Tragedi Januari di Kediri: Alquran Diinjak dan Kiai Ditali

Tragedi Januari di Kediri: Alquran Diinjak dan Kiai Ditali
info gambar utama

Matahari belum sempurna memunculkan sinarnya, tetapi sebuah masjid yang terletak di pinggiran Kediri sudah dipenuhi oleh ratusan jemaat yang merupakan peserta training Pemuda Islam Indonesia (PII). Mereka ada di sana untuk melaksanakan salat subuh sehabis sahur.

Tak terbayangkan sebelumnya, salam yang mengakhiri salat ternyata dijawab tidak hanya sorak-sorak massa, tetapi juga hinaan dan cacian kepada mereka. “Bunuh! Ganyang! Hidup PKI! Hidup BTI! Balas Peristiwa Madiun! Ganyang antek Nekolim! Ganyang antek Malaysia! Ganyang santri!” teriak para massa yang ternyata juga membawa senjata tajam ala desa, yaitu arit atau clurit sambil memaksa masuk ke dalam masjid tanpa melepas alas kaki.

Gurih! Pisang Goreng Jadi Deep-Fried Dessert Terbaik Dunia

Mereka adalah para anggota Partai Komunis Indonesia beserta kelompok lain yang serupa. Pada hari itu, orang-orang ini mengobrak-abrik dan menginjak kitab suci Alquran hingga menangkap semua orang yang ada dalam masjid, termasuk Kiai Jauhari yang mengimami salat. Sang Kiai beserta ratusan jemaat tersebut diikat dengan tali dan digelandang ke kantor polisi setempat.

Itulah huru-hara yang terjadi pada 13 Januari 1965 di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri. Meskipun berlangsung begitu cepat, tetapi memberikan dampak luas hingga level nasional. Tragedi kelam tersebut dilatarbelakangi karena suhu politik yang semakin memanas waktu itu, antara golongan kiri dan golongan kanan.

Sebenarnya, ketegangan kedua kelompok tersebut sudah terjadi dari sekitar 1960-an. Meskipun demikian, sebetulnya sudah pernah terjadi konflik serupa pada 1948 di Madiun yang memakan korban para kiai dan santri.

Kediri yang tidak jauh dari Madiun termasuk basis santri yang dibuktikan dengan berbagai pondok pesantren yang kharismatik waktu itu hingga saat ini, seperti Lirboyo, Ploso, Jampes, dan Ringinagung Pare. Namun, di sisi lain, karena di daerah ini banyak ditemui pabrik gula, banyak pekerjanya yang justru tergabung dalam Buruh Tani Indonesia (BTI) dan organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI).

Hal itu menyebabkan Kediri juga di kenal sebagai basis kiri. Kondisi demikian menjadi penyebab adanya gesekan antara dua golongan yang dominan tersebut dan yang terjadi di Kanigoro adalah klimaks dari cerita ini.

5 Top Film Tema Holocaust yang Bikin Nangis, Awas Mewek!

Dari sisi yang lebih mikro, peristiwa tersebut juga dipicu karena keberanian panitia dari PII memilih Desa Kanigoro sebagai tempat dilaksanakannya training yang merupakan 'daerah merah'. Disebut demikian sebab sebagian besar masyarakatnya memang tergabung dalam BTI, baik para petani tebu maupun buruh di Pabrik Gula Ngadirejo yang tidak jauh dari desa tersebut.

BTI dan Pemuda Rakyat (PR) resah dengan acara tersebut karena pesertanya adalah anggota PII yang terafiliasi Masyumi (partai yang dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 1960 karena terindikasi terlibat pemberontakan PRRI/Permesta). Padahal, PKI yang sangat anti kepada Masyumi, bahkan menganggapnya seperti musuh yang harus dibasmi.

Inilah yang menjadi pertanyaan penting, mengapa PII begitu memiliki nyali mengadakan acara di tengah kepungan kaum "merah"? Meskipun sudah mengantongi izin dari pemerintah, kehadiran Samelan, tokoh Masyumi Jawa Timur, untuk memberikan ceramah sangat ditentang keras oleh simpatisan PKI di sana. Akhirnya, menurut catatan Pusat Sejarah TNI, sekitar 2000 orang BTI dan PR menggeruduk dan berniat membubarkan kegiatan tersebut.

Meskipun terjadi di daerah yang jauh di selatan dari pusat Kediri, kabar peristiwa ini begitu cepat menyebar seperti bunga-bunga di perkebunan tebu yang ditiup angin. Gus Maksum yang merupakan anak Kiai Jauhari memegang komando dan memberikan perintah kepada Barisan Ansor Serbaguna (Banser) wilayah Kediri untuk bersiap. Pada 18 Januari 1965, delapan truk yang berisi para anggota banser menyerang Desa Kanigoro. Menyikapi hal tersebut, polisi bertindak cepat mengamankan wilayah dan meredam kemarahan umat dengan menangkap Suryadi (pimpinan BTI) dan Harmono (pimpinan PR) yang merencanakan dan memimpin penggerudukan tersebut.

Bulan berikutnya, PII melakukan pelemparan kantor PKI. Pengurus PII Jawa Timur, Anis Abiyoso, pun menjadi buronan polisi akibat kejadian ini. Ia kemudian menyerahkan diri di Malang, 12 Februari 1965.

Ada Kapal Phinisi dalam Busana Wakil Indonesia di Miss Universe, Ini Maknanya

Oleh pemerintah orde baru, peristiwa ini diabadikan sebagai adegan pertama pada film "Penumpasan Penghianatan G30S/PKI" yang diproduksi tahun 1984 dan sempat diwajibkan untuk ditonton oleh rakyat tiap tahunnya waktu itu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini