Kisah PG Rendeng, Pabrik Gula Kegemilangan Kudus yang Menolak Mati

Kisah PG Rendeng, Pabrik Gula Kegemilangan Kudus yang Menolak Mati
info gambar utama

Industri tebu di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah ditandai dengan dibangunnya PG Rendeng oleh NV Mirandolle Voute en Co (MVC). Waktu itu perusahaan Belanda ini menamai pabrik gula tertua di Jawa Tengah itu dengan nama Rendeng Suiker Fabriek.

Sebelum Pabrik Gula Rendeng berdiri sebenarnya sudah ada dua pabrik lain di Kudus, yakni Pabrik Gula Besito dan Pabrik Gula Tanjung Mojo. Pabrik Gula Besito dan Pabrik Gula Mojo didirikan pada tahun 1835.

Pabrik Colomadu, Warisan Industri Gula Mangkunegaran yang Terbesar di Asia

Kedua pabrik ini juga pernah memproduksi gula hingga bisa diekspor ke Eropa. Tetapi dari ketiga pabrik milik Belanda yang ada di Kudus itu, PG Rendeng adalah yang paling berjaya di Kota Kretek tersebut.

“Bangunan utama dan sejumlah mesin masih seperti dulu. Kami hanya mengecek, memperbaiki sejumlah kerusakan, dan mengganti sejumlah kerusakan, dan mengganti sejumlah onderdil yang rusak,” kata administratur PG Rendeng Teguh Tri Nugroho yang dimuat Kompas.

Rela buat jalur kereta

Jalur kereta Kudus/Shutterstock
info gambar

Ahli sejarah Kudus, Agus Susanto menyebut karena pentingnya keberadaan PG Rendeng membuat Belanda rela membuat jalur kereta api. Tujuannya agar distribusi gula pasir yang diproduksi RG Rendeng ke Semarang lebih efisien.

Dikatakannya sebelum ada jalur kereta api, pemerintah Belanda memanfaatkan jalur darat terkait pengiriman gula pasir dari Kudus ke Semarang. Pembangunan jalur kereta api bertujuan untuk mempersingkat waktu pendistribusian gula pasir.

“Maka dibangunlah jalur kereta api pertama di tahun 1870. Tujuannya untuk akses ekspor gula pasir. Kan lewatnya dari Kudus ke Demak terus ke Semarang menuju Pelabuhan Tanjung Emas,” sambungnya.

Serupa Tapi Tak Sama, Ini Perbedaan Gula Aren dan Gula Jawa!

PG Rendeng adalah satu dari beberapa pabrik gula di Hindia Belanda yang tak hanya menjadi bagian sejarah ekonomi Indonesia, tetapi juga sejarah ekonomi dunia. Hindia Belanda bahkan bisa mengekspor 3 juta ton tiap tahun pada 1930-an.

“Belanda disindir hidup mengapung di atas “gabus” ekspor gula dari Jawa. Produksi sebesar itu tidak terulang lagi dalam sejarah gula di Indonesia. Produksi gula malah terus turun,” katanya.

Revitalisasi

Pabrik gula Kudus/Shutterstock
info gambar

PG Rendeng ingin terus bernapas agar bisa berpartisipasi dalam program Swasembada Gula Nasional. Karena itu pabrik yang kini dikelola PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) itu terus berbenang dan bersolek.

Selain merevitalisasi mesin-mesin produksi, PG Rendeng juga telah menerapkan pergantian tanaman tebu varietas lama ke varietas baru atau bongkar ratoon di lahan seluas 1.100 hektare yang diharapkan dapat menghasilkan produk tebu baru.

PG Rendeng juga menerapkan pola keterbukaan produksi kepada petani. Salah satunya dengan memasang kamera pemantau (CCTV) di sejumlah titik produksi. Melalui kamera itu, petani dapat memantau proses produksi gula mulai dari bongkar tebu hingga pengemasan.

Sugar Craving, Mengapa Gula Begitu Adiktif?

“Meski rendemen 12 persen tak mungkin tercapai kami akan terus menjalankan roda produksi PG Rendeng seoptimal mungkin untuk menghasilkan gula kristal yang berkualitas,” ungkap Agus.

Bahkan pada 2022 lalu, PG Rendeng menargetkan menggiling 270 ribu ton dan memproduksi gula sebanyak 18.000 ton. Hal ini berasal dari sejumlah daerah seperti eks Karesidenan Pati, yakni Kabupaten Kudus, Jepara, Pati, Blora, dan Rembang.

“Dengan adanya penyertaan modal negara (PMN) untuk mendukung proyek revitalisasi, kapasitas gilingnya mengarah ke 4.000 ton tebu per hari atau (tone cane per day/TCD).” ujarnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini