Ketika Pasar Senen Jadi Tempat Nongkrong Seniman dan Aktivis Revolusioner

Ketika Pasar Senen Jadi Tempat Nongkrong Seniman dan Aktivis Revolusioner
info gambar utama

Pasar Senen merupakan pasar tertua yang ada di Jakarta. Pasar ini dibangun oleh arsitek dan tuan tanah Yustinus Vinck di atas lahan milik anggota Dewan Hindia Belanda bernama Cornelis Chastelein.

Pembangunan Pasar Senen waktunya bersama dengan Pasar Tanah Abang yaitu sekitar Agustus 1753. Pasar ini awalnya melakukan aktivitas hanya pada hari Senin sehingga disebut sebagai Pasar Senen, karena semakin ramai akhirnya buka selain di hari Senin

Namun Pasar Senen tidak hanya diramaikan dengan aktivitas perdagangan, namun juga tongkrongan bagi para pemuda. Sekitar tahun 1930 an, Para mahasiswa, aktivis, dan seniman dari berbagai penjuru Indonesia datang untuk beraktivitas di sana.

Beberapa intelektual muda serta pejuang bawah tanah, seperti Chairil Anwar, Sobron Aidit, Djamaluddin Malik, Wolly Sutinah, hingga Sitor Situmorang, sering menampakkan wajahnya di kawasan Pasar Senen.

Orang-orang ini kemudian disebut sebagai “Seniman Senen”. Pemilihan lokasi ini karena dekat dengan Gedung Kesenian Jakarta dan studio film Golden Arrow. Lokasi yang strategis sehingga bisa mudah dan murah untuk dijangkau.

“Itu kondisi yang spontan, tidak diatur. Seniman, tukang obat, maling, preman, berkumpul. Orang Barat menyebutnya melting pot. Pasar Senen melting pot kaum intelektual,” ujar Gulontam Situmorang yang dimuat dari CNN Indonesia.

Sejarah Hari Ini (30 Agustus 1735) - Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen Berdiri di Batavia

Gulontam masih mengingat bagaimana para intelektual dari berbagai bidang, baik politik, seni, film, musik, wartawan menjadikan Pasar Senen sebagai tempat berkumpul. Pada masa 1950 an, Pasar Senen disebutnya sebagai tempat pemuda mencari keindonesiaan.

Pemuda-pemuda intelektual ini, jelas Gulontam memang butuh penyaluran berupa diskusi. Kemampuan itu perlu diadu, sehingga terjadilah dialog-dialog. Salah satu tempat yang dirinya masih ingat sebagai ruang diskusi adalah di rumah makan padang.

Sama seperti Gulontam, Ajip Rosidi seorang budayawan Sunda juga mengaku bahwa Pasar Senen dan tempat-tempat di sekitarnya, terutama kawasan Kramat Bunder adalah tempat yang menyenangkan dan penuh cerita.

Dahulu Ajip sering masuk ke pasar sayur di Pasar Senen, tetapi bukan untuk beli sayur melainkan beli buku kiloan. Dahulu, jelas Ajib, ada tempat-tempat penjualan kertas-kertas lama dan kadang-kadang di situ terdapat buku berharga.

“Karena ukuran buku-buku itu kecil-kecilan, sehingga sulit digunakan buat bungkus, harganya per kg lebih murah daripada kertas koran bekas!” tulis Ajip yang dimuat dari Intisari.

Pemuda yang berontak

Ajip mengenang Pasar Senen layaknya sebuah pulau. Di sana ada toko kelontong, ada rumah makan, ada toko obat, ada juga toko buku. Dirinya meyakini sebagian besar seniman dan budayawan akan menjadikan Kramat Bunder sebagai tempat yang menyenangkan.

Beberapa tempat di sana, tutur Ajip, selalu menjadi tempat-tempat pertemuan tak resmi seniman dan budayawan Indonesia. Para seniman muda ini datang untuk belajar dan mendapat pengakuan secara nasional.

Dia juga mendengar bahwa sastrawan legendaris Chairil Anwar sering nongkrong bahkan bermukim di sana. Karena itu, pada 1957, Rivai Apin yang telah menjadi anggota DPRD Kota Praja Jakarta Raya mengusulkan supaya dibangun monumen Chairil Anwar.

Namun dirinya sendiri tidak mengetahui di mana persisnya tempat Chairil dan kawan-kawannya biasa nongkrong. Walau dirinya sendiri mengetahui lokasi persis tempat nongkrong Rivai yang seangkatan dengan Chairil.

“Yang jelas mencari Rivai Apin lebih mudah di los tempat jahitan, kalau malam hari dibanding di mana juga di siang hari, bahkan lebih mudah menemuinya di rumahnya di Jl Malabar dan di kantornya di Jl Gunung Sahari,” papar Ajip.

Menurut Ajip, selain Rivai, di los jahitan yang kalau malam hari ramai menjadi tempat orang-orang dipijat dalam sinar remang, dirinya juga kerap menjumpai Alex Wetik (pelukis), A. Wakidjan (pelukis), dan seniman lainnya.

Mencari Ilmu dengan Murah dan Nyaman di Pasar Kenari

Fadrik Aziz Firdausi dalam Seniman Senen: Muda, Urakan, Bubar karena Agitasi PKI yang dimuat Tirto menyebut para seniman-seniman muda ini biasanya berkumpul di tempat yang menyediakan makanan murah.

Misalnya di ujung barat jalan Kramat Bunder yang terdapat kios tempat minum, ada juga yang berkumpul di kios penjual kue putu kaki lima di dekat pompa bensin Pasar Senen. Ketika pompa bensin ini tutup, akan tersedia halaman yang luas untuk duduk nyaman.

Misbach Yusa Biran dalam pengantar untuk buku kumpulan ceritanya Keajaiban di Pasar Senen (2008) menyebut bila pembicaraannya telah terlihat serius, para seniman-seniman muda ini akan nongkrong di Kedai Tjau An.

“Cuma muka pemiliknya akan kelihatan kurang enak kalau duduk di situ berlama-lama hanya memesan segelas kopi saja,” tulisnya.

Males nongkrong karena PKI

Misbach mengakui bahwa ketika itu tidak ada yang mewacanakan para seniman muda ini untuk berkumpul di Pasar Senen. Semuanya terjadi begitu saja. walau menurutnya, para perantau dari Sumatra lah yang mengawali nongkrong di Pasar Senen.

“Di Kota Padang dan di Medan ada pasar yang dijadikan sarang para seniman dan tukang ngobrol. Jadi, Pasar Senen hanya meneruskan tradisi di sana,” paparnya.

Menurut Misbach para seniman ini sebagian besar tidak mempunyai profesi tetap. Kadang ada yang diajak main film, kadang juga menganggur. Ada juga yang dikenal sebagai redaktur majalah baru, tetapi kemudian nganggur lagi karena bangkrut.

Dirinya juga menjelaskan umumnya para pemuda ini enggan disebut sebagai Seniman Senen, tetapi lebih suka menyebutnya sesamanya sebagai Anak Senen. Alasannya karena Seniman Senen memiliki konotasi negatif yaitu seniman kelas rendah.

Gerakan pembaruan dan anti kemapanan mungkin menjadi daya tarik bagi anak-anak muda itu berkumpul. Misalnya dramawan A.U Muscar yang memperkenalkan teater modern yang serba urakan.

Kenapa Nama Pasar di Jakarta Pakai Nama Hari?

Dirinya ketika itu melawan tradisi yang lebih mapan dari grup teater Cahaya Timur yang dipimpin oleh Andjar Asmara dan Ratu Asia pimpinan Syamsudin Syafei. Ketika itu aktor-aktor muda telah bangga bila bisa bermain di kedua grup tersebut.

Di antara yang gagal, ada juga seniman muda yang moncer, salah satunya adalah S.M Ardan. Ajip bercerita bahwa puisi dan cerpen Ardan sudah dimuat dalam majalah Pudjangga Baru, Indonesia, Mimbar Indonesia, dan Kisah.

Ajip bersama Ardan dan Sobron Aidit pernah menerbitkan kumpulan puisi berjudul Ketemu di Jalan pada 1956. Kemudian pada 1955 kumpulan sketsanya tentang masyarakat bawah Jakarta berjudul Terang Bulan Terang di Kali.

“Pada waktu itu di kalangan yang muda hanya Ardan dan Nugroho Notosusanto yang pendapat-pendapatnya mendapat perhatian dari publik sastra secara luas,” tutur Ajip dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari (2010).

Tetapi masa-masa penuh gairah itu mulai menghilang setelah adanya agitasi PKI di kalangan seniman pada era 1962. Misbach menyebut ketika itu bersamaan dengan mekarnya Demokrasi Terpimpin dan beberapa Anak Senen mulai masuk kalangan Kiri.

Sementara itu soal-soal politik juga mulai memasuki obrolan-obrolan di antara Anak Senen. Misbach mengingat anak-anak Senen mulai enggan datang lagi ke Pasar Senen. Musababnya mereka kesal mendengar ocehan politik dari mereka yang menempel ke Kiri.

“Meski ketegangan di dalam masyarakat Anak Senen tidak begitu kentara, namun yang jelas bahwa tempat mangkal di Senen semakin sepi,” tulis Misbach.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini