Belajar dari Gempa Cianjur: Minusnya Skema Mitigasi dalam Pengelolaan Bencana

Belajar dari Gempa Cianjur: Minusnya Skema Mitigasi dalam Pengelolaan Bencana
info gambar utama

Gempa magnitudo 5,6 di Cianjur dan sekitarnya mengakibatkan korban meninggal dan hilang sebanyak 332 jiwa per 27 November 2022. Meskipun kekuatan gempa tidak terlalu besar, tetapi kerusakan dan korban jiwa yang ditimbulkan sangat banyak.

Pejabat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menjelaskan tak perlu gempa berkekuatan besar untuk menimbulkan kerusakan di kawasan tersebut. Selain itu ada beberapa faktor yang membuat gempa M 5,6 ini sangat merusak:

  1. Karakter gempa dangkal
  2. Struktur bangunan tidak memenuhi standar gempa,
  3. lokasi permukiman berada pada tanah lunak (local site effect-efek tapak) dan perbukitan (efek topografi)

Jonatan A Lassa dalam Sisi Lain Gempa Cianjur: Pemerintah Miliki Peta Gempa, Tapi Tak Punya Skema Mitigasimenyatakan pola komunikasi di atas sering berulang selama 15 tahun reformasi tata kelola bencana di Indonesia.

Benarkah Perilaku Hewan Bisa Jadi Pertanda Datangnya Bencana Alam?

Padahal jelasnya pemerintah sudah memiliki peta kegempaan Indonesia yang memberi informasi, salah satunya soal bahaya kegempaan berdasarkan data percepatan gempa. Selain itu solusi praktis aman gempa bagi keluarga sederhana juga sudah dimiliki.

Namun dirinya menyoroti tidak adanya peta operasi mitigasi gempa yang lumrah dibuat dalam skala by name, by address. Hal ini padahal perlu diikuti dengan pemantauan rutin setiap rumah dan gedung yang dibangun di tiap jengkal di Republik ini.

“Ibarat memiliki kompas tanpa menggunakannya adalah sebuah tragedi karena berakibat nyawa meregang dalam setiap kejadian gempa,” keluhnya.

Menyoroti kekuatan gedung

Secara geografis wilayah Indonesia berada di kawasan Ring of Fire atau Cincin Api sepanjang 40.000 km dan situs aktif seismik yang membentang di Samudra Pasifik. Hal ini berarti diperlukan aturan hunian tahan bencana alam.

Hal inilah yang diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily bahwa hal paling utama yang perlu pemerintah lakukan adalah melakukan identifikasi tingkat kerawanan kebencanaan di masing-masing daerah.

Ditegaskannya suatu bangunan dikatakan tahan gempa jika bagian utama bangunan tersebut, terutama tiang penyangga beban tidak patah dan dindingnya tidak runtuh. Sehingga bangunan tetap tegak.

Memiliki Banyak Gunung Berapi, Apa Untungnya Bagi Indonesia?

“Tentu setiap daerah yang memiliki jenis bencananya, treatmennya juga berbeda. Bagi daerah yang potensi bencananya gempa, rumah huniannya harus tahan gempa. Bila daerah tersebut potensi longsor, maka tidak boleh didirikan kawasan hunian di daerah berpotensi longsornya tinggi. Bila daerah pinggiran aliran sungai maka tidak boleh didirikan bangunan-bangunan yang berpotensi menimbulkan banjir,” kata Ace yang diwartakan Merdeka.

Senada dengan Ace, Peneliti Geoteknologi BRIN Adrin Tohari juga menyatakan pembangunan hunian dan gedung-gedung pemerintahan hampir di seluruh wilayah Indonesia belum memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) untuk bangunan tahan gempa.

“Bisa dikatakan hunian dan bahkan gedung pemerintah di daerah hampir di seluruh wilayah Indonesia masih belum tahan gempa, karena pembangunannya belum mengikuti kaidah yang benar dan standar yang berlaku,” jelasnya.

Literasi kegempaan

Pakar Gempa ITB Irwan Meilano meminta perhatian pemerintah terhadap sesar aktif di Pulau Jawa yang berpotensi menimbulkan bencana. Hal ini mengingat temuan para peneliti menunjukan banyak sesar aktif melintasi kawasan berpenduduk padat di Jawa.

Dirinya mencontohkan ada Sesar Lembang berada sekitar 10 kilometer utara Bandung dengan panjang sesar yang terpetakan mencapai 22 kilometer. Walau besaran gempa dan kapan terjadinya sulit diprediksi, diperlukan monitoring serius.

Dikatakannya gerakan lempeng bumi di sesar ini sebesar 0,2-2,5 milimeter per tahun dengan siklus gempa bumi sekitar 500 tahun. Tetapi mengingat siklus gempa berulang, namun ada gap literasi sejarah kegempaan Indonesia.

“Sehingga ulang tahun gempa berulang itu perlu data yang cukup panjang. Itu menjadi problem saat ini. Literasi kita masih belum banyak,” paparnya yang dimuat Mongabay Indonesia.

PetaBencana.id, Platform Pelaporan Bencana di Media Sosial

Selain literasi kegempaan yang jadi pekerjaan rumah, menurutnya ada juga yang mesti dibangun yaitu sense of security (pengamanan) masyarakat yang sangat lemah. Karena itu peristiwa gempa tektonik menjadi momentum memulai menerapkan pola mitigasi.

“Jadi kita sudah punya informasi dari kejadian Cianjur, dan itu sudah bisa kemudian menjadi dasar bagi pengambil kebijakan di pemerintah,” tuturnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini