Balada Pondok Cina: Tempat Singgah Orang Tionghoa ketika Terusir dari Depok

Balada Pondok Cina: Tempat Singgah Orang Tionghoa ketika Terusir dari Depok
info gambar utama

Pondok Cina, kelurahan yang terletak di Kecamatan Beji, Kota Depok itu punya kisah mengenai penamaannya. Dahulu, Pondok Cina (Pocin) ini merupakan kawasan Pecinan atau tempat bermukim orang-orang Tionghoa.

Jejak peninggalan para orang-orang Tionghoa ini sekarang terbilang minim. Hanya sebuah bangunan tua yang dikenal dengan rumah Pondok Cina yang menjadi salah satu sisa jejak kehadiran orang Tionghoa.

Kini bangunan Pondok Cina yang menempati halaman pusat perbelanjaan Margo City, sudah menjadi salah satu kedai kopi merk Internasional. Sehingga kembali mengubur kenangan mengenai kehadiran pendatang Tionghoa ke Pondok Cina.

Kisah bangunan ini seperti menggambarkan catatan sejarah para pendatang Tionghoa di Depok yang kini hilang terkubur. Padahal dalam catatan sejarah, kehadiran orang Tionghoa di Depok telah terjadi sejak abad 18.

Sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam menyebutkan orang-orang Tionghoa ini pertama kali bermukim di kawasan Pondok Cina. Kawasan ini telah tercantum dalam catatan VOC dan peta Depok di tahun 1726.

“Pendatang tersebut merupakan pedagang-pedagang di Pasar Depok. Pondok Cina merupakan tempat transit atau pemondokan mereka sebelum berdagang di pasar,” papar sejarawan yang akrab disapa Titi ini dimuat di Pikiran Rakyat.

Asal-Usul Depok, Kota Satelit yang Diusulkan Gabung ke Jakarta Raya

Sejak akhir abad 17, para imigran Tionghoa yang mulai datang memang memilih wilayah Ommelanden (daerah sekitar Batavia) untuk berdagang seperti Tangerang di barat Batavia dan Depok di selatan Batavia.

Wilayah selatan Batavia dibuka oleh saudagar VOC, Cornelis Chastelein yang membeli sebidang tanah di Depok (Mampang dan Karanganyar) pada 1691 dari seorang tuan tanah Tionghoa, Tio Tiong Ko.

Dipaparkan Historia, Depok terletak cukup jauh dari selatan Batavia. Orang perlu menempuh dua jam perjalanan dengan kereta kuda dari pusat Kota Batavia. Sebelum sampai ke Depok, harus melewati sebuah wilayah yang disebut Pondok Cina.

Sejarawan Adolf Heuken juga menyebut nama Pondok Cina telah dipakai untuk menyebut rumah tua yang sekarang terletak di halaman Margo City. Walau hingga kini belum ada catatan yang menjelaskan mengapa rumah itu dinamakan Pondok Cina.

“Sebuah rumah sudah disebut dengan nama Pondok Tjina pada tahun 1690, waktu dimiliki oleh seorang Tionghoa,” tulis Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta.

Orang Tionghoa yang terusir

Abraham van Rieebek, seorang saudagar Belanda yang kelak menjadi pemimpin VOC melakukan perjalanan pada 1704 untuk melihat potensi wilayah selatan. Kala itu dirinya mencatat bahwa nama Pondok Cina sudah tertera.

“Dia memulai perjalanannya dari Batavia-Tjililitan-Tandjung Timoer-Seringsing-Pondok Tjina-Pondok Putjung-Bodjong Manggis-Kedung Halang-Parung Angsana (sekarang menjadi Tanah Baru,” demikian dikutip Rian Timadar dalam skripsi Persebaran Data Arkeologi di Permukiman Depok Abad 17-19 di Universitas Indonesia.

Rian menyebut keterangan tersebut berbeda dengan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Pondok Cina. Dijelaskannya bahwa masyarakat berpandangan bahwa Pondok Cina dahulunya bernama Kampung Bojong.

Orang Tionghoa dahulunya menempati hutan itu dengan mendirikan pondok-pondok sederhana. Kebetulan tuan tanah Kampung Bojong yang juga seorang Tionghoa tidak berkeberatan. Sejak itulah, orang mulai menyebut wilayah tersebut Pondok Cina.

Hendaru Tri Hanggoro dalam Jejak Tionghoa di Pondok Cina menjelaskan bahwa Pondok Cina mulai berkembang sebagai tempat singgah sementara orang Tionghoa sejak paruh pertama abad ke 18.

Tidak lama setelahnya Chastelein mulai membangun Depok melalui budak-budaknya. Chastelein bersama budak-budaknya membutuhkan persediaan barang-barang kebutuhan sehari-hari, sedangkan Batavia terlalu jauh.

Menyambut Museum Nabi Muhammad di Depok

Dirinya kemudian mulai mengundang para pedagang Batavia untuk datang ke Depok, sehingga kelak mereka mulai berdagang di Pasar Depok. VOC juga melihat Depok sebagai wilayah penyuplai hasil kebun dan tani ke Batavia.

Orang yang ingin berdagang di Depok harus menaati aturan main Chastelein. Sebagai tuan tanah, dirinya mendapat hak istimewa seperti membuat hukum perdagangan. Salah satunya adalah pelarangan orang Tionghoa bermukim di Depok.

Pelarangan ini jelas Lilie Suratminto dalam Depok dari Masa Prakolonial ke Masa Kolonial menyebutkan Chastelein dalam suratnya wasiatnya melarang orang Tionghoa tinggal di Depok karena kebiasaan mereka yang tidak baik.

Dinukil dari Kompas, orang Tionghoa tersebut dilarang karena dianggap sebagai sumber kerusuhan dan suka meminjamkan uang dengan bunga tinggi. Sehingga mereka diizinkan berdagang sampai siang hari.

“Mereka hanya diizinkan berdagang pada waktu siang hari. Apabila matahari telah terbenam, mereka berbondong-bondong meninggalkan kawasan Depok,” tutur Titik.

Bermukim hingga hilang

Orang Tionghoa tak mungkin pulang ke Glodok, tempat asal mereka. Glodok saat itu terlalu jauh untuk ditempuh pulang-pergi. Sehingga mereka tinggal di Pondok Cina yang ketika itu bukan bagian dari Depok.

Orang-orang Tionghoa tidak berkeberatan tinggal di sana, apalagi posisinya yang sangat strategis, terletak di jalur utama -kini Jalan Margonda- menuju ke tiga pasar yaitu Pasar Cimanggis, Pasar Cisalak, Pasar Lama.

Dijelaskan oleh Titi, pendatang Tionghoa ini kegiatannya bukan hanya berdagang, di antara mereka ada yang bekerja sebagai petani di sawah, bekerja di ladang kebun karet milik tuan tanah Belanda.

Sementara itu dalam statistik residensi Bogor tahun 1861, tampak penyebaran orang-orang Tionghoa, di antaranya di Pondok Terong/Ratu Jaya (93 orang), Cinere (86 orang), dan di Tanah Partikelir Pondok Cina (74 orang).

Tidak semua pedagang China bertempat tinggal di Pondok Cina, di antara mereka ada juga yang tingga di Cisalak. Sementara orang Tionghoa di kawasan Pondok Cina bermukim di Kampung Kemiri Muka, Depok.

Tahura Pancoran Mas, Saksi Bisu Depok Jadi Hutan Kota Zaman Hindia Belanda

Memasuki abad ke 19, perkembangan Depok menjadi lebih pesat seiring perpindahan Rumah Gubernur Jenderal dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Sebuah stasiun baru juga didirikan di Depok.

Distribusi barang-barang kebutuhan pokok antara Batavia-Depok Buitenzorg pun menjadi lebih mudah. Permukiman baru pun tumbuh. Masyarakat yang ingin menuju Buitenzorg dan sebaliknya seringkali singgah dulu di Depok.

Pada 1860, populasi orang Tionghoa di Hindia Belanda bertambah dan dua per tiganya tinggal di Pulau Jawa. Karena Batavia semakin padat, orang Tionghoa ini semakin tertarik berdagang di Pasar Cimanggis, Pasar Cisalak, dan Pasar Lama.

“Ini semua sangat mempengaruhi perkembangan tiga pasar tersebut, termasuk Pondok Cina,” tulis Rian.

Di pasar sebagai ruang terbuka, orang Tionghoa ini berinteraksi dengan orang Depok Asal (orang Betawi beragama Islam), orang Depok Asli (keturunan budak Chastelein), dan para pendatang dari Ambon dan Manado.

Tetapi memasuki abad ke 20, orang-orang Tionghoa di daerah itu mulai berkurang, sebagian pindah ke Pasar Cisalak, sebagian tidak diketahui jejaknya. Hingga kini keturunan para pedagang Tionghoa di Pondok Cina sulit ditemukan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini