Kisah Oei Hui Lan: Putri Raja Gula yang Kekayaannya Tak Bisa Beli kebahagiaan

Kisah Oei Hui Lan: Putri Raja Gula yang Kekayaannya Tak Bisa Beli kebahagiaan
info gambar utama

Oei Hui Lan merupakan putri Oei Tiong Ham, taipan gula tersohor dari Semarang pada abad ke 19. Dirinya juga menikah dengan Wellington Koo, orang terpenting kedua setelah Menteri Luar Negeri Lu Zheng Xiang untuk urusan diplomasi Tiongkok.

Namun sebagai seorang istri diplomat sekaligus anak raja gula terkaya di Asia Tenggara, kehidupan Hui Lan tidak sebahagia yang terlihat. Perebutan kekayaan dan kesepian telah menjadi roda kehidupan bagi Hui Lan sejak dirinya sejak belia.

Hui Lan lahir pada 2 Desember 1889 di Semarang. Sebagai seorang anak dari Raja Gula yang juga merupakan orang terkaya se-Asia Tenggara, kehidupan Hui Lan sejak kecil senantiasa bergelimang harta.

Dirinya bersama kakak perempuannya, Oei Tjong Lan, tinggal di istana milik ayahnya yang luasnya 9,2 hektare. Istana Tiong Ham di Semarang memiliki lebih dari 200 kamar, ada kolam renang dan kebun binatang kecil.

Hui Lan adalah anak kesayangan dari Tiong Ham. Hui Lan selalu mendapatkan apa yang dirinya mau dari ayahnya. Bahkan ketika dirinya berada di Eropa, ayahnya selalu mengirimkan uang saku yang berlimpah.

“Bahkan ketika sudah menikah dengan Wellington Koo, Oei Tiong Ham membangunkan istana di Singapura dan di Beijing. Istana yang sangat mewah,” tulis Agnes Davonar dalam Kisah Tragis Oei Hui Lan Putri Orang Terkaya di Indonesia.

Jejak Akulturasi Budaya Indonesia-Tionghoa yang Kini Tetap Lestari

Masa kecil Hui Lan cukup kesepian. Dia lebih banyak diasuh oleh pembantu dan guru-guru pribadi yang berasal dari Eropa dan Australia. Selebihnya dirinya hanya bermain dengan binatang kesayangannya, Mojo (monyet), Mina (kanguru) dan Moni (anjing bulldog).

Walau dirinya begitu disayang oleh ayahnya, Hui Lan tidak terlalu dekat dengan ibunya. Hubungan dengan kakak perempuannya juga tidak terlalu akrab. Di sisi lain, ayahnya juga banyak menyimpan selir karena keinginan Tiong Ham memiliki anak laki-laki.

Pernikahannya dengan Goei Bing Nio tidak terlalu bahagia. Meski sering bertengkar, keduanya tidak berkeinginan untuk bercerai. Tiong Ham menganggap Bing Nio adalah istri yang membawa keberuntungan, di sisi lain Biong Nio menikmati kekayaan suaminya.

Hui Lan mengisahkan sering diajak oleh sang ayah ke rumah selir-selirnya. Namun tidak pernah terpikir oleh Hui Lan mereka adalah selir dari ayahnya. Beberapa kali dirinya pun pernah menyinggung para selir ini di depan ibunya, Bing Nio.

“Saya mulai mengerti mengapa ibu sering marah pada saya ketika saya membicarakan bibi-bibi yang baik hati itu. Ia mungkin merasa risih dan kesal pada mereka karena gundik-gundik itu terus melahirkan anak laki-laki,” ucap Hui Lan.

Kesepian masa remaja

Momen ulang tahun juga menjadi kenangan yang memilukan bagi seorang Hui Lan. Dirinya saat itu sudah menantikan sebuah pesta yang indah. Seperti halnya ayahnya yang menginginkan pesta ulang tahunya berjalan istimewa.

Berapapun biayanya, bagi Tiong Ham tentunya tidak masalah. Ruang paviliun yang dulu digunakan untuk menjamu Raja Siam dari Thailand pun disulap dari ruang pesta. Sehingga bisa dibayangkan jumlah tamu yang akan datang.

Ayahnya juga mengundang kelompok musik ternama asal Batavia yang biasa menghibur para pejabat kolonial Belanda. Semua dekorasi ruangan dibuat seperti gambaran dalam buku The Tatler.

Tiong Ham juga memberikan gaun cantik berwarna putih dengan pernak-pernik permata asli yang dibuat oleh seorang desainer ternama dari Belanda. Menurut Hui Lan, gaun itu terasa pas di tubuhnya yang kurus.

“Saya juga mengikat rambut saya dengan sebuah pita yang dihiasi dengan berlian sehingga bila nanti saya menari, berlian itu akan bersinar indah,” terang Hui Lan.

Namun semua harapan indah itu seakan runtuh pada hari ulang tahunnya. Ketika hari telah menjelang sore, tidak ada seorangpun tamu yang terlihat datang ke rumahnya. Di seluruh ruangan hanya ada pelayan yang mondar-mandir, bersama badut dan penyanyi.

Lantas, ibunya pun mendekati Hui Lan dan mengatakan bahwa acara tersebut telah gagal. Bahkan ayahnya tidak akan datang pada acara tersebut. Hui Lan lantas menunduk sambil berjongkok untuk menutupi air matanya yang jatuh.

Oei Tjeng Hien, Sosok Muslim Tionghoa Pembela Agama dan Negara

Pesta pertama itu diakui Hui Lan menjadi pesta kelabu terakhir di masa remajanya. Dirinya, kakaknya, dan ibunya kemudian memilih berangkat ke Singapura untuk berlibur. Ayahnya pun mengizinkan sebagai rasa permintaan maaf.

Di Singapura, Hui Lan pernah merasakan kisah cinta masa remajanya dengan seorang pria bernama Siau Kwan. Pertemuannya seperti ditakdirkan, ketika Hui Lan tersesat saat sedang mengendarai kuda bernama Ponny.

Hui Lan jatuh cinta pada pandangan pertama, hatinya begitu berdebar ketika Siau Kwan menariknya ke atas Ponny. Kemudian pemuda itu duduk di belakangnya sambil memeluk tubuh mungil Hui Lan.

Cinta remaja ini berlanjut, tetapi kenyataannya tidak seindah dalam sebuah cerita fiksi. Orang tuanya, melarang hubungan Hui Lan yang saat itu masih berusia 13 tahun dengan orang asing.

Melalui mata-matanya, Tiong Ham pun mengetahui bahwa Siau Kwan sudah menikah dan memiliki seorang anak. Walau terkejut, Hui Lan tetap memaksa cinta pertamanya tersebut, diam-diam mereka sering bertemu berharap kisahnya berlabuh.

“Setelah pulang ke Semarang, saya menghabiskan waktu untuk menulis surat kepada Siau Kwan. Tetapi setiap surat yang saya kirimkan tidak pernah dibalasnya. Saya tidak mengerti apakah saya melakukan sesuatu padanya sehingga surat saya tidak pernah sampai ataukah Siau Kwan telah melupakan saya. Saya hanya bisa menangis dan menerima takdir saya.”

Kekayaan tanpa bahagia

Kehidupan keluarga kaya ini tetap berlanjut, Tjong Lan menikah dengan seorang dokter di London. Mereka tinggal di London dan diserahi untuk mengelola perusahaan Tiong Ham yang ada di Eropa.

Setelah Tiong Ham menikah dengan Lucy Ho, ibu Hiu Lan memutuskan untuk tinggal di London bersama dengan Tjong Lan. Melalui ajakan ibunya lah akhirnya Hui Lan ikut pergi meninggalkan Semarang ke Eropa.

Di Eropa, Hui Lan oleh ibunya dibangun image sebagai bagian dari para jetset. Dirinya hidup mewah dan sering berpesta dengan para pesohor Eropa. Di antaranya pesohor Eropa yang pernah dijumpainya adalah Putri Alice dari Monaco.

Saat di Eropa juga, dia dikenalkan pada Wellington Koo oleh ibu dan kakaknya. Pria ini adalah pejabat tinggi dari China yang sedang berupaya untuk melobi negara-negara Eropa supaya mendukung pengembalian wilayah Shantung dari Jepang ke China.

Liem Koen Hian dan Surat Kabar Tionghoa yang Menyuarakan Nasionalisme

Kemudian pada tahun 1921, Hui Lan dan Wellington menikah. Pasangan ini dikarunia dua orang anak, ditambah dengan dua anak dari Wellington dari istri sebelumnya yang meninggal dunia.

Selama menikah, Hui Lan tidak hanya bergaul dengan kalangan jetset, namun juga dengan kalangan pejabat negara. Namun dirinya tidak bisa hidup dengan standar suaminya. Salah satunya sering merenovasi rumah dinas, membeli mobil mewah, dan berfoya-foya.

Sebuah penerbitan pada masa itu pernah menyindirnya bahwa ketika rakyat China sedang menderita, istri Wellington malah melakukan pemborosan dengan memberi makan anjing-anjingnya secara mewah.

Ketika berkunjung ke Asia, Hui Lan pernah bertemu dengan ayahnya yang sudah pindah dari Semarang ke Singapura. Kehidupan ayahnya kini jauh lebih sederhana. Setelah pertemuan di Singapura itu, kedua keluarga ini tidak lagi bertemu.

Setelahnya dirinya mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal karena serangan jantung. Kematian Tiong Ham menimbulkan sengketa bagi keluarganya. Musababnya tidak semua keluarga Tiong Ham mendapatkan warisan.

Walau mendapat warisan paling besar, masa tua Hui Lan tidak begitu bahagia. Satu persatu orang-orang dekatnya meninggal. Ibunya meninggal pada tahun 1947. Hubunganya dengan Wellington menjadi semakin dingin.

Mereka sudah tidak pernah saling berjumpa. Anak lelakinya mempunyai gundik, hal yang sangat dirinya tentang dalam hidupnya. Ketika dirinya tinggal di apartemen kecil, dia dirampok dan perhiasan dan sejumlah harta harus diserahkan kepada perampok itu.

Hui Lan meninggal pada tahun 1992 dalam usia 103 tahun. Dirinya adalah seorang perempuan yang kuat dalam kemauan. Walau bergelimang harta dan pergaulan dengan kalangan atas, namun dia tidak mendapat kebahagian.

“Berkenalan dengan kaum ningrat dan orang-orang berduit tidaklah penting, otak dan kepribadian lebih penting. Kita bisa menderita akibat haus kekuasaan tetapi bisa mendapat kesenangan dan sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus.” ucap Hui Lan di masa tuanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini