Perang Topat, Kala Umat Hindu dan Islam Bersatu Memperoleh Keberkahan

Perang Topat, Kala Umat Hindu dan Islam Bersatu Memperoleh Keberkahan
info gambar utama

Masyarakat suku Sasak di Lombok memiliki sebuah tradisi yang merepresentasikan keharmonisan hidup dalam keberagaman. Namanya Perang Topat alias perang ketupat. Perang ini dilaksanakan bukan untuk menunjukkan kebencian atau perselisihan, melainkan kegiatan yang penuh suka cita. Inilah yang membuktikan kerukunan dan toleransi kuat terjalin antar umat beragama di Lombok Barat.

Perang Topat digelar satu tahun sekali oleh masyarakat penganut Islam Wetu Telu dan umat Hindu dari suku Bali. Pelaksanaan upacara ini berpusat di Pura Gaduh dan Kemaliq Lingsar yang terletak di dalam Taman Pura Lingsar, Desa Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Pura Gaduh adalah tempat sembahyang umat Hindu, sedangkan Kemaliq merupakan tempat suci bagi muslim di Desa Lingsar.

Tradisi ini biasanya digelar setiap bulan purnama pada tanggal 15 hitungan masyarakat Sasak. Lebih tepatnya saat purnamaning sasih keenam masan ngaro, ketika para petani menanam padi di sawah. Warga Lombok membagi satu tahun menjadi dua musim, yakni kemarau (masan balit) dan penghujan (masan ujan). Dikarenakan menanam padi dilakukan pada musim hujan, maka Perang Topat juga dilaksanakan waktu musim hujan.

Rute tradisi penuh suka cita ini dimulai dari rumah pemangku Hindu, lanjut ke Amangku Kemaliq Lingsar, pelataran Kemaliq dan Pura Lingsar, alun-alun Taman Lingsar, Pura Lingsar dan Aik Mual Lingsar. Ritual penutupan perang dilakukan di mata air Sarasuta. Perang Topat termasuk yang paling ramai dihadiri dibandingkan ritual keagamaan lain.

Mengenal Bau Nyale, Tradisi Unik di Pantai Selatan Lombok NTB

Untuk mendapat keberkahan Tuhan

Perang Topat diadakan dengan pengharapan memperoleh keberkahan dari sang Wedi (Tuhan) serta keselamatan dan kenyamanan untuk para arwah leluhur. Keberkahan itu didapati melalui air suci Kemaliq yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, misalnya makan, cuci kakus, dan bercocok tanam.

Selain itu, tradisi ini terus dilestarikan dengan harapan penduduk diberikan kesehatan, kesejahteraan keluarga, terhindar dari segala penyakit, curah hujan yang turun cukup, kesuburan tanah baik, sumber air kemaliq mengalir deras, cocok tanam berhasil, dan lainnya.

Demi mewujudkan harapan-harapan tersebut, masyarakat pun melakukan tradisi Perang Topat sekaligus untuk memenuhi wasiat nenek moyang.

Sisi Lain WSBK Mandalika 2022: Ketika Pebalap Berinteraksi dengan Alam & Masyarakat Lombok

Dimulai dengan menjemput tamu agung

Perang Topat memiliki serentetan ritual. Sehari sebelum perang dimulai, terlebih dahulu dilakukan ritual mendaq, yakni penjemputan tamu agung roh-roh gaib yang berkuasa di gunung Rinjani atau datang dari gunung Agung. Mendaq dilakukan di Pura Aiq Mual dan diikuti oleh masyarakat Sasak penganut Hindu dan Islam.

Setelah ritual mendaq selesai dan kembali ke taman Lingsar, acara dilanjutkan dengan mengelilingi Kemaliq Lingsar luar dan dalam sebanyak tiga kali putaran. Ritual ini disebut ngilahang kebon odeq. Pesertanya terdiri dari pasukan pengawal dan pembawa kebon odeq yang diapit oleh para pria dengan memegang tombak, payung agung, dan tunggu. Kebon odeq ibarat dunia kecil oleh masyarakat Hindu di Lingsar. Ia juga lambang keagungan.

Ngilahang kebon odeq di luar Kemaliq Lingsar dimeriahkan dengan arak-arakan sesekor kerbau untuk kemudian disembelih, dijadikan persembahan, dan disantap bersama. Upacara ini ditutup dengan meletakkan kebon odeq di altar Kemaliq. Para peserta melakukan persembahan dipimpin oleh pemangku Hindu dan Muslim.

Perang Topat digelar keesokan harinya. Tapi, sebelum itu, pada malam hari diadakan kegiatan haul (peringatan hari wafat seseorang) di rumah pemangku. Acara ini disemarakkan dengan pembacaan Alquran, zikir, selawatan, dan doa yang diikuti para jemaah, tokoh agama, masyarakat setempat dipimpin penghulu Desa Lingsar.

Merindukan Rumah Kayu, Hunian Adat dari Lombok yang Sederhana Tapi Tahan Gempa

Kerbau sebagai persembahan, daging lain tidak boleh

Tradisi Perang Topat dilakukan keesokan harinya dari siang hingga menjelang sore. Sebelum perang dimulai, terlebih dahulu dilakukan nampah kaoq, yakni upacara penyembelihan seekor kerbau sebagai hewan kurban. Daging lain tidak diperbolehkan untuk disajikan, baik sapi, kuda, kambing, apalagi babi.

Maka dari itu, masyarakat Sasak yang pernah mengonsumsi daging babi, diwajibkan menyucikan diri dulu sebelum mengikuti acara ini. penyembelihan dilakukan oleh Kiyai pada waktu subuh ketika cahaya terang di kaki gunung (leap timuq).

Setelah nampah kaoq, dilanjutkan dengan miaq pesaji, yakni menata sesajian berisi ketupat, bunga, buah-buahan, dan lainnya. Ada sebanyak sembilan dulang yang disajikan, termasuk senganan, yaitu dulang berisi jajanan berjumlah sembilan. Upacara ini dipersiapkan sejak pagi hari di sebuah balai.

Upacara selanjutnya adalah nyerahang topat. Peserta menyerahkan ketupat di Altar Kemaliq. Jumlah ketupat yang dibawa tergantung masing-masing peserta alias seikhlasnya. Pada sore harinya, dilakukan mendak pesaji¸ membawa sesajian dan kebon odeq ke rumah pemangku di waktu rarak kembang waru (gugurnya bunga waru).

Semua sesajian kemudian dibawa ke Kemaliq. Setiba di sana, peserta melakukan upacara nghilangan, yakni mengarak kebon odeq beserta sesaji berkeliling Kemaliq sebanyak tiga putaran.

Selanjutnya, nganturang pesaji, sesajian dipersembahkan kepada arwah gaib. Peserta menunggu arwah gaib menerima sesajian tersebut. Setelah ritual yang terakhir ini, barulah acara yang ditunggu-tunggu dimulai, yakni Perang Topat.

Masyarakat yang mengikuti Perang Topat berdiri di dua titik. Umat Hindu Sasak berdiri di atas Pura, sedangkan umat Islam di depan pintu Kemaliq. Sesuai namanya, alat perang yang digunakan adalah topat alias ketupat. Masyarakat muslim dan Hindu saling melempar ketupat ke arah lawan.

Perang ini selesai sampai semua ketupat habis terlempar. Setelah itu, semua ketupat yang terbuang dibawa lagi pulang ke rumah untuk dijadikan pupuk dan lainnya. Tak boleh ada yang tersisa.

Mengenal Satu-Satunya Burung Endemik di Pulau Lombok dengan Mitos Petaka

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini