Menyaksikan Kemeriahan Musik Nusantara dalam Relief Candi Borobudur

Menyaksikan Kemeriahan Musik Nusantara dalam Relief Candi Borobudur
info gambar utama

Candi Borobudur, di balik kemegahannya menyimpan banyak jejak peradaban dunia. Salah satunya, musik. Ada lebih dari 200 relief yang menggambarkan perkembangan musik secara spesifik. Borobudur sudah layaknya pusat musik dunia pada masa dahulu.

Secara umum, terdapat gambaran manusia memainkan alat musik di relief Borobudur, mulai dari alat musik tiup, petik, pukul, dan membran. Alat musik ini tidak memiliki nama tetapi bentuknya menyerupai alat musik tradisional baik khas Indonesia maupun mancanegara.

Relief ini terdapat pada kaki Candi Borobudur yang tertutup yang diambil dari Kitab Karmawabhangga berjumlah 160 panil. Ke 160 panil ini tidak menggambarkan cerita yang beruntun. Tetapi di antara panil-panil tersebut memperlihatkan alat musik atau instrumen.

Instrumen ini ada yang hanya dikenal di satu daerah saja dan ada pula yang dikenal di banyak daerah. Deretan relief alat musik kuno di Candi Borobudur ini diperkirakan berjumlah ratusan atau lebih dari 200 relief, menampilkan 60 jenis alat musik.

Lute/kecapi dan sitar (alat musik yang dipetik), suling dan terompet (alat musik yang ditiup), /gendang, ghanta (lonceng kuil), simbal (dipukul/diketok), rebab (digesek), organ (dipompa/ditekan), dan timpani (dari membran/kulit).

Selain itu bila diamati, beberapa relief tidak hanya menyerupai alat musik tradisional Indonesia, tetapi sebagian menyerupai alat musik dari negara lain, misalnya alat musik tradisional Tiongkok, Mesir, Jepang, dan Thailand.

Sejarah Hari Ini (26 Mei 824) - Candi Borobudur Selesai Dibangun

Seperti alat musik yang menyerupai bo (Tiongkok), darbuka (Mesir), sho (Jepang), ranat ek (Thailand). Memang dalam catatan sejarah, Kerajaan Mataram Kuno telah menjalin hubungan dengan negara asing.

Oleh karena itu, bisa saja masyarakat Nusantara telah mengenal berbagai alat musik negara lain, bahkan jauh sebelum Candi Borobudur berdiri. Sehingga bisa dikatakan kehidupan manusia Nusantara silam tidak lepas dari hiburan.

Borobudur pun tidak berlebihan bila disebut sebagai pusat musik dunia, sebab relief di candi tersebut menunjukkan citra musik di zamannya. Pasalnya relief tergolong sebagai sumber data material culture pada masa lalu.

Selain itu beberapa alat musik yang ada pada relief, saat ini masih bisa kita jumpai di tanah Jawa, seperti kendang dan suling. Namun terdapat pula beberapa bentuk alat musik dawai dan alat musik tiup yang bisa ditemukan di Kalimatan.

Walau sudah banyak penelitian terkait hal ini, sejauh ini buku yang membahas secara khusus mengenai musical sound of Borobudur belum pernah diterbitkan. Padahal buku seperti ini bisa referensi penting tidak hanya bagi sejarawan ataupun arkeolog, namun juga pelaku seni pertunjukan pada masa kini.

Pesta musik dalam Borobudur

Relief Karmawibhangga pada dasarnya berisi naskah Mahakarmawihangga yakni hukum sebab-akibat. Menurut hukum ini suatu perbuatan akan mendapatkan karma (balasan). Perbuatan baik akan menghasilkan kebaikan dan sebaliknya.

Namun terlepas dari hukum sebab-akibat, relief ini melukiskan gambaran kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini masyarakat Jawa kuno pada abad 9-10 Masehi.

Pada relief Karmawibhangga memuat instrumen musik. Bedasarkan kategori umum instrumen musik, yang terdiri dari empat jenis (idiophone, membraphone, chordophone, dan aerophone), semua jenis ini hadir di relief Karmawabhingga.

Misalnya dalam panil menggambarkan dua musisi pria memainkan waditra berdawai. Seorang dalam posisi berdiri sambil memainkan waditra berdawai dengan resonator berbentuk gemuk, leher, dan lurus panjang.

Seorang musisi lain dalam posisi duduk memainkan waditra berdawai dengan resonator berbentuk gemuk, neck bagian atas serong ke kanan dan ujung atasnya berbentuk gelung, tuning peg-nya berjumlah empat.

“Selain itu ada kemungkinan musisi yang ketiga, yaitu seorang wanita yang kelihatan tengah memukul simbal berdiameter lebar,” tulis M Dwi Cahyono dalam artikel berjudul Representasi Seni-Musik pada Relief Candi Borobudur dan Transformasinya: Waditra Berdawai pada Relief Mahakarmawibhangga yang dimuat di Japung Nusantara.

Ketiga musisi itu mengenakan kain panjang bawahan. bertelanjang dada, dengan rambut bersusun dua. Aksesoris berupa kalung (hara), kelat bahu, gelang tangan, jamang dan sumping.

Penyajian musik ini, kata Dwi, dimaksudkan untuk memberikan suasana musikal dalam suatu audiens, sehingga musik yang disajikan mestinya bernuansa lembut. Terdapat juga gambaran bangsawan yang dalam posisi duduk pada suatu pedestal tinggi dengan seorang wanita di belakangnya.

“Menilik adanya pedestal tinggi, penggunaan payung maupun busana-aksesoris yang dikenakan oleh para tokoh peran, tergambar bahwa lingkungan penyajian musik adalah di kalangan bangsawan,” tuturnya.

10 Bali Baru: Mengenal Lebih Jauh, Bumi Sambhara di Ujung Yogyakarta

Dwi juga menjelaskan, ada panil lain yang menggambarkan seorang musisi pria dalam posisi duduk bersila memainkan waditra berdawai. Kepala musisi hanya berambut pendek, tanpa mengangkat kepala, berkain panjang bawahan dan tidak mengenakan aksesoris.

Lingkungan penyajiannya adalah di bawah pohon yang rindang, di lingkungan permukiman luar keraton. Tergambar dua orang perempuan dari lingkungan bangsawan dan pada sisi lainnya menggambarkan orang sedang terlibat dalam pemberian derma.

“Areal yang digambarkan adalah lingkungan di luar keraton, di permukiman rakyat jelata,” bebernya.

Transformasi lintas waktu

Menurut Dwi, waditra berdawai ini kemungkinan besar pernah terdapat di Jawa jauh sebelum tahun 907 Masehi. Terbukti pada Prasasti Taji menyebut tentang permainan rawana-hasta.

Dalam bahasa Jawa kuno waditra disebut mandeli. Menurut musikolog India bernama K.V Ramachandran, mandeli merupakan waditra petik yang berjenis wina. Mandeli mendapat pengaruh dari India akibat dominasi budaya India di Nusantara pada abad 4-10 Masehi

Untuk waditra berdawai dengan resonator langsing, kata Dwi, belum diperoleh bentuk pembandingnya di India, Asia Timur maupun negara-negara lain di Asia Tenggara. Namun persamaan malah terdapat pada alat musik sampe, alat musik tradisional Suku Dayak.

“Suku Dayak di Kalimatan Timur menyebutnya sampe, yang dalam bahasa lokal dapat diartikan memetik dengan jari. Dari artinya diketahui dengan jelas bahwa waditra ini dimainkan dengan cara dipetik,” tulisnya.

Dwi menyebutkan, sebagai alat musik yang konon nyata adanya, semestinya waditra berdawai tersebut dapat dibuat dan dimainkan untuk masa sekarang. Walau jumlah dawai, notasi dan bunyi musikalnya tidaklah sepenuhnya bisa dijamin kesamaannya.

Tidak Banyak yang Tahu kalau Perusahaan-Perusahaan ini adalah BUMN

Melihat relief waditra berdawai pada cerita Karmawibhangga, atas prakarsa dari Tri Utami, Redy Eko Prasetyo, Bachtiar Djanan, dan Indro Kimpling Suseno mendiskusikan untuk mewujudkannya dalam ide Sound of Borobudur.

Komposisi pun tercipta dengan formasi Redy, Rayhan, Aak, Jhon Arief, Ali, dan juga Trie Utami. Dewa Budjana dilibatkan untuk membuat tambahan komposisi bernuansa spritual, sebuah lagu diciptakan berjudul Padma Swargantara.

Hal inilah yang terwujud dalam sebuah kegiatan Borobudur Cultural Feast yang berupaya membangun kembali sprit gotong royong masyarakat di desa-desa sekitar Candi Borobudur, pada 2016 lalu.

Dengan harapan menjadi momentum membuka kotak pandora ilmu pengetahuan yang selama ini tersimpan rapi di dalam Candi Borobudur lebih dari satu milenium lamanya. Sehingga tidak hanya “Kapal Borobudur” yang bisa diwujudkan, tetapi kemeriahan pesta musik pada relief ini juga.

“Di musikalisasikan dan di aransemenkan dalam suatu sampel musik yang membahana Nusantara bahkan dunia kelak,” ucap Dwi.

Dalam hal ini semakin jelas, relief Candi Borobudur maupun candi-candi lainnya adalah dokumentasi sezaman. Namun khasanah budaya Nusantara tidak boleh hanya menjadi kisah usang, namun harus memberi kontribusi nyata pada masa kini dan mendatang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini