UGM dan Genosida Intelektual 1965

UGM dan Genosida Intelektual 1965
info gambar utama

1965 adalah tahun yang sangat kelam bagi Indonesia. Bukan saja masalah kudeta-kudetaan saja yang narasinya kerap diulang setiap 30 September, tetapi juga pembantaian yang menyertainya jua.

Trauma sejarah masyarakat Indonesia ini diperkirakan telah memakan 500 ribu sampai bahkan 2 juta korban jiwa yang belum tentu “komunis” dan “bersalah”. Mereka dibantai tanpa pandang bulu, sehingga peristiwa ini dianggap sebagai genosida oleh masyarakat dunia.

Genosida Intelektual

Genosida ini terjadi di banyak tempat dan sektor, tak elak juga terjadi di lingkungan universitas. Sejarawan UGM Dr. Abdul Wahid melakukan penelitian dampak G30S di 10 universitas di Indonesia menemukan 299 dosen dan 3.464 mahasiswa ditahan, hilang, atau bahkan tewas selama periode genosida itu.

Di antara semua universitas itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) yang persentasenya paling tinggi dengan total 115 dosen dan 3.006 mahasiswa. Para intelektual yang hilang ini dianggap sebagai intelektual kiri atau berafiliasi dengan PKI. Oleh Abdul, peristiwa ini disebut sebagai Genosida Intelektual.

Abdul menyebut tragedi itu sebagai Genosida Intelektual karena satu generasi intelektual, yaitu generasi 1950-an, hilang akibat pembantaian itu. Sementara banyak intelektual yang dibunuh, mereka yang sedang berada di luar negeri karena mendapatkan beasiswa dari Soekarno enggan pulang karena takut ditangkap. Mereka menjalani hidupnya sebagai eksil.

Baca juga: Mahasiswa UGM Mengakselerasi Kualitas Pendidikan melalui Kombinasi Ilmu Pengetahuan

Menurut, Prof. Dr. Ichlasul Amal, guru besar Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, sebagaimana dikutip oleh Balairung Press, genosida intelektual tersebut ditandai dengan semakin memanasnya situasi politik di UGM pasca kup G30S. Pada waktu itu, UGM menjadi sarangnya mahasiswa dan dosen yang simpatik dengan paham kiri. Walaupun begitu, tidak semuanya berafiliasi dengan PKI. Sebab itu pula, UGM memiliki julukan “Kampus Sosialis”.

Ketegangan memuncak antara mereka yang anti-Soekarno dan pro-Soekarno. Tidak jarang, terjadi bentrokan di antara dua kubu itu. Pun, pendirian UGM juga tidak jelas yang waktu itu dipimpin oleh Rektor Prof. Herman Johannes. Oleh sebab itu, mahasiswa melakukan demonstrasi menuntut ketegasan sikap UGM.

Dalam periode 1965-1966 itu pula keluar sebuah instruksi Menteri PTIP No. 02/Dar/1965 yang memerintahkan pembekuan organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Permihi) yang berafiliasi dengan PKI.

UGM menindaklanjuti instruksi itu dengan mengeluarkan beberapa SK yang memerintahkan pemecatan dan penangkapan dosen dan mahasiswa yang dianggap berafiliasi dengan PKI dan membekukan organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Mereka yang tertangkap jelas tidak dapat melanjutkan kuliah lagi atau drop out (DO), sementara yang lebih tidak beruntung dihilangkan paksa.

Baca juga: Saksi Mata: Menyaksikan "Pendudukan" Sekolah-sekolah Tionghoa Pasca G30S/PKI

Ketiadaan Rekonsiliasi

Rektor baru UGM yang menggantikan Herman pada 1966, drg. Nazir Alwi mengubah orientasi UGM secara total. Dari universitas yang terkenal dengan haluan kiri-nya”, UGM menjadi universitas yang haluannya sesuai dengan pemerintahan Orde Baru.

Dari universitas berjulukan “Kampus Sosialis”, UGM mengubah julukannya menjadi “Kampus Kerakyatan” untuk menghaluskan julukan sebelumnya yang bernada ideologis. Upaya ini dilakukan untuk menjaga image UGM, terutama dalam bidang keilmuan.

Dalam pidato menyambut hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1966, Nazir menekankan bahwa UGM harus menjadi cermin kecermelangan Orba. UGM pun kembali membuka kerja sama dengan berbagai pihak di dunia Barat yang sebelumnya tidak diperkenankan oleh pemerintahan Orde Lama.

Sebagaimana pemerintah Indonesia sendiri yang belum menyelesaikan secara total trauma sejarah tersebut dengan rekonsiliasi, UGM pun juga sama. Sampai sekarang, belum ada permintaan maaf pada korban dan upaya rekonsiliasi sama sekali.

Mahasiswa yang mendapat DO atau dosen yang dipecat belum mendapatkan rekognisi dan pemulihan hak sama sekali. Perlu diadakannya upaya rekonsiliasi sejarah untuk memberikan keadilan pada korban yang tidak bersalah.

Referensi:

  • https://historia.id/politik/articles/kerugian-nasional-akibat-genosida-politik-1965-1966-P1B7K/page/4
  • https://www.balairungpress.com/2018/03/genosida-intelektual-ugm-dalam-bayang-tragedi-65/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LG
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini