Budidaya Mitos sebagai Strategi Sakralitas dan Pelestarian Cagar Budaya Benteng Buton

Budidaya Mitos sebagai Strategi Sakralitas dan Pelestarian Cagar Budaya Benteng Buton
info gambar utama

#WritingChallengeKawanGNFI #CeritadariKawan #NegeriKolaborasi #MakinTahuIndonesia

Era modern ini, keyakinan akan kebudayaan yang dimiliki oleh generasi muda kian hari, kian terdegradasi. Padahal, kebudayaan bisa menjadi salah satu alat komunikasi terbaik di sektor pendidikan. Salah satunya adalah mitos. Mitos (myth) adalah bagian dari kebudayaan yang tidak hanya menceritakan bekasistensi dunia yang tidak kasat mata saja. Lebih dari pada itu, mitos merupakan representasi dari realitas yang disimbolisasikan untuk menyampaikan suatu pesan. Entah itu pesan yang bermakna mendidik, melarang, mengkritik, atau makna lainnya.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengangkat ragam mitos yang berada di Benteng Keraton Buton yang merupakan bekas ibukota Kesultanan Buton. Benteng ini didirikan di masa pemerintahan Sultan Buton ke-III pada tahun 1634. Pada kawasan Benteng Buton ini terdiri dari masjid tua bekas kesultanan Buton, benteng, baruga, Kamali (bekas kediaman Sultan Buton), dan peninggalan bersejarah lainnya. Tidak sedikit mitos-mitos hadir membersamai bagian-bagian dari benteng keraton Buton ini.

Untuk diketahui, Benteng Keraton ini terdiri dari Kamali (kediaman sultan Buton), masjid, benteng, baruga, pasar, pemukiman kerabat dan pegawai kesultanan. Pada era kesultanan buton, kawasan benteng ini merupakan ibu kota kesultanan. Benteng keraton ini dibangun pada masa pemerintahan sultan buton III, pada tahun 1592. Benteng ini mengelilingi kawasan keraton untuk melindungi kawasan pusat pemerintahan dari musuh di masa Kesultanan Buton.

Benteng Buton | Foto: Penasultra.id
info gambar

Mitos yang hadir pula beragam. Mitos pertama hadir di masjid tua keraton Buton yang memiliki lubang kecil di belakang Mihrab. Konon siapapun yang melihat lubang ini akan melihat keluarganya yang telah meninggal. Ada juga yang mengatakan, lubang ini bisa mengeluarkan suara adzan dari Mekkah. Runtuhnya tembok masjid keraton sebagai pertanda malapetaka. Mitos ketiga terletak di makam sultan Murhum. Konon, siapapun yang berdoa dengan khusuk pada yang maha kuasa di sini akan dikabulkan permintaannya. Mitos keempat adalah berpacaran di atas benteng keraton akan mengakibatkan putusnya hubungan antar kekasih. Kelima adalah Batu Wolio yang merupakan tempat pengambilan air suci untuk dimandikan pada calon raja atau Sultan. Konon, bila pengunjung mendatangi batu ini dan keluar air, segala harapannya akan terkabul.

Kita akan menganalisis makna yang bisa hadir pada mitos-mitos di atas. Namun, sebelumnya saya mau disclaimer, pemaknaan akan mitos-mitos di sini adalah tafsir saya pada tbekas lisan dari mitos-mitos di atas dan membaca kondisi sosial yang berada di Benteng Keraton. Sehingga, bisa saja makna dari mitos-mitos di atas sangat beragam dalam perspektif masyarakat Buton hari ini.

Mitos pertama menjelaskan adanya memori pada keluarga yang telah meninggal dan suara adzan dari Mekkah. Hal ini dapat dimaknai sebagai pengingat bahwa manusia suatu saat akan mati. Suara adzan dari Mekkah juga dapat diartikan sebagai hubungan kesultanan Buton dengan Mekkah begitu dekat dengan garis keislaman yang kuat. Mitos kedua tentang pertanda akan malapetaka. Hal ini menunjukan, bahwa masyarakat buton harus bisa membaca kondisi alam dan sosial, agar bisa mencegah malapetaka. Mitos ketiga mengingatkan masyarakat Buton untuk selalu berdoa pada Allah SWT. Selain itu, kala mengunjungi makam Sultan murhum ini, masyarakat Buton dapat mengenang jasa-jasa Sultan yang telah mengalahkan bajak laut, La Bolontio yang ingin menyerang kerajaan Buton dan mengubah sistem kerajaan menjadi Kesultanan Buton.

Mitos keempat terkait malapetaka yang akan memutuskan hubungan pasangan kekasih adalah untuk mencegah terjadinya perbuatan mesum dan sejenisnya di kawasan benteng keraton oleh para muda-mudi. Mitos yang kelima terkait adanya hadirnya air di batu sebagai tanda keyakinan akan bekasistensi keberkahan, rezeki dan keberuntungan. Bahkan, beberapa tokoh di Buton mengatakan, pengunjung belum dikatakan sampai di tanah Buton, kalau belum sampai di batu Wolio ini.

Jika kita meringkas pemaknaan dari mitos-mitos di atas, kita akan menangkap pesan historis, pesan religious, pesan pencegahan bencana, pesan etis, dan pesan moral. Di sisi lain, mitos-mitos ini akan berpengaruh pada keyakinan masyarakat Buton ataupun para pendatang untuk menjaga tingkah lakunya selama berada di benteng keraton. Hal ini dikarenakan mitos-mitos tersebut dinarasikan dengan cerita yang gaib dan sakral yang kemudian menjadi formula untuk menciptakan keyakinan sakralitas akan benteng keraton Buton.

Bagi warga atau pendatang yang berkunjung di benteng keraton akan berhati-hati dan menjaga tingkah lakunya kala mendengar kumpulan narasi mitos-mitos tersebut. Ada pantang larang yang diragukan kebenarannya, namun tetap diproduksi oleh masyarakat lokal. Sehingga, sedikit banyak pengunjung atau generasi muda menjaga etikanya ketika berada pada lokasi ini. Tidak hanya menjaga sakralitas saja, namun keyakinan akan sakralitas akan membuat warga sekitar benteng keraton wolio terhindar dari aksi vandalisme atau perbuatan merusak benda-benda cagar budaya di benteng keraton Buton.

Dengan begitu, membudidayakan mitos pada suatu lokasi termasuk benteng keraton Buton menjadi satu strategi yang tepat untuk menjaga sakralitas dan melestarikan peninggalan bersejarah dalam bentuk bangunan, benda, maupun budaya dan etika. Tentu saja, harapan saya mitos-mitos ini tidak menjadi kebenaran absolut dengan memaknai mitos secara mentah-mentah. Mitos akan terus ada, berubah dan berkembang. Maka dari itu, para pendengar mitos ini harus kritis untuk menangkap tujuan dari bekasistensi mitos itu sendiri. Sebab, mitos bisa menjadi strategi yang efektif untuk menjaga pelestarian suatu cagar budaya dengan mempengaruhi keyakinan dan tindak tubuh masyarakat.

Referensi:Phinemo

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MD
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini