Tentang Surakarta, dari Aku Anak Asli Sumatera

Tentang Surakarta, dari Aku Anak Asli Sumatera
info gambar utama

Tahun lalu, saat virus Covid-19 masih merebak aku dikabarkan suamiku bahwa kami akan pindah ke Surakarta. Kota yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya, hanya pernah mendengar namanya dari sehelai kain batik yang bertuliskan Solo-Indonesia. Kepindahan kami pun berjalan lancar sekitar dua minggu sejak kabar itu aku terima. Singkat cerita, dimulailah petualanganku Si Anak asli Sumatera di Kota Budaya.

Sebenarnya sebagai anak yang lahir dan besar di area pesisir barat pantai Sumatera, aku merindukan deburan ombak dan kemudahan akses untuk merasakan pasir pantai yang menggelitik kaki. Sayang, Solo tidak memiliki pantai. Namun, ketiadaan pantai sepertinya justru menjadi salah satu penyebab nyamannya kota ini. Solo tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin. Cukup sejuk untuk dinikmati tanpa AC pada siang hari, dengan catatan ada area pohon di sekitar. Mungkin itu juga sebabnya, masyarakat di sini berbicara dalam volume yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kota kelahiranku. Terasa lebih menenangkan, hal yang membuatku terpesona pada Surakarta.

Jatuh Cinta pada Surakarta

Sejak merantau, aku pernah tinggal di beberapa kota di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Selain itu, aku pernah mengunjungi empat pulau besar di Indonesia selain Papua. Sehingga, sedikit banyak aku bisa menilai wilayah-wilayah tersebut. Diantara semua tempat yang pernah aku datangi itu, tidak ada tempat yang membuatku begitu nyaman sampai bisa menyebutnya sebagai rumah, di sinilah aku, di Surakarta.

1. Penduduk yang Hangat

Hal pertama yang membuatku terpukau dengan kota ini adalah bagaimana sebagian besar masyarakatnya sangat mudah menyapa bahkan kepada aku yang orang asing. Mereka dengan mudah tersenyum, mengangguk sopan, kadang juga dengan sapaan "monggo..". Ditengah kesibukan dan semakin cepatnya pergerakan kita beraktivitas, ada orang yang menyempatkan diri berhenti sejenak untuk menyapa orang asing, adem sekali rasanya.

Tahunan tinggal di Pulau Jawa, bersuamikan orang Jawa, tidak menjadikanku menguasai bahasa Jawa. Jadilah aku tinggal di Solo menggunakan bahasa Indonesia, sedikit mengerti topik obrolan, atau sekedar membalas dengan tawa ringan "nggih..". Meskipun begitu, aku tidak merasakan perlakuan yang berbeda sebagai pendatang. Pantas saja, ternyata Solo memang termasuk kota toleran berdasarkan laporan Indeks Kota Toleran (IKT). Meskipun begitu, tetap saja penduduk juga sekumpulan manusia yang tidak mungkin semuanya sama, tidak bisa semuanya berlaku hangat di setiap waktu. Aku menyimpulkan ini dari kecenderungan dan sebagian besar masyarakat yang beruntungnya aku temui.

Masjid Solo. | Sumber: Dokumentasi Pribadi
info gambar

2. Lingkungan yang Nyaman

Kombinasi kondisi fisik yang membentuk Kota Solo ini juga cukup apik. Jumlah penduduknya banyak tapi tidak terlalu padat, sehingga masih cukup leluasa bergerak dan kualitas udaranya tentu juga lebih baik. Selain itu, entah karena penduduknya atau cukup rendahnya tingkat kejahatan seperti diungkapkan Berita Solo Raya, aku merasa cukup aman tinggal di Solo. Walaupun tetap waspada ya.

Kotanya juga cukup bersih, penataan kotanya juga lumayan rapi salah satunya karena jarang aku temui kemacetan. Apalagi di sepanjang jalannya juga ditumbuhi pepohonan sehingga menambah kesejukan. Di sini juga tidak sulit menemukan area terbuka hijau. Beberapa taman kota bahkan juga dilengkapi dengan fasilitas yang mumpuni untuk anak-anak bermain atau orang dewasa berkumpul. Meskipun jumlah taman ataupun hutan kota jelas perlu terus ditingkatkan apalagi mengingat kondisi krisis iklim sekarang.

3. Fasilitas yang Cukup

Solo bukanlah kota metropolitan sehingga fasilitasnya tidak bisa dibandingkan dengan ibu kota. Buatku justru itulah intinya. Fasilitas yang ada di Kota Solo itu cukup, tidak berlebihan. Jika ingin ke Solo, Kawan bisa menjangkaunya dengan transportasi udara lalu mendarat di Bandara Internasional Adi Soemarmo. Perjalanan darat bisa ditempuh dengan kereta ataupun bus. Bahkan akses kendaraan pribadi juga dipermudah melalui jalan tol yang terhubung oleh tol trans jawa dengan pintu tol tidak jauh dari pusat kota Solo. Bagiku yang paling menarik adalah moda transportasi umumnya, Trans Solo, yang dilengkapi dengan gambar tokoh-tokoh wayang. Sepengetahuanku, tidak ada kota lain yang memiliki ide untuk mengenalkan ikon mereka secara beragam seperti yang Solo lakukan. Aku sebagai orang awam bahkan sampai hafal siapa saja tokoh wayang yang mereka peragakan.

Selain transportasi yang lengkap, Solo juga dikenal dengan keragaman budaya yang khas. | Sumber: Dokumentasi Pribadi.
info gambar

Menariknya, infrastruktur Solo bukan hanya pembangunan fasilitas yang baru tapi juga pelestarian yang ada. Sebagai pecahan dari Kerajaan Mataram Islam, terdapat Keraton Kasunanan Surakarta yang merupakan area kerajaan sama seperti di Yogyakarta. Kawan bisa berkunjung untuk mempelajari jejak sejarah ataupun menikmati perhelatan adat yang sering diadakan pihak keraton. Selanjutnya, ada belasan museum yang bisa Kawan kunjungi, bahkan salah satunya adalah yang tertua di Indonesia, yaitu Museum Radya Pustaka. Pusat perbelanjaan juga cukup apalagi dengan area bisnis yang terus ditambah.

Tidak hanya itu, Solo hampir semua masakan didominasi rasa manis. Namun, setelah membiasakan diri, aku juga bisa menikmati kuliner Kota Solo seperti serabi, sosis solo, timlo, selat, tengkleng, dll. Dengan fasilitas yang cukup lengkap, Solo bisa mempertahankan budaya dan kearifan lokalnya tanpa tergerus peradaban modern.

4. Biaya Hidup

Segala fasilitas yang melengkapi Kota Solo, dengan masyarakat yang hangat, ditambah biaya hidup yang murah menjadikan hidup di Kota Solo lebih mudah. Bukan hanya makanan, biaya kebutuhan lainnya juga bervariasi dan tidak sulit menemukan barang yang murah dengan kualitas baik. Harga lain yang mengagetkan untukku adalah harga tanah, apalagi dibandingkan dengan kota asalku, tanah di Pulau Jawa ini memang cenderung sangat tinggi ya. Namun, dengan meluasnya pembangunan area kabupaten sekitar juga bisa jadi pilihan untuk tempat tinggal. Jika ingin bekerja, sepertinya kesempatan berkarya juga masih terbuka lebar, mengingat pertumbuhannya yang semakin pesat, tergantung bagaimana Kawan menempatkan diri nantinya.

Kota Nyaman untuk Ditinggali

Semua alasanku tadi ternyata sesuai dengan survey Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) yang menunjuk Solo sebagai kota paling layak huni di Indonesia sejak 2018. Dalam laman pemprov Jawa Tengah disebutkan bahwa Solo menduduki peringkat pertama dengan indeks livability 66,9% berdasarkan indikator penilaian yaitu pengelolaan air bersih, fasilitas pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan transportasi.

Bagiku Solo memang benar kota yang nyaman ditinggali. Tetapi menurutku, ini bukan kota yang tepat bagi mereka yang ingin berkejaran menggapai mimpi mencapai kesuksesan. Kecepatan jelas akan terus berpihak di ibu kota. Kesempatan disana lebih luas dan daya saingnya juga lebih tinggi sehingga akan memacu kita untuk terus bekerja keras. Di sini semua berjalan cenderung lebih lambat dan tenang, santai menyempatkan diri untuk sesekali bercengkerama. Kembali ke masing-masing kita, hidup seperti apa yang ingin dijalani.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NU
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini