Lantunan Syair Orang Sawang untuk Harmonisasi dengan Para Penghuni Laut

Lantunan Syair Orang Sawang untuk Harmonisasi dengan Para Penghuni Laut
info gambar utama

Orang Sawang yang hidup di Pulau Lingga, Provinsi Kepulauan Riau memiliki sebuah lagu yang berjudul Gajah Menunggang. Syair ini memiliki struktur layaknya sebuah pantun yang mengambil metafora terkait keberadaan ikan besar berbentuk seperti gajah.

“Ikan “berbelalai” dan “bertaring” ini dipercayai benar-benar ada. Mereka menyebut hewan laut -oleh masyarakat pada umumnya dianggap hanya mitos- tersebut sebagai gajah mina,” ucap KEN dalam Tradisi Muang Jong: Riau Menjaga Keseimbangan Alam yang dimuat Kompas.

Hal inilah yang terasa dari Mak Una, yang melantunkan beberapa nyanyian khas orang Sawang itu. Ketika melantunkan lagu yang menggetarkan hati itu, Mak Una terlihat berkaca-kaca.

Suku Sekak dan Warisan Falsafah Agar Tidak Serakah ketika Melaut

Layaknya cerita lumba-lumba yang kerap menolong para nelayan saat terkena musibah di laut, gajah mina pun demikian. Setelah terapung-apung di laut lepas, gajah minalah yang diharapkan mau menyediakan diri jadi tunggangan orang Sawang.

“Bait-bait lagu itu juga berisikan ratapan, doa, dan harapan yang merefleksikan kesedihan akan musibah yang menimpa kerabat mereka sesama Orang Sawang,” paparnya.

Sejatinya, beberapa nyanyian komunitas suku laut yang ada di wilayah perairan Kepulauan Bangka Belitung ini hanya dimunculkan ketika acara ritual tertentu. Salah satunya adalah upacara Muang Jong yang dilakukan setahun sekali.

Tetapi menurut KEN, mulai berjalannya waktu dan adanya persentuhan dengan orang darat, tabu-tabu tersebut mulai menipis. Beberapa bagian dari rangkaian ritual tersebut masih bisa dihadirkan ke khalayak luar, bahkan dipanggungkan di luar upacara sakral.

Sedekah laut

Orang Sawang mempercayai suatu kisah tentang kerabat mereka yang tengah berada di laut lepas tetapi terkena musibah. Ketika itu ombak bergulung-gulung yang disertai hujan badai tengah membalikkan perahu mereka.

Setelah berminggu-minggu terapung, akhirnya pertolongan itu datang melalui penjelmaan dewa-dewi yang belakangan dipercayai sebagai penguasa laut. Mereka kemudian diselamatkan ke sebuah tempat bernama gusong timur.

Salim Yan Albert Hoogstat, pemerhati budaya dan tradisi Belitung menuturkan ketika para penyelamat Orang Sawang itu menghilang, sadarlah mereka bahwa sang penyelamat tak lain adalah dewa penguasa laut.

Peran Kearifan Lokal Bantu Suku Laut Menghadapi Krisis Iklim

“Menurut yang empunya cerita, sejak itulah orang Sawang memutuskan mengadakan ritual Muang Jong dengan cara meniru bentuk jong dan ancak yang diperlihatkan kepada mereka,” paparnya.

Karena itulah, upacara Muang Jong akan berpuncak pada ritual membuang miniatur perahu/kapal berikut sesaji yang menyertainya ke laut. Kegiatan sedekah laut ini tidak hanya mengenang arwah leluhur tetapi sarana memohon perlindungan.

Kearifan lokal

Salim menyebut sebelum proses puncak pelarungan jong ke laut, ritual diawali pencarian tempat dan waktu upacara akan digelar. Setelahnya akan dilakukan komunikasi dengan penguasa laut melalui ritual khusus oleh seorang dukun.

Mulai dari proses mencari pokok pohon kayu di hutan untuk pembuatan replika jong, ancak, dan tiang yang akan dipasang di tanah lapang hingga persiapan akhir sebelum jong dibuang ke laut, beragam ritual dilakukan.

Disebutkannya hal ini dilakukan untuk mengundang roh penjaga laut dan darat yang dilakukan berkali-kali, maupun ritual yang dikemas dalam bentuk seni pertunjukan. Hal ini ditambah acara kesenian yang ditunggu-tunggu orang luar.

Mengenal Suku Laut, Pelestari Kehidupan Bahari yang Mulai Terlupakan

“Tarian dan nyanyi-nyanyian dihadirkan lebih menggambarkan sikap dan pandangan hidup mereka sehari-hari. Di dalamnya tercermin berbagai kearifan lokal yang mereka miliki,” ucapnya

Kearifan untuk menjaga keharmonisan hidup misalnya tercermin dari salah satu rangkaian prosesi upacara Muang Jong. Sebutlah seperti dalam ritual “jual-beli” jong yang melibatkan dua pihak yakni roh halus penguasa laut dan darat.

Proses ini bersifat simbolik yang bermakna bahwa rezeki dari laut sebagaimana yang diharapkan oleh para nelayan akan terpenuhi bila manusia menerima dan tidak memusuhi laut dengan segala isinya.

“Laut dan ekosistemnya yang ada di dalamnya harus selalu dijaga,” tegasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini