Disinhibition Effect: Dua Sisi Manusia Lintas Maya dan Nyata

Disinhibition  Effect: Dua Sisi Manusia Lintas Maya dan Nyata
info gambar utama

Apa alasan Kawan begitu lama berpikir sebelum akhirnya mengunggah konten di media sosial?

Apakah di antara Kawan ada yang berpikir bahwa konten yang dimuat harus memberikan kesan bahwa sebenarnya diri Kawan adalah orang yang sangat produktif, cinta lingkungan, ramah, atau peduli terhadap sesama?

Tak jarang kita menemukan individu di media sosial yang terlihat selalu rajin mengerjakan tugas, belajar hingga larut malam, dan melakukan aktifitas produktif lainnya, tetapi kenyataanya berbanding terbalik di dunia nyata.

Mengutip pendapat John Suler dalam jurnalnya yang berjudul The Online Disinhibition Effect tentang fenomena di atas yakni “How people say and do things in cyberspace that they wouldn’t ordinarily say and do in the face-to-face world” bisa disebut sebagai ‘disinhibiton effect’.

Mudahnya, fenomena ini merupakan kondisi dimana individu mengatakan atau melakukan sesuatu hanya di dunia maya dan tidak melakukannya di dunia nyata. Kondisi ini juga yang menggambarkan istilah umum yang dikenal Kawan GNFI sebagai aksi pencitraan.

Pernahkah terbayang oleh kawan, apa motif individu lain atau bahkan Kawan sendiri melakukan hal tersebut?

Baca Juga: Solusi untuk Penyiaran di Perbatasan, Perizinan Siaran Dipermudah

Dissociative Anonymity

Penggalan lirik lagu milik grup musik Smash “You know me so well …” nampaknya berbanding terbalik dengan kondisi permainan media sosial saat ini. Bagaimana tidak, siapa saja bisa menjadi apa saja.

Setiap orang bisa bergabung di dunia maya tanpa menggunakan identitas asli mereka (anonym) bahkan menggunakan identitas lain. Peluang inilah yang dimanfaatkan sebagian orang untuk melakukan hal yang terkadang buruk tanpa takut menerima dampaknya.

Sederhananya adalah kasus penipuan daring yang beberapa kali mengatasnamakan artis-artis besar atau orang terkenal sebagai pihak pemberi atau penawar hadiah.

Invisibility

Kehadiran individu yang berinteraksi melalui dunia maya terutama layanan pesan daring yang kehadirannya tidak terlihat memiliki dampak di dua sisi kehidupan.

Pertama secara positif, keadaan ini memberikan peluang untuk seseorang lebih berani menyampaikan pendapat, menulis opininya, atau menunjukan potensi diri yang dia miliki tanpa harus takut menghadapi ekspresi penilaian orang lain.

Namun hal ini juga memberikan konsekuensi di lain sisi. Ketidakhadiran pengguna secara fisik ini bisa menjadi peluang untuk lebih berani menghina, melecehkan, atau menghasut orang lain hanya melalui pesan ketikan saja.

Asynchronicity

Media sosial menjadi tempat kita bisa berkomunikasi dengan jangka waktu yang bisa kita atur. Apakah kita akan membalas pesan dalam kurun waktu satu jam, satu hari atau satu minggu.

Namun kita juga harus ingat bahwa seiring berjalannya waktu, kondisi mood kita juga akan selalu berubah. Dengan begitu bentuk feedback yang kita berikan kepada orang lain juga tidak bisa dipastikan akurasinya karena mood flow yang berbeda pula.

Contohnya mengetik pesan dengan penggunaan titik di akhir kalimat atau penggunaan capslock ketika bertukar pesan bisa menjadi masalah ketika kondisi mood individu sedang tidak baik.

Baca Juga: Menyambut Bangkitnya Olahraga Senam di Indonesia

Solipsistic Introjection

Media sosial pada dasarnya memberikan kita kesempatan untuk memberikan penilaian atau berimajinasi terhadap seseorang berdasarkan ekspektasi, harapan, dan kebutuhan individu kepada individu lain.

Dengan demikian Kawan bebas untuk menaruh ekspektasi terhadap artis atau idola yang parasnya hanya bisa kita jumpai di media sosial.

Dissociative Imagination

Dunia maya membuat individu seolah bermain game. Ketika ia mematikan gawai maka kegiatan atau aktivitasnya di dunia maya mampu dipisahkan dari daily routine-nya.

Padahal nyatanya ketika selesai memberikan komentar buruk kepada orang lain di media sosial diri kita menganggap semuanya selesai ketika kita keluar dari akun media sosial kita. Masalah yang akan datang setelah itu menunggu pemilik akun di dunia nyata.

Minimizing Authority

Sensasi berhubungan dengan semua orang tanpa memandang status dan latar belakang memberikan kesan bahwa semua anggota daring itu sejajar dan sama.

Kesempatan ini pula yang memberikan kita kebebasan untuk bereaksi terhadap siapapun seolah kita merupakan rekan seumuran.

Kita juga perlu bijak dalam memahami arti disinhibition effect ini karena fenomena ini terbagi ke dalam dua kategori.

Pertama benign disinhibition yang mengarah pada tindakan positif seperti mengekplorasi emosi yang dimiliki dengan menunjukan tindakan yang tidak biasa kawan lakukan.

Namun ada altering self-boundary juga toxic disinhibition yang mengarah pada ucapan kasar di media maya, tindak kekerasan, kemarahan, kebencian, bahkan ancaman yang sering kali kita temukan ketika berselancar di media sosial.

Mengetahui semua kemungkinan di atas maka mulai saat ini Kawan GNFI perlu bijak saat menjadi anggota cyberspace dengan cara mengubah batas diri kawan. Artinya, tidak masalah jika kita hanya menunjukan kehidupan yang sudah 'disortir' sebelum akhirnya mengunggahnya secara publik.

Last but not least, hal apa saja yang kita pilih untuk diperlihatkan di media sosial bisa kita anggap sebagai masker pelindung diri kita. Kita butuh masker untuk menyaring respon dan reaksi lingkungan terhadap hal yang kita unggah di media sosial.

Semakin tipis lapisan masker yang kita gunakan menandakan tingkat kesiapan yang lebih tinggi untuk menerima respon dan reaksi dari luar ke dalam diri kita, begitu pula sebaliknya.

Sumber Referensi:

Suler, J. (2004). The online disinhibition effect. Cyberpsychology & Behavior, 7(3), 321–326. https://doi.org/10.1089/1094931041291295

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MU
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini