Kisah Manusia Kei yang Terus Berlayar Tanpa Pernah Berlabuh

Kisah Manusia Kei yang Terus Berlayar Tanpa Pernah Berlabuh
info gambar utama

Masyarakat yang mendiami Kepulauan Kei, Kota Tual, Maluku sempat mempunyai kemampuan membuat perahu. Tetapi praktik monopoli perdagangan Belanda pada awal abad 17 hingga 19 melarang mereka untuk berlayar.

Dinukil dari Kompas, arkeolog di Balai Arkeologi Ambon, Maluku, Marlon Ririmasse menduga kemahiran masyarakat Kei membuat perahu berasal dari bangsa Austronesia yang disebut pelayar handal.

Asian Games dan Peradaban Bahari Sungai Musi

Pelaut Austronesia yang berlayar ke selatan ini datang dengan perahu bercadik. Orang Kei kemudian banyak mengadopsi perahu orang Austronesia tersebut. Setelahnya perahu itu berubah jadi perahu layar.

“Jadi kemungkinan Kei mulai mengenal teknologi pelayaran itu dari Austronesia. Ini diperkuat dengan bahasa Kei yang masuk rumpun Austronesia. Penyebaran bahasa terkait erat dengan pelayaran,” tuturnya.

Membangkitkan lagi

Setelah dilarang oleh pemerintah kolonial, kepiawaian melaut orang Kei kembali terasah salah satunya membuat perahu. Ternyata ratusan tahun terisolasi oleh Belanda tak membuat jiwa petualang orang Kei mati.

Didorong oleh minimnya hasil pertanian di darat yang berbatu karang, mereka kembali berpetualang. Karena hal ini mulai banyak orang Kei yang kembali memproduksi sebuah perahu untuk berlayar.

Maxi Rahayaan misalnya yang membuat sebuah perahu dengan panjang 7 meter, lancip di bagian depan, melebar 1,5 meter di tengah dan mengecil di belakang. Bagian belakang dimanfaatkan untuk menaruh motor penggerak perahu.

Lantunan Syair Orang Sawang untuk Harmonisasi dengan Para Penghuni Laut

“Beberapa hari lagi, perahu ini sudah rampung,” tutur Maxi.

Masyarakat setempat menyebut perahu buatan Maxi sebagai body. Perahu jenis ini merupakan hasil evolusi dari perahu tradisional orang Kei, setelah motor dikenal masyarakat Maluku Tenggara sekitar tahun 1980.

Digunakan mencari ikan

Maxi menyebut setiap bulan dia membuat satu perahu jenis ini. Perahu karya Maxi melayar sampai ke luar Maluku Tenggara, seperti Kabupaten Kepulauan Aru dan Maluku Tenggara Barat yang wilayahnya berbatasan dengan Maluku Tenggara.

Perahu ini digunakan untuk mencari ikan, mengangkut rumput laut, atau mengangkut hasil bumi seperti kopra. Selain itu juga, perahu ini digunakan untuk mengangkut penumpang dan barang-barang kebutuhan pokok.

Suku Sekak dan Warisan Falsafah Agar Tidak Serakah ketika Melaut

Walau wujudnya terus berubah-ubah, tetapi filosofinya selalu dijaga turun-temurun. Perahu oleh masyarakat Kei dimuliakan seperti martabat perempuan. Di kalangan mereka dikenal filosofi wiman dit dengan perahu.

“Artinya membuat perahu harus baik-baik serta dijaga dan dirawat baik-baik agar pengguna perahu pun ikut terjaga,” kata Max.

Biasanya Max akan menjual perahu dengan tarif Rp2 juta - Rp10 juta sehingga bisa menghidupi keluarganya. Tetapi kini produksinya mulai terbatas karena bahan kayu semakin sulit dan mahal.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini