Jejak Barus Sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara

Jejak Barus Sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara
info gambar utama

Barus, sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Kota yang memiliki nama lain yaitu Fansur ini menurut sejarah pernah menjadi pusat perdagangan dan peradaban pada 1-17 Masehi, salah satu komoditasnya adalah kapur barus.

Daerah ini rupanya menjadi salah satu tujuan wisata bagi para peneliti arkeologi Islam. Pasalnya tempat ini diperkirakan sebagai awal dari masuknya Islam di Nusantara, hal ini karena beberapa bukti sejarah seperti makam Mahligai dan makam Papan Tinggi.

Menurut satu keterangan, proses masuknya Islam ke Barus khususnya Sumatra diawali dengan perjalanan para pedagang Arab yang singgah ke Barus. Peristiwa ini sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Kapur Barus Pengawet Fir’aun Ternyata dari Indonesia

Banyak pedagang Arab melakukan perjalanan dagang ke China dan mereka memilih untuk singgah di Bandar Barus terlebih dahulu. Misalnya kisah seseorang yang bernama Wahab bin Abu Kasbah berserta rombongannya yang ingin berdagang ke China tetapi singgah di Pulau Morsala, Sibolga.

“Di pulau tersebut Wahab sambil istirahat, memperbaiki kapalnya, mengadakan salat berjamaah dan membeli 10 budak yang berasal dari Nias,” tulis Misri A Muchsin dalam artikel berjudul Barus Dalam Sejarah: Kawasan Percaturan Politik, Agama, dan Ekonomi.

Pria yang juga Guru Besar Sejarah Pemikiran Modern Dalam Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini menyatakan berkaitan dengan penyebaran Islam di Nusantara, Barus menjadi salah satu salurannya.

Tapak sejarah Islam di Barus

Dalam buku The Relegious Life of Chinese Muslims keberadaan Islam di Barus terkait dengan misi Dinasti Tang di bawah kepemimpinan Kaisar Kao Tsung yang mengirim misi persahabatan ke Madinah yang ketika itu dipimpin Khalifah Usman bin Affan.

Lalu pemerintah Madinah mengirim misi yang sama ke China, mereka singgah terlebih dahulu di Barus untuk penambahan kebutuhan makanan dan menunggu peralihan angin musim. Dengan demikian selama di Barus, utusan ini menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat.

Misri juga menyadur keterangan lain dari Kitab Sejarah Melayu yang menyebutkan bahwa pada pertengahan abad ke-8 Masehi, Syarif Mekkah di zaman Khalifah Harun Al Rasyid, Syeikh Ismail menyiapkan sebuah kapal untuk menyiarkan Islam di Samudera.

Kapal yang di maksud mula-mula singgah di Fansuri-Barus, Syekh Ismail dan rombongan turun ke darat beberapa saat, menemukan beberapa orang untuk diislamkan serta meminta sekaligus mengajar membaca Alquran.

Kemudian dari sana dirinya baru melanjutkan ke Pasai untuk menyebarkan Islam. Menurut Misri, keterangan tersebut bisa menjelaskan bahwa Barus merupakan wilayah yang pertama menerima dan didatangi Islam.

Kue Merah Putih Ini Khas Dari Kota Islam Pertama di Indonesia

“Kemudian baru ke wilayah lain, yaitu ke Peureulak dan Pasai,” jelasnya.

Misri menyampaikan beberapa sumber yang menyebutkan bahwa Islam terlebih dahulu menyebar di wilayah Barus sebelum tersebar di Peureulak. Hal ini seperti dalam hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu:

"Berapa lamanya di laut (Syarif Makkah) maka sampailah kapal kepada sebuah negeri, Fansuri namanya. Maka segala orang isi negeri Fansuri itu masuklah Islam."

Melalui catatan ini ada kemungkinan besar pengislaman pertama berlangsung di Fanusri/Barus yang juga Aceh, karena wilayah ini memang pernah menjadi wilayah teritorial Kesultanan Aceh.

Hal ini sangat beralasan, karena seperti diungkapkan oleh Ibrahim Alfian dalam Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah secara geografis, Barus memiliki letak yang sangat strategis yaitu terletak di antara Lautan Hindia dan Laut China Selatan.

Apalagi lokasi Barus yang terletak di bagian paling ujung yang menjorok ke laut, sangat memungkinkan dari sana baru tersebar Islam ke daerah-daerah lain seperti Peureulak dan Pasai.

Barus juga pernah menjalankan syariat Islam secara penuh. Hal ini terungkap dalam satu teks naskah yang berasal dari keturuan-keturunan raja-raja Barus. Ketika itu ada seorang bernama Sutan Ibrahim yang datang untuk membuat kampung dalam hutan di hilir Kota Bariang.

Ketika itu Barus dipimpin oleh Tuan Marah Pangsu. Kehadiran Sutan Ibrahmin mengkhawatirkan Marah Pangsu, sehingga dirinya mengirim utusan kepada tamu tersebut. Pada pertemuan itu Sutan Ibrahim menegaskan bahwa dirinya membangun kampung di atas tanahnya sendiri.

Pengakuan ini pun sampai ke telinga Marah Pansu. Dirinya pun meminta Sutan Ibrahim mengucapkan sumpah tentang kedudukannya sebagai pemilik tanah. Akhirnya pada besok harinya, di depan Marah Pansu, dirinya bersumpah bahwa tanah ini merupakan miliknya.

“.....Sutan Ibrahim bersumpah dengan menambahkan bahwa dia bersama rakyatnya bersedia menerima hukuman Allah jika dia membohong.”

Sudah pernah menerapkan syariat Islam, tentu memberi gambaran bahwa kawasan dan kota pelabuhan ini sudah pernah dipimpin oleh pemerintah Islam. Karena mustahil jika pemerintahan non- Muslim atau masyarakatnya belum Islam, tetapi menjalankan syariat Islam di sana.

Silang pendapat mengenai titik nol

Pada 2017 lalu, Presiden Jokowi meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Nusantara yang terletak di pinggir pantai Barus. Hal ini atas dasar kajian yang intensif dan berasal dari permintaan masyarakat setempat.

Dijelaskan bahwa penyebaran agama-agama di Indonesia, terutama Islam di mulai dari Barus. Hal ini bisa dilihat dari Situs Mahligai dan Situs Papan Tinggi yang menjelaskan adanya penyebaran Islam di Barus kira-kira abad ke 5 Masehi.

Tetapi keputusan penetapan Barus sebagai Titik Nol Peradaban Islam Nusantara ternyata menimbulkan polemik dari sejarawan dan masyarakat tertentu. Selama ini yang masyarakat ketahui bahwa Aceh merupakan daerah pertama masuknya Islam di Indonesia.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra menjadi salah satu yang mempercayai bahwa Aceh merupakan pusat perababan Islam tertua di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Hal ini jelasnya bisa dibuktikan secara akademis.

Menurutnya beberapa bukti sejarahya adalah adanya Kesultanan Aceh, naksah kuno, benda-benda peninggalan sejarah dan lahirnya ulama-ulama besar yang berasal dari negeri Serambi Mekkah.

Legenda Akek Antak, Jejak Islamisasi di Bangka Belitung dan Kearifan Lingkungan

“Barus titik nol pusat peradaban Islam adalah pernyataan politis, bukan pernyataan secara akademik. Seperti yang saya katakan, sejarah itu ditulis atau diteliti untuk beberapa kepentingan salah satunya kepentingan politis. Secara akademis, pernyataan Barus adalah titik nol belum bisa dibuktikan,” ungkapnya yang dikutip dari Merdeka.

Sementara itu, E. Edwards Mckinnon menyatakan kawasan Fansur dan Lamuri merupakan kota tua Islam yang berada di Kabupaten Aceh Besar yang telah hilang. Negeri Fansur merupakan suatu pelabuhan yang menonjol dan termasyur.

Namanya muncul dalam teks kuno, China, Arab, Melayu, India, Armenia, Portugis, dan Belanda. Namun, negeri ini Fansur menghilang karena gempa dan tsunami pada abad ke 14.

“Sekarang kita tahu ada dua tsunami purba tahun 1390 dan 1450 yang telah menghantam pantai Aceh Besar,” paparnya.

Budayawan Aceh, Nab Bahany AS juga menjelaskan bahwa penetapan Barus sangat kontradiktif. Karena selain Barus, ketika itu ada empat pelabuhan lain yang juga mengalami kemajuan pesat, yaitu Aru, Pasai, Pedir, dan Lamuri.

“Saat Ibnu Batutah (salah seorang pengembara Muslim) melakukan ekspedisi pelayaran ke Nusantara, dia malah tidak menyebutkan Barus. Yang dia sebutkan daerah-daerah singgahannya itu di Pasai, Pedir, dan Lamuri,” ungkap Nab Bahany yang dimuat di Pikiran Merdeka.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini