Wayang Potehi, Sekelumit Tradisi di Tengah Modernisasi

Wayang Potehi, Sekelumit Tradisi di Tengah Modernisasi
info gambar utama

Asap-asap dupa membumbung tinggi ke udara sebagai wujud permohonan kepada Dien atau Tuhan di depan altar untuk kelancaran pertunjukan dan menyampaikan cerita dengan baik. Tak jarang, orang berbondong-bondong menyiapkan altar milik pribadi.

Tradisi untuk pertunjukan lawas ini, tak berhenti sampai situ. Rumah-rumah yang akan dipakai untuk pertunjukan, terlebih dahulu dibersihkan menggunakan hiolo dan empat cendana yang dibakar. Selanjutnya, dibersihkan menggunakan kim chua atau kertas emas dan dibakar. Saat pementasan berlangsung, tersedia kursi-kursi kosong tepat di depan panggung acara sebagai tempat duduk arwah-arwah leluhur.

Pertunjukan ini, tak lain adalah wayang potehi. Wayang yang merupakan kesenian tradisional Tionghoa turut memberikan gemerlap keindahan di tengah-tengah kebudayaan Nusantara. Bagaimana tidak? Potehi masih menganut berbagai macam tradisi yang dianut hingga saat ini.

Persiapan pertunjukan wayang potehi tidak main-main. Tim beranggotakan tujuh hingga sepuluh orang ini terbagi sebagai dalang dan pemain musik. Mereka rela bercucur keringat selama kurang lebih sebulan untuk mengulik dan mempertajam cerita yang akan dibawa. Terlebih untuk menyesuaikan alur cerita, menyesuaikan emosi, dan mengulik secara mendalam isi cerita yang akan ditunjukan.

Sayangnya, sekelumit tradisi yang diberikan oleh pertunjukan boneka tangan ini tak kunjung memberikan mimpi indah. Wayang potehi berpotensi punah. Terlebih dalang yang memimpin pertunjukan sudah dapat dihitung jari. Hanya ada satu dalang di Surabaya dan Semarang, serta dua dalang di Jombang.

Tradisi mulai terkalahkan oleh zaman yang terus menggerus kesenian tradisional asal Tionghoa ini. Wayang potehi dianggap kuno karena menggunakan bahasa yang terkesan terlalu tua. Tak sedikit yang berpendapat bahwa pertunjukan boneka asal China ini terlalu konvensional karena tata suaranya masih mengandalkan toa corong.

Ceritanya pun dinilai membosankan dan terlalu bertele-tele karena durasinya tiga jam. Tak dapat dipungkiri, di tengah-tengah modernisasi, menonton pertunjukan selama berjam-jam dianggap menghabiskan waktu.

Salah satu karakter dalam pementasan wayang potehi. Foto: Crysania S
info gambar

Dibalik semua itu, wayang potehi sudah menempuh sejarah panjang dari awal terbentuknya. Dari asal katanya saja, ‘potehi’ sendiri merupakan gabungan beberapa kata dari berbagai bahasa. Kata-kata dari bahasa Fujian (Hokkien) seperti ‘poo’ yang berarti kain, dan ‘te’ yang artinya tas. Sementara itu, kata ‘hi’ berasal dari Malaysia yang artinya boneka atau dalam bahasa Indonesia berarti permainan/teater. Maka, Potehi adalah pertunjukan teater/drama yang dibuat dari tas kain.

Menyelamatkan Potehi

Jose Amadeus, seorang dalang wayang potehi asal Semarang menyebutkan bahwa wayang potehi pertama kali dibuat di daerah Cina Selatan. Pada saat itu, pertunjukan opera sangat diminati oleh masyarakat Cina.

Namun pada saat itu, Cina Selatan merupakan daerah yang cukup miskin sehingga banyak dari masyarakatnya yang tidak bisa menonton pertunjukan opera. Hal ini membuat masyarakat yang ada di daerah tersebut memutar otak agar tetap bisa menikmati pertunjukan opera di daerah mereka tanpa perlu merogoh kocek terlalu dalam.

Karena memanggil opera dari Cina akan memakan biaya yang sangat banyak, masyarakat yang berada di daerah Cina Selatan akhirnya membuat pertunjukan opera sendiri. Mereka menggunakan sebuah boneka dari kain yang kemudian dimainkan oleh tangan mereka. Mereka menggunakan kain (poo) untuk membuat badan dari boneka mereka yang berupa tas (tee). Boneka-boneka inilah yang memainkan cerita-cerita yang opera. Hal ini dapat dilihat dari cerita-cerita dasar potehi yang kebanyakan sama dengan cerita dari opera-opera pada umumnya. Maka dari itu, potehi juga kerap disebut sebagai miniatur dari opera,” tegas Jose saat diwawancarai via Zoom pada Selasa (21/09/2021).

Selain itu, pria berusia 23 tahun ini menambahkan bahwa biasanya kisah dari wayang potehi berupa cerita sejarah dari kitab kuno seperti Three Kingdom, Sun Go Kong, dan Sam Pek Eng Tay. Namun, dari banyaknya kisah yang ada, Jose dan tim hanya mementaskan kisah Sun Go Kong.

Selain karena menarik, cerita dari kera sakti ini juga cukup dikenal di kalangan masyarakat. Walaupun saat ini hanya fokus ke cerita Sun Go Kong, pria keturunan Tionghoa ini tak menampik bahwa ke depannya, ia dan tim akan memainkan kisah-kisah lainnya.

Tim dan dalang muda ini memiliki misi untuk kembali memperkenalkan wayang potehi. Jose dan tim pun segera memutar otak agar bisa berinovasi. Mereka memutuskan untuk mengemas wayang potehi ke bentuk yang lebih modern. Tentunya tanpa menghilangkan tradisi-tradisi yang ada. Seperti menambahkan efek dry ice pada saat pementasan dan mengembangkan suara, musik, dan tata suara agar tidak terkesan terlalu kuno dan bisa menggaet kalangan muda.

Jose (21) saat menjadi dalang dan memainkan wayangnya dengan lihai di salah satu pementasan. Foto: Foe Jose Amadeus
info gambar

Tradisi-tradisi seperti wayang potehi inilah yang seharusnya kita jaga. Satu pesan yang Jose sampaikan dan sangat terngiang adalah, jangan menolak cerita-cerita yang bersumber dari leluhur sendiri. Kebudayaan adalah salah satu identitas kita, jadi jangan sampai hilang. Karena kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?

Kontributor Artikel:Elora Shaloomita Sianto, Crysania Suhartanto, Fablius Dwitomo Evendi, Natasya Christanta, Stelladia Surya Wijaya, dan Veren Margaretha

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

ES
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini