Mengintip Rempah-Rempah di Dapur Orang Eropa pada Abad Pertengahan

Mengintip Rempah-Rempah di Dapur Orang Eropa pada Abad Pertengahan
info gambar utama

Pada abad pertengahan di Eropa, rempah-rempah menjadi bagian penting dalam dapur-dapur masyarakat Eropa. Buku-buku masak dan dokumen peninggalan abad pertengahan memiliki rujukan akan rempah yang sama seperti cerita fantasi.

Misalnya di dapur Jeanne d’Evreux, janda dari Raja Charles IV dari Prancis terdapat satu set kecil kuali dalam berbagai ukuran, panci besar yang kuat, penggorengan, serta diimbangi dengan koleksi rempah-rempah dalam jumlah banyak.

“Dapur Jeanne penuh sesak oleh tidak kurang dari 6 pon lada, 13,5 pon kayumanis, 5 pon “gandum surga”, 3,5 pon cengkih, 1.25 pon kuma-kuma , 0,5 pon lada panjang , sedikit bunga pala , dan sejumlah 23,5 pon jahe,” tulis Jack Turner dalam Sejarah Rempah dan Erotisme Sampai Imperialisme.

4 Rekomendasi Minuman Kesehatan Asli Indonesia

Tapi Jack menjelaskan koleksi Jeanne ini masih kalah dengan para penghuni Humphrey Stamford, para bangsawan Buckingham yang menyantap panganan yang disajikan dengan bumbu penyedap.

Dikatakannya para penghuni di sana bisa menyantap tidak kurang dari 316 pon jada, 194 pon jahe, serta berbagai jenis rempah lainnya yang secara keseluruhan dapat diestimasikan dua pon rempah-rempah setiap harinya.

Mitos yang menakutkan

Begitu gandrungnya masyarakat Eropa abad pertengahan mengoleksi rempah-rempah di rumahnya ternyata berawal dari adanya mitos. Ketika itu masyarakat Eropa sangat paranoid terhadap daging tengik dan busuk.

Karena itulah mereka harus menggunakan sejumlah besar rempah untuk menyamarkan rasa yang kurang sedap. Gagasan tersebut, dijelaskan oleh Jack berasal dari para cendekiawan abad ke 18.

“Mereka memandang makanan nenek moyang mereka dengan penuh kengerian,” jelasnya.

Lada Hitam, Riwayat Raja Rempah yang Populer di Masyarakat Dunia

Mitos ini sebenarnya benar dari segi fakta pasalnya ketika itu belum ditemukan kulkas, maka daging dan ikan lebih rusak serta keracunan makanan menjadi bahaya laten yang ketika itu sulit untuk dipahami.

Sementara itu standar kebersihan makanan cenderung rendah. Hal ini bisa dilihat dari larangan Henry VIII dari Inggris bagi pembantu juru masak telanjang atau berpakaian menyedihkan.

“Lalat-lalat berterbangan di dalam toko juru masak dalam The Canterbury Tales; sedangkan pai “Jack of Dover” nya yang berulang kali dipanaskan kembali, terlihat seperti resep ampuh untuk keracunan makanan. Hidangannya yang mengundang penyakit seringkali disebut sebagai kutukan bagi sang pelanggan yang keracunan,” papar Jack.

Rempah obat penangkal

Menghadapi kondisi seperti itu, rempah-rempah ternyata menjadi sebuah obat penangkan. Ketika itu masyarakat Eropa mengetahui bahwa rempah-rempah bisa mengurangi risiko keracunan serta memperpanjang periode layak konsumsi.

Pada teori medis saat ini fungsi pengawetan rempah dijelaskan berdasarkan karakteristik fisiknya bahwa pembusukan dipahami sebagai kelebihan kadar kelembapan. Hal ini ternyata bisa dinetralkan oleh pemanasan dan pengeringan oleh rempah-rempah.

“Tanpa adanya rempah-rempah tiada tanding, makan menjadi sesuatu yang sangat berisiko. Banyak yang berada dalam bahaya besar dan menghadapi risiko kematian,” paparnya.

Hikayat Sihir Lada Hitam yang Antar Petani Lampung Berangkat ke Tanah Suci

Pernyataan serupa ditemukan dalam Tressor de Evonime yang terbit pada 1555 Masehi yang mengandung resep sebuah bahan yang terbuat dari pala bubuk, cengkih, kayumanis dan jahe untuk digunakan sebagai bahan pengawet makanan.

“Daging, ikan, dan semua makanan.. dari segala jenis pembusukan,” tulisnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini