Mengenal Keragaman Warga Labuan Bajo yang Jadi Magnet Wisatawan

Mengenal Keragaman Warga Labuan Bajo yang Jadi Magnet Wisatawan
info gambar utama

Labuan Bajo, di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur merupakan kota berpanorama laut yang memesona. Gerbang pariwisata ini tengah tumbuh pesat menjadi primadona masyarakat lokal dan mancanegara.

Karena tumbuh pesat sebagai primadona wisata, Labuan Bajo banyak dihuni oleh berbagai suku di Nusantara. Masyarakat Labuan Bajo yang berbagai tersebut pun sangat mengharamkan konflik.

Bertanding di Indonesia, Timnas Argentina Bakal Diajak Liburan ke Labuan Bajo

Haji Muhammad Abubakar Adam Djudje, sesepuh masyarakat Bajo menganggap biasa saja kotanya memiliki nama yang sebagian dipungut dari nama sukunya. Menurutnya dengan nama itu tak berarti orang Bajo merasa berhak diistimewakan.

“Nama itu dipakai hanya karena tempat ini dahulunya lokasi persinggahan nenek moyang kami yang sebetulnya lebih banyak hidup di laut,” ujar Adam yang dimuat Kompas.

Suku laut

Shutterstock/Labuan Bajo
info gambar

Suku Bajo atau Bajau kerap disebut juga suku laut karena memiliki tradisi hidup di atas perahu dan menangkap ikan di berbagai penjuru perairan Nusantara. Sebelum Belanda hadir di Manggarai, tempat ini disebut Bong Bajo atau Pelabuhan Bajo.

Nama Labuan Bajo baru resmi dipakai pada 1926 setelah Belanda mengangkat Raja Todo sebagai raja di Manggarai. Ketika itu, Labuan Bajo masih hanya sebuah desa di wilayah Hamente Nggoran.

Berkat KTT ASEAN di Labuan Bajo, Okupansi Hotel Capai 100 Persen

Kata hamente berasal dari kata Belanda gemeente, istilah untuk menyebut kesatuan wilayah pemerintah yang kurang lebih setingkat kecamatan. Hemente Nggoran yang wilayahnya meliputi 11 desa juga dikenal sebagai Kedaluan Nggorang.

Dari desa nelayan yang sepi, Labuan Bajo kini berkembang menjadi kota pusat pemerintahan Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Kota berpenduduk sekitar 12.000 jiwa itu juga telah tumbuh menjadi salah satu pusat turisme utama di kawasan Indonesia Timur.

Labuan bajo menggeliat

Labuan Bajo/Shutterstock
info gambar

Ketika mata dunia mulai terbuka pada keberadaan satwa langka komodo di Pulau Rinca dan Komodo pada 1970-an, jumlah pelancong yang datang ke Labuan Bajo, pintu gerbang menuju Taman Nasional Komodo terus meningkat.

“Labuan Bajo menggeliat, tumbuh sebagai kota dengan masyarakat dan kebudayaan yang heterogen,” paparnya.

Selain orang Bajo, ada juga kaum pedagang Tionghoa serta warga pendatang dari sejumlah daerah lain, termasuk Jawa, Bima, Makassar dan Sumba. Keberadaan sebagian dari mereka di kota itu hampir sama tuanya dengan suku Bajo.

Hotel Penuh Jelang KTT ASEAN, Delegasi-Media Bakal Menginap di Atas Kapal

Walau warga Labuan Bajo masih mengusung kebudayaan suku masing-masing, konflik di antara mereka hampir tak pernah terjadi, bahkan sejak dulu. Menurut Antonius Hantam. warga senior di Labuan Bajo selalu menyambut baik suku-suku lain.

“Pada tahun 1956, waktu orang Bugis pertama kali datang, mereka secara resmi diterima Raja Manggarai dan diberi izin bermukim di sini,” katanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini