Karapauw Kame, Rumah Pendewasaan Bagi Remaja Suku Kamoro di Mimika Papua

Karapauw Kame, Rumah Pendewasaan Bagi Remaja Suku Kamoro di Mimika Papua
info gambar utama

Kabupaten Mimika terletak di Provinsi Papua Tengah. Daerah ini memiliki 12 distrik, salah satunya Tembagapura yang menjadi lokasi pertambangan emas. Sebanyak tujuh suku asli mendiami wilayah ini, di antaranya: suku besar Amungme di kawasan pegunungan dan Kamoro di pesisir selatan. Di tambah lima suku kekerabatan, yakni Dani atau Lani, Damal, Mee, Moni, dan Nduga.

Suku Kamoro memiliki rumah tradisional bernama Karapauw Kame yang digunakan sebagai tempat pendidikan pendewasaan bagi anak atau remaja laki-laki dan perempuan. Rumah ini dapat ditemukan di sekitar Kampung Atuka, Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika.

Suling Tambur dan Sirih Pinang , Tradisi Masyarakat Papua yang Tak Lekang Waktu

Membangun Karapauw Kame telah menjadi tradisi suku Kamoro selama ratusan tahun. Rumah ini dibangun sebagai tempat pendewasaan anak laki-laki dan perempuan selama 3-4 tahun, sesuai adat istiadat mereka. Uniknya, setelah sekolah selesai, Karapauw Kame pun akan kembali dibongkar.

Setiap kampung suku Kamoro pasti memiliki rumah tradisional Karapauw Kame. Ia biasa didirikan di tengah kampung. Rumah ini dibangun setiap 3-4 tahun sekali untuk mengadakan inisiasi atau sekolah pendewasaan. Di sini, anak perempuan dan laki-laki akan belajar bagaimana berbuat dan bertindak sesuai gender mereka.

Inisiasi terbagi dua, yaitu sosial dan kultus. Pada inisiasi sosial, para remaja itu akan diperkenalkan dengan kehidupan bermasyarakat, sedangkan inisiasi kultus, memperkenalkan mereka kepada penghayatan kultus, otape, dan ritual.

Inisiasi kultus umumnya diperuntukkan bagi kaum laki-laki, tanpa pengecualian. Setelah itu, mereka juga masih harus mengikuti inisiasi perorangan dalam rahasia ritual. Sementara perempuan akan menerima otape beserta sejumlah pelajaran terkait kedudukan kaum wanita dalam kehidupan sosial.

Inisiasi sosial umumnya dimulai dengan pesta taori dari tali sagu dan berakhir dengan mirinu (pesta untuk menikah_. Keikutsertaan anak laki-laki pada pesta taori sebagai permulaan inisiasi, ditentukan oleh orang tuanya. Rentang umur yang diperbolehkan ikut dari 10-20 tahun.

Setelah inisiasi berakhir, akan ditutup dengan pesta taori pada sore hari. Anak-anak menghiasi tubuh mereka dengan arang, kapur, bulu cenderawasih, dan tanah merah. Mereka kemudian diarak keliling kampung, diikuti oleh orang tua sambil memikul sebuah noken berisi onaki (sagu).

Setelah pesta taori selesai, anak laki-laki akan menerima cawat (kain penutup kemaluan) yang terbuat dari serat sagu. Saat itulah mereka dianggap sudah dewasa.

Belati - Senjata Tradisional Khas Papua yang Terbuat dari Tulang Manusia

Orang suku Kamoro

Melansir Jurnal Argkeologi Papua, Orang suku Kamoro berjumlah lebih dari 18.000 jiwa. Mereka tersebar di 40 kampung kawasan pesisir selatan sepanjang 300 kilometer, seperti Sungai Otakwa dan Teluk Etna. Beberapa kampung terletak di pegunungan yang jauh dari Laut Arafura.

Mayoritas penduduk Kamoro bekerja meramu sagu atau menangkap ikan. Mereka juga suka berburu babi hutan, kasuari, dan kasuari. Hewan-hewan tak lazim seperti kadal bakau, tambelo (cacing), buaya laut, dan ulat sagu (koo), menjadi makanan mereka sehari-hari.

Soal keyakinan orang Kamoro menganut animisme dan animisme. Dalam kehidupan, orang Kamoro sangat mengistimewakan pohon sebagai media mengukir dan memahat. Segala tumbuhan atau pepohonan, binatang, dan benda memiliki, sehingga masing-masing diberi nama salah satu moyan mereka. Pohon dan binatang dikaitkan dengan otepe, sebuah kepercayaan kepada totemisme.

Arsitektur Karapauw Kame

Secara bentuk, Karapauw Kame mirip seperti rumah tradisional Papua pada umumnya, yaitu rumah panggung berbentuk persegi panjang. Dia memiliki ruangan los dan tidak ada satu pun sekat. Rumah ini dibangun menghadap barat, bermakna bahwa semua leluhur yang telah meninggal akan pergi dan menetap saat matahari terbenam ke arah barat.

Tiang penyanggnya atap ada 10 buah, terbuat dari kayu buah atau manggrove. Sementara penyangga rumah berjumlah 18 buah, terbuat dari kayu besi. Masing-masing tiang memiliki tinggi berkisar 30 sentimeter hingga 1 meter dari permukaan tanah, ditutupi dengan tikar.

Atap Karapauw Kame terbuat dari anyaman daun sagu. Dinding dan pintu di bagian depan ditutup dengan daun tikar, sedangkan dinding di sebelah, kiri, kanan, dan belakang, dibuat dari anyaman daun sagu. Tidak ada jendela di rumah ini. Jumlah pintu disesuaikan dengan jumlah anak laki-laki dan perempuan yang hendak diinisiasikan.

Pembangunan Karapauw Kame disesuaikan dengan jumlah anak yang akan mengikuti inisiasi. Misal, jika mereka ada 18 orang, maka pintu dibuat sebanyak 18 unit.

Tiang Mbitoro: pintu masuk ke dunia bawah

Bagian unik dari bangunan tradisional ini adalah setiap rumah Karapauw Kame pasti memiliki tiang mbitoro, sebuah tiang yang diberi ukiran tokoh penting. Sebelum tiang itu ditanam di depan rumah, para pendiri akan menggali lubang di malam hari. Lalu paginya, anak-anak yang akan diinisiasi dibawa ke lubang tersebut. Setelah itu, barulah tiang mbitoro mulai didirikan. Lubang tersebut ibarat pintu masuk ke dunia bawah.

Tiang mbitoro dibuat menggunakan kayu kiyako yang dipahat, tingginya kira-kira lima meter. Pemahatan dipantau oleh seorang maramowe alias guru pahat Penebangan pohon untuk membuat tiang mbitoro selalu diiringi upacara, kemudian penghiasan tiang dikerjakan oleh para ipar atau kaukapaiki. Pada tiang ini, terdapat satu atau dua patung nenek moyang atau tokoh yang disegani dan dianggap berjasa bagi kampung.

Mbitoro memiliki banyak ukiran. Pada sayap bagian atas, terdapat ukiran beberapa tokoh dunia dalam bentuk ukiran tembus, sehingga ada lubang-lubang. Kadang-kadang bentuknya bulat atau tanda tanya menyerupai lambang matahari. Di sekelilingnya terdapat patung orang ular (memoro/memoro we), orang biawak atau soa-soa (oke-we), bulan (pura), tangkai pemangkur sagu (wapuru), dan dayung.

Pada bagian paling ujung, terdapat beberapa patung burung (popere), burung taon-taon (komay), kakatua raja (mopoko), kasuari (peko), kakatua putih (akina), dan bangau putih (wiyoko).

Ketika mbitoro didirikan, sayapnya seakan sampai ke langit, kakinya turun ke dunia bawah. Setelah itu atap dipasang di rumah Karapauw Kame. Pemadangan atau melambangkan bahwa rumah ini mencakup bumi, dunia atas, dan dunia bawah. Dengan memperlihatkan mbitoro kepada anak-anak yang diinisiasi, mereka diperkenalkan kepada dunia atas.

Tradisi Sasi, Cara Warga Maluku-Papua Lindungi Kekayaan Alam

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini