Gaya Pakaian Eropa: Simbol Modernitas dan Bentuk Perlawanan Kaum Pribumi

Gaya Pakaian Eropa: Simbol Modernitas dan Bentuk Perlawanan Kaum Pribumi
info gambar utama

Pakaian masyarakat Indonesia pada masa lalu pernah menciptakan sebuah polemik.
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) ketika itu hanya memperbolehkan penganut Kristen yang bisa memakai pakaian gaya Eropa.

Orang-orang Indonesia hanya boleh mengenakan pakaian etnis masing-masing. Maka perselisihan pun muncul saat sebagian orang Indonesia berkeinginan kuat untuk bisa mengenakan pakaian Eropa.

“Pelengkap khas pakaian bagi Kristiani non-Eropa terdiri atas topi gaya Eropa, kaus kaki, dan sepatu,” tulis Kees van Dijk di buku Outward Appearances.

Ketika itu di Batavia, oleh pihak kompeni dibuatkan kawasan khusus berdasar daerah asal. Etnis yang satu tak boleh mengenakan pakaian dari etnis lain. Dengan kawasan tertentu dan pakaian tertentu membuat VOC mudah mengawasi mereka.

Priyanto Oemar dalam Pakaian dan Kontrol Pemerintah di Zaman Kolonial yang dimuat Republika menyatakan mulai banyak orang yang meninggalkan kawasan tempat tinggal itu. Mereka lalu mulai berbaur dan mengenakan pakaian etnis dari mana saja.

Arsitektur Neo Gothic Gereja Katedral Jakarta, Penghormatan untuk Bunda Maria

Priyanto misalnya mencontohkan orang-orang China yang pada akhir abad ke 19 yang mulai memotong kuncir lalu mengenakan pakaian Eropa. Demikian pula para bangsawan pribumi yang semakin banyak mengenakan pakaian Eropa.

Salah satu bangsawan pribumi yang sudah bisa mengenakan pakaian Eropa sejak abad 17 adalah Raja Mataram Islam Amangkurat II. Priyanto menjelaskan bahwa Amangkurat II sering melakukan perjalanan dengan memakai pakaian Eropa.

“Dilihat dari kejauhan Amangkurat II sering diduga sebagai Sang Gubernur Jenderal dalam perjalanan mengelilingi Jawa,” tulisnya.

Dalam Babad Tanah Jawa, dijelaskan Amangkurat II memakai pakaian dan kaus kaki serta sepatu Belanda, celana selutut dengan kancing-kancing di bagian lutut, jas beludru tiga potong, yang terbuka di bagian depan dihiasi dengan renda emas dan sebuah topi.

Tetapi dengan memakai pakaian itu, Amangkurat II disebut sedang mengorbankan identitas Jawa-nya. Langkah mengenakan pakaian Eropa akhirnya membuat beberapa orang berpikir bahwa Amangkurat iII seorang penyaru, putra admiral Belanda, bukan pangeran dari Jawa.

Kehilangan identitas?

Memasuki abad ke 20, penggunaan pakaian yang berasal dari dunia Barat adalah perlambang dari sebuah modernitas. Modernisasi di segala bidang di kota-kota besar di Pulau Jawa, sangat mempengaruhi tren berbusana Eropa.

Ini misalnya terlihat dari banyaknya iklan-iklan mengenai pakaian atau fashion yang tercetak dalam surat kabar ternama pada awal abad 20 di Pulau Jawa, tak terkecuali di Batavia. Surat kabar memang menjadi awal masyarakat mengenal pakaian Eropa.

Seperti surat kabar de Nieuwe Vorstenlanden yang merupakan salah satu harian berbahasa Belanda yang terbesar dan penting di wilayah Jawa Tengah. Meski kedudukan penerbitannya di Kota Surakarta, namun distribusinya bisa sampai ke luar Jawa.

Dalam surat kabar ini terdapat iklan mengenai produk pakaian dan asesoris. Di mana di dalamnya tertulis mengenai toko-toko serba ada W.F Hillerstrom, Pianelli Freres, dan juga Sie Dhien Hoe yang mengiklankan produknya.

Produknya seperti pakaian, mantel wanita, korset, sarung tangan, pakaian dalam wanita, pakaian pelaut untuk anak putri, gaun, pakaian pengantin Eropa, kain-kain sutera impor dari Paris, kain beludru, renda-renda Valentine, kain wol, jas, ikat pingggang, dan lain-lain.

Tebu Ajaib dari Jawa: Cerita Manisnya Industri Gula bagi Kota Pasuruan

Iklan mengenai pakaian lainnya juga terdapat pada surat kabar, De Locomotief yang merupakan harian terbesar dan terpenting yang terbit juga di Jawa Tengah. Koran ini dianggap sebagai motor penggerak modernisasi di Hindia Belanda.

Di Batavia ada surat kabar Pemberita Betawi yang terbit antara tahun 1884 sampai 1916. Koran berbahasa Melayu mengiklankan produk-produk yang ada di toko serba ada di antaranya Toko Gebr, Sutorius & Co, di daerah Kali Besar.

Promosi-promosi iklan di dalam surat kabar yang terbit di Batavia inilah yang membantu proses modernisasi masyarakat terhadap tren berpakaian ala orang Eropa. Apalagi masyarakat Pribumi dan Tionghoa yang memiliki pendidikan tinggi.

Pada dekade 1920-an, orang-orang Indonesia mulai menanggalkan sarung, mereka menggantinya dengan celana panjang. Nasionalis dari Jawa mula-mula mengganti surja dengan jas dan sarung, pelan-pelan jas dipasangkan dengan celana panjang.

Menurut Priyanto, perubahan pakaian itu ternyata mendapat respon negatif dari kalangan Islam. Dirinya menulis ketika ada seseorang yang masuk Masjid dengan menggunakan celana panjang, pasti akan diolok-olok.

Priyanto menyebut orang-orang dari kalangan Muslim menilai mereka yang mengenakan celana panjang ketika ke masjid, dianggap mengenakan hal yang haram karena merupakan pakaian Kristen.

Van Dijk misalnya punya pengalaman pada 1936, orang-orang memboikot pernikahan karena mempelai laki-laki mengenakan celana panjang. Pada masa VOC, menurutnya pakaian Belanda memang menjadi penanda jelas tentang kebudayaan dan agama.

Simbol perlawanan

Polemik “kehilangan identitas” ini juga ditulis oleh Ki Hajar Dewantara dalam De Indier yang terbit pada 1914 dimuat di Tirto. Dirinya menyampaikan bahwa para orang tua dan saudari-saudari dari kaum konservatif cemas dan melancarkan protes.

Dia juga menggambarkan adanya kasus renggangnya hubungan antara ibu dan anak laki-lakinya yang memotong rambut. Salah satunya kisah seorang guru dan dokter pribumi yang menyatakan tanpa rambut panjang berarti bukan orang Jawa.

R.M Soetatmo Mangoenkoesoemo pada sebuat artikel berjudul Apakah jas yang baik membuat pria tampil baik? yang dimuat De Indier pada 1914 malah mengajak para nasionalis untuk kembali memakai pakaian tradisional.

Baginya orang Jawa memakai pakaian Eropa hanya supaya diperlakukan lebih baik oleh orang Belanda. Karena dengan begitu, mereka terhindar dari cemoohan karena orang-orang Belanda bersikap sedikit lebih baik.

Surat kabar Oetoesan Melajoe pada 1917 menyebut bahwa seorang Melayu yang melepaskan pakaian nasionalnya demi pakaian Barat tidak saja mempermalukan dirinya, tetapi mengingkari kebangsaannya.

“Tetapi dia juga sulit dikategorikan menurut kelompok nasionalnya sendiri-bukan Eropa, bukan Melayu.”

Tak Bisa Bayar Utang, Dihukum Kurungan di Penjara Bawah Tanah Hindia Belanda

Namun angin modernitas yang berhembus perlahan tetap mengubah cara berpakaian elite pribumi. Menurut van Dijk dengan memakai pakaian Barat, orang pribumi telah memasuki alam Eropa dan tidak lagi dibedakan secara hukum.

Selain itu dibalik gaya hidup necis nan modern itu, menurutnya, terselip makna bahwa pakaian Eropa menjadi suatu indikasi bahwa seseorang mendukung perkembangan ide-ide progresif dan memprotes tata krama masyarakatnya sendiri.

Soekarno menjadi sosok yang cukup vokal untuk mendorong perubahan, salah satunya dari segi pakaian. Dalam pertemuan Jong Java di Surabaya pada 1921, saat itu terjadi perbincangan mengenai penutup kepala.

Dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dia melukiskan peristiwa tersebut dengan cukup dramatis. Dia bilang kaum cendekiawan yang hadir di sana mempertanyakan pemakaian kain penutup kepala ala Jawa, sarung, dan peci.

Mereka menganggap pakaian itu digunakan “kaum” yang lebih rendah. Di tengah kegusarannya, Soekarno yang waktu itu masih berumur 20 tahun, bicara lantang, semacam pidato peneguhan peci sebagai simbol nasionalisme Indonesia.

“Kita memerlukan sebuah simbol bagi kepribadian Indonesia. Topi jenis ini, sama dengan yang dipakai oleh para pekerja biasa bangsa Melayu. Marilah kita menegakkan kepala tinggi-tinggi mengemban topi ini sebagai simbol Indonesia Merdeka,” sebutnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini