Kisah Sekolah Hatta yang Jadi Pelita bagi Anak-anak Banda Neira

Kisah Sekolah Hatta yang Jadi Pelita bagi Anak-anak Banda Neira
info gambar utama

Pada akhir abad ke 19, Banda Neira jadi tempat pengasingan para tokoh politik bumiputera. Kedatangan empat tokoh politik pada periode 1928 - 1942 yakni Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri, dan Dr Tjipto Mangunkusumo berikan warna lain.

“Keempatnya melalui organisasi masing-masing, berjuang membangkitkan kesadaran akan sebuah bangsa yang baru, yang bebas dari kolonialisme,” jelas BI Purwanti dalam Jejak Nasionalisme Banda: Semua Penduduk Tahu Dulu Ada Sekolah yang Dibikin Hatta dan Sjahrir dalam Kompas.

Peran Orang Kaya dalam Perdagangan Rempah di Banda Neira Maluku

Diketahui Hatta dan Sjahrir dibawa ke Banda Neira dari tempat pembuangan sebelumnya yakni Boven Digoel, Papua. Mereka ditangkap karena melakukan pendidikan politik kader melalui organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru).

Sementara itu Iwa K Sumantri bersama dengan Hatta dan Sjahrir mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1920-an. Dokter Tjipto merupakan salah satu pendiri Indische Partij yang memperjuangkan kemerdekaan politik.

Mendirikan sekolah

Dijelaskan oleh BI Purwanti, keempatnya dilarang melakukan kegiatan politik. Meskipun demikian, ruang gerak yang ada digunakan oleh mereka untuk melawan pengaruh kolonial atas penduduk lokal.

Misalnya Iwa K Sumantri dan Sjahrir memberikan bantuan hukum bagi penduduk terutama berkaitan dengan hak atas tanah. Hatta membantu anak muda lokal membentuk gerakan koperasi Persatuan Banda Neira di antara para petani.

Sementara itu Dokter Tjipto selalu bersedia mengobati orang yang sakit. Kehadiran mereka saat itu mengisi sepenggal ruang di dalam memori kolektif masyarakat lokal dan membangkitkan kembali kesadaran sebagai sebuah bangsa terjajah.

Fakta Menarik Pulau Banda Neira, Surga di Timur Indonesia

“Bagi saya, Hatta dan Sjahrir adalah merah putih. Mereka pernah minta orang kampung membuat kole-kole (sampan). Sjahrir lalu minta agar bagian bawah dicat dengan warna merah dan putih di bagian atas,” kenang Farid Sabhan.

Hatta dan Sjahrir kemudian mengisi hari-hari mereka di Banda Neira dengan berkegiatan bersama anak-anal. Selain bermain, naik perahu mengelilingi Pulau Neira, Gunung Api ataupun Banda Besar mereka juga menyelenggarakan sekolah di rumah Hatta.

“Sekolah Hatta-Sjahrir ini terus dikenang hingga saat ini dan area tempat belajar tetap dipelihara,” ucapnya.

Sekolah Hatta

Des Alwi yang merupakan putra Banda yang mengalami masa-masa bersama Hatta dan Sjahrir selama di pengasingan menulis di dalam bukunya Friends and Exiles. Disebutnya sekitar 20 anak kerap mengikuti sekolah siang.

“Sebagian besar adalah cucu keluarga Baadilla. Ada juga anak keluarga Om Tjip, Donald, dan Louis serta Husein dan Tjahti Maskat, anak-anak dari mantan kapten kapal pencari mutiara dan beberapa orang Banda yang tidak mendapat kesempatan sekolah lanjutan di Ambon, Makassar, atau Jawa,” tulisnya.

Salah satu kemewahan yang bisa dinikmati kaum eksil di Banda Neira adalah diperbolehkan membeli buku-buku bahkan dari negeri Belanda. Keduanya banyak membeli buku untuk anak-anak di sana.

Mengenal 4 Kawasan Konservasi Perairan Maluku yang Baru Diresmikan

Rumah bekas keempat tokoh nasional ini kemudian jadi museum yang sebagian dikelola bersama oleh Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira yang didirikan oleh Des Alwi dan keluarga Hatta.

“Saat ini, anak-anak kelas 1-3 SD di Banda Neira diajak berkunjung ke situ sehingga hampir semua penduduk tahu dulu ada sekolah yang dibikin Hatta dan Sjahrir di sini,” jelas Iqbal Baadila, warga Banda Neira.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini