Mitos Jimat Rantai Babi yang Bawa Kekebalan Saat Melawan Belanda

Mitos Jimat Rantai Babi yang Bawa Kekebalan Saat Melawan Belanda
info gambar utama

Pada 2020 silam, polisi menembak mati seorang bandar narkoba di Musi Banyuasin (Muba), Sumatra Selatan. Bandar yang bernama Andi sempat melawan dan merasa kebal karena memakai jimat rantai babi.

“Merasa kebal dengan berbagai jimat mulai dari bulu harimau, rantai babi, dan taring babi serta benda-benda lain ada pada korban,” ucap Kapolres Musi Banyuasin, AKBP Erlin Tangjaya yang dimuat Detik.

Cerita tentang jimat bernama rantai babi telah tersebar luas sejak lama. Salah satunya adalah cerita tentang Teungku Di Cot Plieng yang termasuk barisan pejuang Aceh saat melawan Belanda yang ditulis H.C Zentgraaff dalam bukunya Aceh.

Sosok ini terkenal licin. Belanda bahkan menaruh decak kagum kepada pejuang yang juga seorang ulama ini. Operasi memburu Teungku Di Cot Plieng sudah lama dilakukan. Baru pada tahun 1905 pasukan Belanda berhasil membunuh ulama tersebut.

Benda keramat yang dimiliki Teungku Di Cot Plieng rupanya yang menjadi alasan mengapa prajurit Belanda kecut saat menghadapinya. Selain mempunyai azimat berupa mushaf Al Quran, tokoh ulama ini juga menyimpan benda berupa rante bui atau rantai babi.

“Dipercaya membuat tubuh Teungku Di Cot Plieng kebal peluru atau senjata tajam,” tulis Rino Abonita dalam Kisah Tengku di Aceh yang Kebal Berkat Jimat Rantai Babi.

Kisah Para Bandit yang Terhormat karena Jimat dan Keberanian Melawan Kolonial

Percaya akan jimat

Kesaktian rantai babi bukanlah hal baru di Aceh. Masyarakat Bumi Serambi Mekkah ini memang tidak jauh berbeda dengan masyarakat Indonesia yang umumnya mempercayai hal-hal berbau mistis.

Monti, seorang pria paruh baya menjelaskan kepercayaan masyarakat Aceh terhadap jimat rantai babi. Dirinya menjelaskan bahwa rantai babi sejatinya adalah cacing tanah “menjadi” sehingga dipercaya memiliki tuah atau keramat.

Cacing tanah atau dalam Bahasa Aceh ‘glang tanoh’ pada mulanya tersangkut atau secara tidak sengaja terkait saing babi, saat hewan itu sedang mengorek-orek tanah demi mendapatkan makan.

Monti menyebutkan untuk mendapatkan cacing tersebut, harus menunggu ketika pemiliknya lengah. Baginya tidak mudah mendapatkan hal itu, pasalnya babi yang memiliki cacing “menjadi” itu, tidak menaruh sembarangan cacing yang dimilikinya.

Babi yang mempunyai cacing keramat itu bukan bukan sembarangan. tetapi adalah yang paling kurus di antara kawanannya. Dia hanya melepasnya saat tidak ada yang melihat atau ketika sedang makan sendirian.

“Kalau mau kebal, pakai rante bui. Cacing ini, didapat babi saat makan. Rantai babi disebut banyak orang, hanya ada sama babi paling kurus,” ucapnya.

Mengapa Aceh Disebut Serambi Mekkah?

Diburu pemuja kesaktian

Karena tingkat kesulitannya untuk mendapatkan cacing bertuah, harga saat mendapatkannya pun dihargai mahal oleh para pemburunya. Apalagi dengan klaim kekuatan yang terkandung pada rantai babi menjanjikan kekebalan bagi pemakainya.

Disebutkan oleh Monti, tidak sedikit yang mengamalkan azimat rantai babi sebagai penangkal bahaya. Tetapi berhubungan stigma haram yang melekat pada sebuah jimat, para penggunanya merahasiakan kepemilikan rantai babi.

Walau begitu, para orang tua, jelas Monti menyebutkan rantai babi bisa disucikan dengan disamak terlebih dahulu, hal ini karena bahannya yang bukan berasal dari babi. Sehingga unsur haramnya hilang saat disamak.

“Itu dasar logis mengapa ada ulama dan pejuang Aceh yang notabene Muslim memakainya. Yang sudah disamak sih bentuknya seperti sarangan pelor sepeda motor, kalau yang belum disamak, masih berbulu, itu kayaknya bulu babi,” katanya.

Legenda Banta Seudang dari Aceh, Perjalanan Seorang Anak Menyembuhkan Raja yang Buta

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini