk mereka yang merayakan.

Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional. Perayaan Imlek dan tradisi Tionghoa lain kemudian baru dilaksanakan pada era Presiden Megawati Soekarnoputri tepatnya pada tahun 2003.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini