Pasar Lama Tangerang dalam Jejal Akulturasi Masyarakat Pribumi dengan Tionghoa

Pasar Lama Tangerang dalam Jejal Akulturasi Masyarakat Pribumi dengan Tionghoa
info gambar utama

Pasar Lama, Kota Tangerang dibandingkan pasar di kota lain sebenarnya jauh lebih kecil. Para pedagang hanya memadati satu ruas jalan, yaitu Jalan Cilame, selebihnya hanya satu dua pedagang yang menggelar dagangan mereka di mulut Jalan Cirarab.

Tetapi dibalik sosoknya yang sederhana, Pasar Lama menyimpan kisah yang sedemikian kaya. Karena dahulu, tak jauh dari gerbang pasar tersebut terdapat titik nol Tangerang. Pasar Lama menandakan perjumpaan antara masyarakat Tionghoa dan lokal.

“Perbendaharaan kisahnya mengalir sejak ratusan tahun lalu mengikuti arus kunjungan armada Laksamana Cheng Ho pada 1407-1433 ke tanah Jawa,” tulis B Josie Susilo Hardianto dan Pingkan Elita Dudu dalam Pasar Lama Tangerang: Jejak Akulturasi dari Titik Nol di Kota Tangerang yang dimuat Kompas.

Metamoforsis Kota Tangerang dari Tempat Buangan Jadi Wilayah Aerotropolis

Mantan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim dalam buku Menuju Masyarakat Berperadaban Akhlakul Karimah menyebutkan bahwa kawasan Pasar Lama merupakan salah satu kampung tua di Tangerang.

Wilayah tersebut telah ditetapkan oleh penguasa VOC sebagai permukiman warga Tionghoa sejak 1740. Tetapi sebelumnya, kawasan itu sudah menjadi tempat perjumpaan masyarakat yang berasal dari penjuru Tangerang.

Magnet kota Tangerang

Di Pasar Lama ada beberapa tempat yang menjadi magnet masyarakat, seperti keberadaan Bon Tek Bio, sebuah klenteng tua yang dibangun pada 1684. Biasanya tempat ini selain digunakan dalam ritual keagamaan, namun juga ada peran sosial dan budaya.

Selain itu di Jalan Cilame, ada sebuah rumah tua yang diduga dibangun pada masa yang sama dengan era pembangunan Bon Tek Bio. Rumah tua tersebut saat lebih dikenal sebagai Benteng Heritage.

Peneliti budaya Tionghoa, Udaya Halim menceritakan bahwa dahulunya rumah ini diyakini milik komunitas Tionghoa yang ada di sana. Salah satu buktinya ditandai dengan adanya patung dewa Gwee Seng kong atau dewa pendidikan.

Sejarah Topi Bambu, Primadona Kerajinan Warga Tangerang

Selain pada bangunan, beberapa peninggalan budaya masyarakat Tionghoa pun mudah ditemukan di Pasar Lama. Misalnya dalam aneka makanan seperti taoge, taoco, tahu, hingga kecap.

“Kecap, misalnya, berasal dari bahasa Hokian, yaitu kwei shiap yang berarti sari ikan, karena itu sebenarnya rasanya asin. Namun, setelah bertemu dengan khazanah kuliner Jawa yang umumnya manis, kwei shiap kemudian diramu dengan gula jawa, lalu jadilah kecap seperti yang kita kenal saat ini,” kata Udaya.

Peran Cheng Ho

Akulturasi antara masyarakat lokal dengan Tionghoa lebih erat setelah Cheng Ho berlayar ke Nusantara. Dirinya membawa armada besar dengan kapal-kapal raksasa yang difungsikan sebagai ladang dan peternakan terapung.

Kedelai merupakan salah satu sumber makanan pokok bagi kurang lebih 30.000 pengikut Cheng Ho. Kedelai yang dalam bahasa Hokian disebut tau diolah menjadi aneka makanan, seperti taoge, tahu, dan taoco.

Selain makanan, jelas Udaya banyak pengikut Cheng Ho yang kemudian menikah dengan penduduk lokal. Hal ini mudah dijumpai saat bertemu dengan masyarakat China Benteng. Selain fisik, masyarakat di sana tidak menguasai bahasa Tionghoa.

Bhinneka Tunggal Ika di Tengah Hiruk Pikuk Tangerang

Di Pasar Lama, mereka mudah sekali ditemui, baik sebagai pedagang maupun pembeli yang berbicara dengan logat khas Tangerang. Hal ini menempatkan Pasar Lama tidak hanya sebagai titik akulturasi, namun juga integrasi.

“Dari titik nol itu, saat ini pasar tua tersebut tidak hanya berkembang menjadi pusat perdagangan, tetapi juga perjumpaan komunitas Tangerang dan warga dari wilayah lain di sekitarnya,” katanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini