Situs Liyangan dan Kearifan yang Selamatkan Warga dari Letusan Sindoro

Situs Liyangan dan Kearifan yang Selamatkan Warga dari Letusan Sindoro
info gambar utama

Pada abad 11, Gunung Sindoro meletus dahsyat, letusan ini terjadi secara berulang. Sehingga permukiman Liyangan kuno akhirnya ditelan bumi. Permukiman Liyangan kuno terkubur habis tanpa sisa.

Namun hebatnya, tidak ada korban dalam peristiwa bencana alam ini, baik itu korban jiwa, harta benda, bahkan ternak. Masyarakat Liyangan seperti telah memiliki kearifan lokal sehingga bisa bertahan hidup di tanah dengan potensi bencana besar.

“Masyarakatnya pasti sangat cerdas dan arif, karena selain mampu membangun peradaban yang hebat, juga mampu membaca dinamika alam sehingga berhasil menghindari bencana,” tulis Sugeng Riyanto dalam Situs Liyangan dan Sejarahnya: Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung.

Sugeng menjelaskan bahwa meskipun letusan Gunung Sindoro sangat dahsyat, tetapi masyarakat Liyangan kuno dapat menyingkir sebelum kejadian dengan selamat. Mereka rupanya dapat menebak dengan jitu kapan Sindoro akan meletus melalui tanda-tanda yang diketahui secara turun temurun.

Hal ini, katanya merupakan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman bermukim di lereng Sindoro selama ratusan tahun. Karena selama itu, tentunya Gunung Sindoro juga meletus beberapa kali meskipun tidak besar.

Gunung Yang Menjadi Gambar Favorit Anak SD Ternyata Ada Di Dunia Nyata

“Kejadian-kejadian itu diingat tanda-tandanya hingga menjadi pengetahuan empiris masyarakat Liyangan kuno dan diajarkan secara turun-temurun,” jelasnya.

Disadur dari Historia, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, Baskoro Daru Tjahjono mengatakan orang Liyangan sadar mereka tinggal di daerah rawan bencana, letusan gunung api, longsor banjir bandang, dan gempa bumi.

Menyadari hal ini, mereka mempersiapkan diri melalui sistem ketahanan pangan yang baik. Apalagi masyarakat Liyangan diberkati alam yang subur karena berada di lereng gunung berapi yang aktif.

Dari bukti arkeologi, menunjukkan masyarakat Liyangan mengolah tanah untuk area pertanian. Hasilnya melimpah, tidak habis dalam sehari. Mereka pun menyimpannya dalam lumbung. Hasil panen ini juga digunakan untuk persembahan upacara.

Penemuan lumbung padi di Situs Liyangan mengindikasikan masyarakat di sana telah mampu menjaga ketersediaan pangan dalam waktu lama. Ketahanan pangan penting ketika terjadi bencana sewaktu-waktu.

Gunung Sindoro telah menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat Liyangan untuk membangun hunian dan permukiman kuno. Namun pada akhirnya, Gunung Sindoro juga yang menghentikan peradaban itu dengan muntahan laharnya.

Peradaban yang tenggelam karena Sindoro

Berjarak 8 km dari Puncak Sindoro. Liyangan menyimpan jejak peradaban yang bertumbuh dari fase demi fase sejak abad ke 6 Masehi. Tetapi erupsi hebat Gunung Sindoro menguburnya pada abad ke 11 Masehi.

Situs Liyangan merupakan kompleks pemukiman yang berada di lereng timur laut Gunung Sindoro, tepatnya di Dusun Liyangan, Desa Purbasari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Jateng).

Situs Liyangan terdiri dari area atau lokasi-lokasi yang terkait dengan aktivitas hunian, aktivitas pertanian yang integral. Peradaban Liyangan kuno secara kronologis sedikitnya berada rentang abad 2 hingga 11 Masehi.

“Bahkan sebelum masuknya anasir budaya India, hingga masa kejayaan Mataram Kuno. Situs Liyangan terkubur oleh material vulkanis Gunung Sindoro yang letaknya hanya sekitar 8 kilometer dari puncak jelas Sugeng Riyanto dalam Situs Liyangan Dalam Bingkai Sejarah Mataram Kuno.

Ketika itu erupsi Gunung Sindoro menyebabkan Situs Liyangan terkubur oleh aliran piroklastik yang bercampur dengan awan panas dan aliran lava yang terus berlangsung. Hal ini disusul aliran lahar dingin dan membentuk Kali Langit sehingga memisahkan bangunan-banguan di Situs Liyangan yang awalnya satu kesatuan.

Menurut Sugeng, ketebalan material hasil erupsi Sindoro akhirnya memendam Liyangan hingga kedalaman 7-10 meter. Materialnya beragam, dari pasir, kerikil, abu vulkanik, hingga bongkah-bongkah batu yang sangat besar.

5 Gunung Dengan Ladang Edelweiss di Indonesia

Situs Liyangan ditemukan pada tahun 2008 yang secara tidak sengaja oleh para penambangan pasir. Setelahnya penggalian mulai dilakukan secara intensif. Prediksi terbaru, wilayah situs Liyangan memiliki luas hingga 10 hektare.

Candi yang berdiri di atas material vulkanik hanyalah salah satu candi di Liyangan. Kompleks Situs Liyangan memiliki tiga teras bangunan. Pada teras kedua, terdapat dua batur sementara pada teras ketiga terdapat 1 bangunan candi utama dan 5 batur.

Sugeng menyebut Situs Liyangan merupakan area yang cukup kompleks, yaitu area hunian yang ditandai dengan ditemukannya sisa rumah kayu, peralatan rumah tangga dari keramik, tembikar, logam, dan batu.

Sedangkan juga ditemui area peribadatan Hindu dengan ditandai oleh bangunan Candi Hindu, bangunan batur, dan peralatan peribadatan berupa genta perunggu dan arca. Area pertanian dengan ditemui sebaran yoni, peralatan pertanian dan padi yang hangus.

Keistimewaan Situs Liyangan bagi Sugeng, bukan hanya terletak pada candi dan bangunan batu, tetapi yang istimewa adalah lokasi permukiman di lereng Gunung Sindoro yang potensial namun menyimpan potensi bencana.

Situs Mataram Kuno

Sugeng mengaitkan Situs Liyangan dengan Layang. Tempat ini merupakan daerah tingkat watak yang dikuasai oleh Raka i Layang Dyah Tlodhong. Kendati perlu ada kajian lebih mendalam, kata layangan dan Liyangan sangat dekat.

Karena itu menjadi pertimbangan bahwa Liyangan adalah Layang yang merupakan daerah yang menjadi tempat asal Dyah Tlodhong. Bila benar, kata Sugeng, Situs Liyangan merupakan daerah watak yang salah satu penguasanya, Dyah Tlodhong, raja Mataram.

Pada masa Jawa kuno, ada tiga satuan wilayah pemerintah, yaitu wanua, watak, dan pusat kerajaan. Wanua merupakan satuan terkecil setingkat desa. Pemimpinnya disebut Rama. Wanua-wanua kemudian berkumpul menjadi sebuah satuan wilayah yang disebut watak.

Watak ini dipimpin oleh seorang Rakai. Watak menjadi wilayah yang otonom. Dia memiliki pemerintahan sendiri yang mengurus segala keperluan wanua-wanua di bawahnya. Di atas watak, barulah terdapat pusat kerajaan yang dipimpin oleh seorang Maharaja.

Rakai Layang Dyah Tlodhong kemudian diangkat menjadi putra mahkota, setelah menjadi penguasa di watak Layang. Dirinya menggantikan Mpu Daksa yang merebut singgasana dari kekuasaan Balitung sekitar 908 Masehi.

Tempat Berkumpulnya Bidadari Ada di Gunung Jawa Tengah!

Pemerintahan Dyah Tlodhong ditandai dengan pembangunan bendungan di Sungai Harinjing pada 19 September 921 Masehi, sebelum akhirnya digantikan oleh Rakai Sumba Dyah Wawa pada tanggal 14 Februari 928 Masehi.

Dyah Wawa bukan anak Tlodhong dan sebenarnya tidak berhak atas takhta kerajaan Mataram. Pemerintahannya sangat singkat bahkan berhenti mendadak, dan berita berikutnya adalah Raja Sindok yang memindahkan kerajaannya ke bagian timur Jawa.

Setelah ditinggalkan oleh Dyah Tlodhong, daerah Layang kemungkinan diperintah oleh kerabatnya. Daerah ini bahkan masih terus ada sampai Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan ke wilayah Jawa Timur pada 929 Masehi.

Memang perpindahan kerajaan Mataram ke timur tidak berarti memindahkan seluruh isi kerajaan hingga peradaban di Jawa Tengah lenyap. Dapat dipastikan sebagian tempat peradaban di Jateng masih terus tumbuh dan tidak habis sama sekali.

Hal ini dibuktikan oleh prasasti bertarikh 1100 Masehi yang ditemukan di Desa Pojok, Semarang, dan prasasti berangka tahun 1210 Masehi yang ditemukan di Dieng. Bahkan tidak mustahil Liyangan menyimpan data arkeologi mengenai perpindahan kerajaan ini.

Pemukiman dan peradaban di Liyangan lantas berhenti dan menghilang akibat muntahan material letusan dahsyat Gunung Sindoro yang menguburnya. Belum dapat dipastikan kejadiannya, tetapi Sugeng memperkirakan pada pertengahan abad ke 11.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini