Seni Batik dari Pekalongan sebagai Bentuk Perlawanan kepada Penjajah

Seni Batik dari Pekalongan sebagai Bentuk Perlawanan kepada Penjajah
info gambar utama

Daerah Batang, Pekalongan, Jawa Tengah menyimpan energi perlawanan yang menggelora sejak zaman penjajahan Belanda. Perlawanan ini paling terlihat ketika bersentuhan dengan batik rifa’iyah.

Miftakhutin atau biasa dipanggil Utin telah belajar membatik sejak usia delapan tahun yang bersamaan dengan belajar ilmu agama. Pelajaran agama itu banyak ditulis dalam bentuk madhom atau syair oleh Syekh Ahmad Rifa’i, ulama panutan kelompok Rifa’iyah.

“Para siswa kala itu kerap diberi tugas menghafal syair. Ketika membatik, mereka pun terus menghafal sehingga menjadi kebiasaan,” tulis Mohammad Hilmi Faiq dan Sri Rejeki dalam Selisik Batik Batang: Perlawanan Lewat Selembar Batik yang dimuat Kompas.

Selain “Kota Batik”, Inilah Julukan Lain untuk Pekalongan

Dijelaskan oleh Hilmi, biasanya syair itu berisi gambaran tentang alam sesudah mati. Sarat dengan ajaran moral soal pentingnya berbuat baik kepada sesama sebagai bekal di kehidupan selanjutnya.

Syair-syair itu dikembangkan para pembatik rifa’iyah setiap mereka membatik. Dengan cara itu, membatik tidak hanya sekadar menyelesaikan pekerjaan, melainkan juga memperdalam sebuah ilmu agama.

“Membatik menjelma menjadi aktivitas sarat makna, bahkan mendekati sakral karena pada saat itu mereka lebih banyak mengingat Tuhan, mendalami nilai-nilai kemanusiaan,” paparnya.

Bentuk perlawanan

Dijelaskan olehnya, selain motif spiritual, ada juga upaya untuk melakukan perlawanan dalam menghafal sebuah syair. Hal ini karena kelompok Rifa’iyah ketika itu menjadi salah satu kelompok yang dilarang Belanda.

Syekh Ahmad Rifa’i yang merupakan ulama kelahiran Kendal, Jawa Tengah ini terkenal sebagai seorang pejuang. Dirinya selain menulis kitab-kitab, juga membuat pesantren hingga gemar membuat syair perlawanan.

Ketua I Pengurus Pusat Rifa’iyah KH Ali Nahri menjelaskan prinsip oleh Syekh Ahmad Rifa’i yang lebih ingin hidup susah. tetapi merdeka, daripada hidup makmur, tetapi tunduk kepada penguasa zalim.

Belanja Bukan dengan Rupiah di Pasar Minggon Jatinan

Karena keberanian melawan Belanda, dirinya diasingkan ke Kali Salak, Limpung, Batang yang kala itu masih berupa hutan dan sangat sepi. Tetapi dia tetap meneruskan perjuangan membangun pesantren sembari menyemai benih perlawanan.

Salah satunya adalah Ilham, yang melihat banyak orang membatik di Kalipucang. Karena itu dirinya berinisiatif membatik dengan memasukkan ajaran Syekh Rifa’i ke dalam motif-motif pelo ati yang bermakna bahwa manusia harus menjaga kebersihan hatinya.

Penanda

Dikatakan oleh Hilmi, motif batik Rifa’iyah ada cukup banyak namun hanya 24 jenis yang masih diingat dan sering dibuat. Ciri khas motif batik ini adalah memisah kepala dengan tubuh saat penggambaran makhluk hidup berupa hewan.

“Motif-motif ini beredar terbatas di kalangan Rifa’iyah dengan pola distribusi yang unik,” paparnya.

Biasanya pembatik Rifa’iyah membawa kain batik jadi saat mengikuti pengajian ke daerah lain, seperti Cirebon atau Demak. Di sana, mereka menjual batik sembari menimba ilmu. Tradisi ini mempererat hubungan antar pengikut Rifa’iyah.

Balon Udara Batik di Kota Batik

Batik ini juga menjadi penanda saat mereka berada di pasar atau tempat baru, Utin kerap mengamati batik yang digunakan orang. Ketika menemui kain batik Rifa’iyah dikenakan seseorang, dirinya tak segan menyapa.

Utin telah menjadikan batik sebagai sumber penghasilan, meskipun sebenarnya tidak begitu menjanjikan. Satu batik tulis Rifa’iyah bisa sampai tiga bulan rampung dengan harga jual Rp1 juta hingga Rp1,7 juta per potong.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini