Aliansi Indonesia, RDK, dan Brasil Sebagai Negara ‘Penentu’ dari Nasib Krisis Iklim

Aliansi Indonesia, RDK, dan Brasil Sebagai Negara ‘Penentu’ dari Nasib Krisis Iklim
info gambar utama

Saat ini memang ada sejumlah negara yang dikenal sebagai penghasil emisi karbon tertinggi, dan berpengaruh terhadap kondisi krisis iklim yang terjadi. Sebagai contoh, Menurut pencatatan Carbon Brief, Amerika Serikat, China, dan Rusia, berada di jajaran tiga besar negara penghasil karbon tertinggi.

Namun di sisi lain, untungnya juga ada negara yang berperan sebagai penyeimbang dan menghadirkan solusi. Ada tiga tiga negara yang memegang peran tersebut, yakni Brasil, Republik Demokratik Kongo (RDK), dan Indonesia.

Bukan berarti tiga negara di atas sama sekali tidak menghasilkan emisi. Namun, upaya menangani emisi yang dilakukan lebih berdampak karena keberadaan hutan tropis yang ada di wilayah mereka. Tiga negara tersebut juga memegang peran besar bagi masa depan bumi, karena keberadaan hutan hujan tropis yang dimiliki.

Kita tahu, bahwa hutan tropis dengan jutaan bahkan miliaran pepohonan dapat menyerap karbon dan dipandang sebagai paru-paru dunia. Dan nyatanya, tak semua negara memiliki keistimewaan kekayaan alam tersebut.

Karena itu, Brasil, RDK, dan Indonesia sebagai pemilik hutan hujan tropis terbesar dunia, akhirnya membentuk aliansi atau kerja sama trilateral, untuk menangani persoalan krisis iklim lewat pasar perdagangan karbon, yang dibutuhkan negara penghasil emisi.

COP27: Indonesia Terima Komitmen Pembiayaan Rp6,3 Triliun untuk Atasi Krisis Iklim

Luas hutan hujan tropis di 3 negara tertinggi

Hutan hujan tropis di Indonesia | Harry Hermanan/Shutterstock
info gambar

Saat ini, Brasil, RDK, dan Indonesia dilabeli sebagai penguasa hutan tropis dan kunci dari upaya penanganan krisis iklim di dunia. Bukan tanpa alasan, lantaran di antara sekitar lebih dari 150 negara, tiga negara tersebut memiliki kawasan hutan tropis yang paling luas.

Menukil catatan yang dimuat dalam Katadata, Brasil yang berada di kawasan Amerika Selatan memimpin sebagai pemilik hutan hujan tropis terbesar. Kondisi tersebut didukung oleh keberadaan hutan hujan terbesar di dunia, yakni Amazon.

Luas kawasan hutan hujan di Brasil setidaknya mencapai 315,4 juta hektare. Saking luas dan berpengaruh, disebutkan bahwa sekitar 30 persen oksigen yang ada di Bumi nyatanya diproduksi di hutan ini.

Mengikuti Brasil, di posisi kedua ada Republik Demokratik Kongo, negara di Afrika Tengah yang selama ini dikenal sebagai kawasan paling terdampak dari situasi krisis iklim. Luas kawasan hutan hujan di RDK memang jauh lebih kecil dari Brasil, tak sampai setengahnya yakni berada di kisaran 98,8 juta hektare.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? meskipun memiliki cakupan hutan hujan paling kecil dari dua negara sebelumnya, namun peran besar hutan hujan di Indonesia tak bisa dipandang sebelah mata.

Hutan hujan Indonesia luasnya berada di kisaran 83,8 juta hektare, lebih dari seperempat luas hutan hujan Amazon. Meski begitu, di hutan inilah berbagai program penanganan krisis iklim berjalan. Baik yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia sendiri, atau yang didukung bahkan diminta berjalan oleh para negara penghasil emisi, sebagai upaya ‘ganti rugi’ pencemaran.

Indonesia Unjuk Peningkatan Hasil Upaya Hadapi Krisis Iklim di COP27

Trilateral dan aliansi penentu ‘masa depan’ Bumi

Perwakilan RDK, Indonesia, dan Brasil dalam pengumuman aliansi pasar karbon | Dok. Katadata.
info gambar

Konotasi ‘penentu masa depan’ mungkin terkesan berlebihan, namun nyatanya kepada tiga negara ini lah sejumlah negara penghasil emisi karbon kerap menebus ‘dosa’ dan tanggung jawab mereka untuk mengatasi kondisi krisis iklim.

Apabila digabung, cakupan hutan hujan tropis yang dimiliki Brasil, RDK, dan Indonesia nyatanya mencapai atau setara dengan kontribusi 52 persen hutan dunia. Sebab itu, ketiga negara ini semakin gencar bekerja sama dalam merancang aliansi dan skema pembentukan pasar karbon.

Salah satunya dalam gelaran COP27, ketiga negara baru saja mengumumkan mengenai aliansi mereka untuk program yang dimaksud. Meski belum ada informasi dan detail akan seperti apa ketentuan mengenai aliansi penguasa pasar karbon berjalan nantinya, namun dipastikan jika hal tersebut masih dalam perancangan lebih matang.

Masih mengutip sumber yang sama, menurut Nani Hendriarti selaku Deputi Menteri Bidang Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim dan Investasi, prinsipnya adalah kemitraan Brasil, RDK, dan Indonesia akan mencakup konteks mitigasi, adaptasi, dan investasi.

Sebenarnya bukan baru dirumuskan pada COP27, wacana kerja sama tiga negara ini sudah dirancang sejak lama. Pada tahun 2021 saat gelaran COP26 misalnya, pembahasan mengenai hal ini juga sudah mulai dirumuskan.

Saat itu, dorongan utama yang memunculkan aliansi ini adalah untuk bersama-sama memperjuangkan solusi yang paling efektif dan tepat, termasuk upaya-upaya untuk mendorong upaya pengurangan emisi karbon oleh para negara pelaku industri.

Saat itu dijelaskan, jika rancangan mentahnya Indonesia akan menawarkan sharing pengalaman dan keahlian kepada Kongo dan Brasil terkait pengurangan deforestasi. Indonesia juga akan berbagi pengalaman mengenai pengendalian dan penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta pengelolaan hutan sosial untuk masyarakat.

Di lain sisi, Brasil memiliki pengalaman luas dalam pembayaran jasa ekosistem (PES) dan pengelolaan dana iklim lewat lembaga Amazon Fund. Prosedur berjalannya program itulah yang ingin dibagikan kepada Indonesia dan RDK.

Sementara itu RDK, ingin banyak belajar dari Indonesia dan Brasil dalam hal pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan menjalankan program loss and damage fund dari negara penghasil emisi.

Meski Kerja Sama REDD+ dengan Norwegia Berakhir, Indonesia Tetap Konsisten Lindungi Hutan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

Terima kasih telah membaca sampai di sini