Bukit Peramun, Hutan dengan Kekayaan Tanaman Obat di Pulau Belitung

Bukit Peramun, Hutan dengan Kekayaan Tanaman Obat di Pulau Belitung
info gambar utama

Pulau Belitung tidak hanya terkenal dengan keindahan pantai yang memiliki hamparan batuan granit berusia jutaan tahun. Pulau yang memiliki luas sekitar 450.000 hektare juga menyimpan berbagai pengetahuan terkait obat-obatan Suku Melayu.

Salah satu apotek hidup dari Pulau Belitung ini terdapat di Bukit Peramun yang berada di Desa Air Selumar, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Bangka Belitung. Di bukit ini terdapat 147 jenis pohon dan tumbuhan, ratusan batu granit.

Nama “peramun” memiliki arti ramuan, hal ini berasal dari melimpahnya tumbuhan obat di daerah tersebut. Banyak yang dikatakan efektif dalam pemulihan malaria, persalinan, diabetes, tekanan darah tinggi dan penyakit sejenisnya.

Dimuat dari Antvklik, Bukit Peramun kini dikelola oleh Komunitas Arsel yang anggotanya merupakan warga setempat. Menurut Ketua Komunitas Arsel, Adie Darmawan alias Adong nama peramun juga berasal dari nama kampung tempat hidup peramu tanaman.

“Menurut cerita dahulu berdiri semacam kampung kecil yang berlokasi di gubuk peramun atau lorong granit,” paparnya.

Dijelaskan oleh Adong, masyarakat di Bukit Peramun dahulu sangat ahli dalam meracik tanaman lokal yang berkhasiat obat. Hal tersebut diperkuat dengan penemuan bermacam tanaman berkhasiat obat di bibir lorong granit yang diduga dahulu adalah gubuk peramun.

Kisah T'wan Anoak Langia, Tabib Spesialis Pengobatan dari Hutan

Di Bukit Peramun didominasi oleh pohon ulin (Eusiderxylon zwageri) atau bulin dalam bahasa lokal. Ada juga pulai (Alstonia sp.), paharu (Aquilaria malaccensis), balau merah (Shorea belangeran), karai (Horea ovalis).

Beragam satwa juga ada di sini. Tercatat ada 24 jenis burung di hutan Peramun ini. Ada juga mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak) dan berbagai jenis ular.

Pengurus Hutan Kemasyarakatan (HKm) Bukit Peramun, Nurdin alias Pak Itin menyebut sekitar 60 persen tanaman di Bukit Peramun merupakan bahan obat-obatan. Dirinya bahkan percaya semua tanaman di Bukit Peramun bisa dijadikan obat.

Pasalnya, kata Nurdin, banyak pengetahuan tentang obat-obatan sudah banyak yang hilang atau tidak masyarakat sekitar ketahui, terutama dari para orang tua mereka terdahulu. Saat ini sekitar 300 ramuan obat untuk berbagai penyakit atau minuman sehat.

“Yang jadi bahan obatan itu, mulai dari daun, akar, kulit, buah, dan bunga.” ucapnya yang dimuat Mongabay Indonesia.

Nurdin mengatakan beberapa ramuan obat banyak diminta masyarakat, baik dari Belitung atau luar, misal dari akar kuning (Fibraurea chloroleuca), upak apik atau bajakah (Spatholobus littoralis hassk), pasak bumi (Eurycoma longifolia).

Menjaga hutan

Selain kekayaan flora dan fauna, di Bukit Peramun juga terdapat 12 mata air purba. Dirinya pun mempercayai bukit ini usianya telah jutaan tahun, karena itu mata air yang terbentuk pun usianya telah jutaan tahun.

Sementara itu di Belitung, katanya kemungkinan hanya tinggal hutan di Bukit Peramun yang masih terjaga dengan baik, termasuk pengetahuan obat-obatannya. Dirinya pun mendapatkan pengetahuan obat-obatan ini dari orang tua dan masyarakat.

Sejak kecil, Nurdin telah hidup di sekitar Bukit Peramun, mulai dari membantu orang tuanya berkebun, hingga membuka kebun lada dan karet. Sejak remaja dirinya sering keluar masuk hutan, bahkan bermalam sendirian di Bukit Peramun.

Dari pengalaman bermalam di hutan, Nurdin memahami bahwa pohon mudah terkelupas ketika bulan purnama. Namun saat malam biasa, katanya, kulit pohon sangat keras menempel di batangnya.

“Saat siang, saya berbicara dengan pohon-pohon di sini. Mereka seperti terus berdoa atau memuja Tuhan. Itulah yang membuat saya cinta dengan pohon ini. Sedih jika ada yang melukai atau menebang pohon.” ucapnya.

Nurdin pun berupaya untuk menjaga hutan. Dia pun berharap ada generasi muda yang mewarisi pengetahuan obat-obatan yang dia miliki. Namun dirinya menegaskan, pengetahuan itu bukan untuk berbisnis, sebab akan berdampak pada kerusakan hutan.

Sejuta Manfaat Cacing Tanah

Setelah Reformasi 1998, Pulau Belitung seperti juga Bangka, marak terjadi penambangan timah ilegal. Hampir semua wilayah daratan dibuka masyarakat untuk menambang timah, termasuk di sekitar Bukit Peramun.

Adong menyatakan ancaman lain di Bukit Peramun juga ada penambangan batu granit. Banyak batuan granit yang berusia jutaan tahun ditambang masyarakat baik manual maupun menggunakan bahan peledak.

Namun setelahnya, muncul pula perkebunan sawit di lokasi bekas tambang maupun lahan yang sebelumnya kebun lada atau hutan. Karena itu dirinya memutuskan berhenti bekerja, kemudian kembali ke kampung dan berupaya menyelamatkan Bukit Peramun.

“Saya senang sekali bertemu Pak Itin (Nurdin) yang saat itu menentang segala upaya merusak Bukit Peramun. Komunitas kami juga melibatkan banyak pemuda kampung,” kata Adong.

Mereka pun mengusulkan Bukit Peramun yang secara status masuk kawasan hutan produksi Batu Itam - Air Gelarak ini jadi HKm. Pada 2017, melalui surat keputusan bupati, Bukit Peramun resmi menjadi kawasan ekowisata di Belitung.

Pertahanan terakhir

KLHK melalui Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) menetapkan sebagian hutan di sekitar HKm Bukit Peramun sebagai taman keanekaragaman hayati (Kehati).

Bukit peramun pun akhirnya ditetapkan menjadi geosite Belitung UNESCO Global Geopark pada 2021. Karena itu Adong ingin mengembangkan Bukit Peramun menjadi laboratorium obat-obatan Suku Melayu hingga bermanfaat bagi masyarakat.

Adong berharap pemerintah di Belitung dan Belitung Timur mengusulkan berbagai hutan di kawasan bukit di Pulau Belitung untuk menjadi kawasan lindung. Karena baginya selama ini yang menjadi hutan lindung kebanyakan di wilayah pesisir.

“Padahal hutan di bukit sangatlah penting. Selain habitat berbagai flora dan fauna, juga menjaga air, mengatasi banjir dan kekeringan, serta sumber ekonomi non kayu,” paparnya.

Dirinya khawatir, bila tidak ada perlindungan, hutan bisa habis untuk penambangan timah ilegal, perkebunan kayu maupun kebun sawit. Apalagi sebagian besar mata pencarian warga adalah penambang timah yang dianggap menjanjikan, namun merusak lingkungan.

4 Bumbu Dapur Khas Indonesia Ini Bisa Obati Kanker. Apa Saja?

Karena itulah, dirinya mulai melestarikan hutan Bukit Peramun sehingga bisa dijadikan ladang mata pencaharian untuk warga sekitar. Dirinya pun mengajukan pengelolaan hutan berbasis kemasyarakatan dan mendapat izin pengelolaan 150 hektare kawasan hutan.

“Kami diberikan pilihan. Mengelola jasa air, flora, fauna dan jasa wisata, serta penyerapan karbon. Untuk saat ini kami bisa lakukan untuk jasa wisata,” katanya yang dimuat Suara.

Sejak 2006, dirinya pun terus mengajak puluhan masyarakat desa, namun jumlahnya terus menyusut hingga tersisa hanya 26 orang. Alasan puluhan warga itu mundur pun sederhana yaitu daerah ini merupakan wilayah tambang, sehingga mindset mereka hanya tambang.

Tetapi dengan dibantu pihak swasta, wisata Bukit Peramun terus berkembang. Bantuan itu tidak selalu datang dalam bentuk dana, mereka juga mendapat pelatihan manajemen pengelolaan usaha wisata.

“Kami masih belajar soal komunitas ini. Untuk mengubah pola pikir kami, kami harus berjuang. Kami pikir kalau enggak mengubah diri, maka pulau ini akan tenggelam. Akhirnya kami mengerti, daerah ini bisa dibangun untuk masa depan,” katanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini