Musim Bencana, Pentingnya Memahami Tindakan Sigap Mitigasi Secara Mandiri

Musim Bencana, Pentingnya Memahami Tindakan Sigap Mitigasi Secara Mandiri
info gambar utama

Sejumlah wilayah di bagian selatan Pulau Jawa saat ini sedang dilanda oleh cuaca ekstrem berupa intensitas curah hujan tinggi, yang disebabkan oleh kondisi hidrometrologi basah. Hal tersebut yang secara otomatis juga memicu sejumlah bencana mulai dari banjir bandang, longsor, pohon tumbang, dan lain sebagainya.

Ada satu kota yang dalam beberapa hari terakhir menjadi pusat pemberitaan karena bencana yang terjadi, di mana sudah menelan kerugian baik secara materi atau korban jiwa, yakni Bogor.

Bencana berupa longsor dan banjir dengan arus air yang deras beberapa kali terekam kamera telah merusak dan menghanyutkan sejumlah bangunan, baik berupa bangunan rumah pribadi, atau fasilitas publik.

Bukan hanya kerusakan, beberapa genangan air dilaporkan juga menyebabkan beberapa operasional fasilitas publik terganggu. Salah satunya jalur kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Bogor, yang sebelumnya nampak tergenang akibat banjir yang terjadi.

Di sisi lain, harus diakui jika upaya mitigasi bencana di Indonesia masih menjadi persoalan yang perlu mendapat pengembangan lebih besar. Penting diketahui, tak hanya mengharapkan prosedur mitigasi dari pihak yang berwenang, sebenarnya setiap masyarakat harus lebih dulu memahami pentingnya mitigasi bencana secara mandiri.

Melirik Primbon sebagai Cara Orang Jawa untuk Membaca Tanda Bencana Alam

Mengapa mitigasi bencana secara mandiri penting?

Ilustrasi bencana | irfan meidiant/Shutterstock
info gambar

Bukan tanpa alasan, menurut hasil riset yang dipublikasi oleh Our World in Data dalam Lokadata, satu dari tiap seribu kematian di dunia disebabkan oleh bencana alam. Bisa diduga, negara-negara dengan peringkat kesejahteraan rendah dan pengelolaan bencana yang minim pula, cenderung lebih rentan dan menelan lebih banyak korban jika terjadi bencana alam.

Di Indonesia, sayangnya dengan letak geografis yang rawan akan berbagai macam bencana mulai dari gempa, potensi letusan genung, hingga tsunami, upaya mitigasi Indonesia masih belum memadai.

Hal tersebut didukung oleh data survei pada tahun 2019 yang diadakan oleh BPS. Di mana dari setiap 15 desa/kelurahan di Indonesia, hanya satu yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam.

Berangkat dari kondisi tersebut, perlu dipahami jika kita sebagai masyarakat tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pihak berwenang. Namun, kita bisa coba meminimalisir dampak bencana dengan upaya mitigasi yang dilakukan secara mandiri.

Secara garis besar, ada dua upaya yang bisa diakukan sebagai langkah mitigasi bencana mandiri, yakni:

Pameran Temporer Manusia dan Bencana: Dorong Masyarakat Paham Mitigasi Bencana

Pahami kondisi geografis tempat tinggal

Hal satu ini merupakan langkah paling penting untuk menentukan langkah-langkah mitigasi yang bisa dipersiapkan selanjutnya. Masyarakat bisa memulai dengan memperhatikan bentang alam di wilayah sekitar tempat tinggal. Misalnya daerah perbukitan, lembah, dataran rendah, pegunungan, dan masih banyak lagi.

Contohnya, apabila letak tempat tinggal berada di lereng gunung, maka kita perlu mencari tahu tentang intensitas aktivitas vulkanis gunung tersebut. Di mana informasi seperti ini bisa diakses pada berbagai sumber kredibel yang sudah ada.

Jika dinilai terlalu sulit, cara paling sederhana bisa dilakukan dengan menelusuri riwayat bencana alam yang pernah terjadi di wilayah tempat tinggal. Contoh yang paling sederhana adalah dengan mencari tahu potensi adanya banjir tahunan, ketika ingin memilih kawasan tempat tinggal.

Dengan mempelajari kondisi geografis tersebut, kita bisa mengetahui kemungkinan bencana yang mungkin terjadi di waktu yang akan datang.

Mempersiapkan skenario terburuk

Adapun yang dimaksud dengan mempersiapkan skenario terburuk adalah upaya yang dilakukan untuk menghadapi kemungkinan bencana di waktu yang akan datang. Hal satu ini yang nyatanya penting, namun belum banyak disadari oleh banyak orang.

Terdapat 3 tindakan yang secara garis besar perlu dilakukan sebagai bentuk mitigasi bencana secara mandiri.

Pertama, masyarakat perlu memiliki kesadaran untuk mengamankan aset dan barang berharga, yang merupakan salah satu hal penting dan bisa hilang dalam sekejap serta merubah kehidupan saat terjadi bencana.

Karena itu, berbagai bentuk aset penting ada baiknya disimpan dalam sebuah penyimpanan yang aman dari bencana. Misalnya, surat-surat berharga yang dicadangkan dalam bentuk softcopy, atau dokumen dan barang berharga lain yang disimpan pada layanan kotak deposit yang dimiliki layanan perbankan.

Kedua, menyimpan daftar kontak pihak berwenang yang bisa dihubungi saat terjadi bencana. Kenyataannya, saat ini belum banyak masyarakat yang paham dan tahu, siapa pihak dan kemana harus menghubungi saat ada bencana terjadi. Kontak-kontak instansi yang bisa dicatat dapat terdiri dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga petugas pemadam kebakaran.

Ketiga, memiliki perlengkapan siaga bencana. Hal satu ini juga yang nyatanya belum menjadi perhatian utama sebagian besar masyarakat. perlengkapan kesiap-siagaan bencana menjadi hal penting yang seharusnya dimiliki jika sadar bahwa wilayah tempat tinggal memiliki risiko bencana.

Beberapa perlengkapan yang dimaksud di antaranya dapat terdiri dari Kotak P3K, persediaan makan dan minum kaleng, pakaian nyaman yang praktis, lampu senter, pisau lipat, obat pribadi, dan sejenisnya.

Satelit Indonesia dan Pemetaan Mitigasi Bencana

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

Terima kasih telah membaca sampai di sini