Memotret Hukum Adat Awig-Awig dalam Konteks Masyarakat Modern Bali

Memotret Hukum Adat Awig-Awig dalam Konteks Masyarakat Modern Bali
info gambar utama

Tatkala menyebut kata Bali, maka yang segera terlintas di benak kita adalah salah satu kepingan surga yang jatuh di bumi Nusantara.

Tak berlebihan, sebab Bali yang dikenal dengan Pulau Dewata ini memiliki garis pantai sekitar 633 km, juga gunung-gunung yang berbaris rapi nan indah, sungai-sungai yang berkelok mesra, dan danau-danau teduh dan ramah.

Maka tak heran jika Bali dinobatkan sebagai destinasi wisata paling populer di Asia dan urutan keempat di Dunia versi TripAdvisor tahun 2022.

Yang paling menarik adalah dibalik popularitas pariwisatanya dan kepungan turis mancanegara, daerah yang pernah menjadi Provinsi Sunda Kecil ini masih komitmen mempertahankan tradisi alias hukum adatnya.

Masyarakat Bali tidak sirna dengan modernitas dan segala kemajuan teknologi. Justru di sini menariknya. Mereka mampu mengharmonikan antara kemajuan dunia pariwisatanya dengan keluhuran norma-norma adatnya.

Serangkaian norma adat yang dikenal dengan Awig-Awig ini masih mengikat masyarakat Bali hingga sekarang, kendati pada beberapa aspek telah mengalami pergeseran.

Lantas apa saja bentuk norma adat tersebut dan bagaimana Awig-Awig ini berkompromi dengan kemajuan zaman ?.

Silakan dibaca ulasan singkat berikut ini. Jangan lupa sambil menyeruput secangkir kopi.

Apa itu Awig-Awig dan Sejarahnya sebagai Hukum Adat di Bali

Awig-awig berasal dari kata "wig" yang artinya rusak, sedangkan "awig" artinya tidak rusak atau baik. Jadi Awig-awig dimaknai sebagai suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di masyarakat.

Pengertian tersebut dilansir dari jurnal yang berjudul "Penyuratan Awig-Awig Sebagai Instrumen Penguatan Desa Adat (2020)" karya I Made Suwitra, dkk.

Dalam Jurnal berjudul Peran Awig-Awig dalam Melestarikan Adat dan Budaya di Bali, ditulis oleh I Ketut Rindawan (2017) menyebutkan bahwa Awig-awig dalam masyarakat Bali didesain oleh Empu Kuturan atau disebut juga Empu Raja Kerta.

Empu Kuturan menata masyarakat Bali sedemikian rapi berlandaskan konsep “Tri Hita Karana”, yakni suatu konsep yang mengedepankan nilai-nilai keharmonisan dalam rangka mencapai tujuan hidup manusia.

Awig-awig sudah eksis sejak lama, sejalan dengan asal usul keberadaan desa pakraman (desa adat) itu sendiri, yang kalau ditelusuri sejarahnya berawal sejak dari jaman Bali kuno.

Berdasarkan penelitian dokumentasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, misalnya, ditemukan salah satu Awig-awig yang terbilang kuno, yaitu: Awig-awig Desa Sibetan, di Kabupaten Karangasem, yang berasal dari masa tahun Isaka 1300 atau kira-kira pada tahun 1378 M.

Kendati telah ada sejak lama, namun masih berwujud hukum tak tertulis alias masih mengandalkan memori kolektif masyarakat adat.

Bentuk Penerapan Awig-awig dalam Desa Adat (Desa Pakraman)

Dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 disebutkan bahwa hukum adat (awig-awig dan pararem) adalah hukum adat Bali yang hidup dalam masyarakat Bali yang bersumber dari Catur Dresta, Kuna Dresta, Loka Dresta dan Desa Dresta.

Catur Dresta sendiri adalah ajaran-ajaran agama Hindu, Kuna Dresta yakni nilai-nilai budaya, Loka Dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta yakni adat-istiadat setempat.

Implementasi Awig-awig berada dalam domain Desa adat atau desa pakraman, yakni kesatuan masyarakat hukum adat Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat/umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa.

Dalam satu desa pakraman, selalu ada tiga unsur, yaitu:

  1. Unsur parahyangan (tempat suci umat Hindu yang disebut pura)
  2. Unsur pawongan (warga yang beragama Hindu, disebut krama desa)
  3. Unsur palemahan (wilayah desa pakraman yang dikelola sesuai dengan agama Hindu).

Wujud Hukum Awig-awig yang Mengatur Masyarakat Adat Bali

Secara umum desa di Bali mempunyai aturan internal alias hukum adat yang disebut dengan Awig-awig yang eksistensinya tetap diakui dan menjadi alarm pengingat bagi segala aktivitas masyarakat adat di Bali.

Awig-awig merupakan suatu peraturan yang berlaku dalam suatu desa adat baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata kehidupan desa adat.

Hukum adat ini merupakan refleksi dari jiwa masyarakat pendukungnya (Volksgeist), tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya (Des Recht wird gemacht, est ist und wird mit dem Volke). Demikian penegasan Von Savigny dengan Mazhad Sejarahnya.

Jika dijabarkan, Awig-awig pada dasarnya mengatur kehidupan masyarakat Bali yang berkaitan tentang;

  • Unsur Parhyangan (tempat suci umat Hindu yang disebut pura)
  • Unsur Pawongan (warga yang beragama Hindu, disebut krama desa dan krama tamiu)
  • Unsur Palemahan (wilayah desa pakraman yang dikelola sesuai dengan agama Hindu), yaitu: tanah desa (karang desa dan tanah ayahan desa), serta tanah gunakaya.

Potret Awig-Awig Hari Ini

Banyak peneliti sosial menilai bahwa telah terjadi pergeseran nilai pada masyarakat Bali sebagai konsekuensi logis dari paparan dunia pariwisata Bali.

Oleh karena itu dipandang perlu menghidupkan kembali penerapan Awig-awig secara masif dan terstruktur.

Salah satu upaya menertibkan penerapan Awig-awig ini adalah melalui mekanisme “penyuratan” yakni menyusun berbagai aturan adat secara sistematis, tertulis dan sejauh tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam proses penyuratan Awig-awig juga dimuat berbagai jenis denda/sanksi yang dijatuhkan kepada mereka yang melanggar ketentuan Awig-awig.

Terkait dengan hal ini, ditetapkan berbagai jenis denda/sanksi, antara lain:

  • Artha : denda yang harus dibayar dengan uang
  • Payah-payahan : denda yang wajib dibayar dengan melakukan kegiatan pekerjaan
  • Upasaksi, dewa saksi, pangrarata atau sumpah : denda yang harus dilakukan dengan mengangkat pernyataan sejenis sumpah
  • Panyangaskara, Pryascita, Marisudha : denda yang harus dibayar dengan melaksanakan pensucian menurut Sastra Agama Hindu

Demikianlah sekilas tentang Awig-awig yang sekiranya masih mampu bersinergi dengan perkembangan masyarakat global dan dunia pariwisata di Bali.

Referensi: Tarubali | Simdos Unud

  • Suwitra, I. M., Astara, I. W. W., & Arthanaya, I. W. (2020). Penyuratan Awig-Awig Sebagai Instrumen Penguatan Desa Adat. Community Service Journal (CSJ), 3(1), 36-41.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Achmad Faizal lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Achmad Faizal.

AF
MS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini