Mengenal Karawo, Kain Khas Gorontalo yang Sudah Mencapai Negeri Sakura

Mengenal Karawo, Kain Khas Gorontalo yang Sudah Mencapai Negeri Sakura
info gambar utama

“Oleh-olehnya apa ya kalau ke Gorontalo?”

Pemikiran yang selalu muncul kala mengunjungi tempat baru ini juga berputar di pikiran mahasiswa KKN-PPM UGM Unit Batudaa Pantai pada hari-hari terakhir menjelang kepulangan. Berangkat dari rasa penasaran itu, sejumlah mahasiswa pun mencari-cari kesenian khas daerah yang sekiranya unik untuk dijadikan kenangan. Mereka pun menemukan karawo atau kerawang.

Norsi K. Moha merupakan salah satu pengrajin karawo di Desa Olimoo’o yang ditemui oleh mahasiswa KKN-PPM UGM. Ia menjelaskan bahwa karawo secara umum terbagi menjadi dua jenis, yakni karawo manila dan karawo ikat. Perbedaan dari keduanya terletak pada teknik dan jenis benang yang digunakan.

Kerajinan karawo ini terinspirasi dari kerajinan asal Belanda yang dikenal dengan kristik. Berbeda dengan kristik yang menggunakan kain khusus seperti kain strimin atau kain aida, karawo dapat menggunakan berbagai jenis kain seperti kain toyobo, sutra, sifon, linen, dan lain-lain.

Selain itu, benang yang digunakan juga berbeda. Kristik menggunakan benang wol atau sulam, sedangkan karawo menggunakan benang manila atau jahit.

Baca Juga: Menerangi Warisan Budaya: Anak-Anak Menari Tradisional demi Kelestarian Seni dan Identitas

Pembuatan karawo ini memiliki beberapa tahapan, yakni pengirisan, penyulaman atau pengikatan, dan tahapan yang disebut amango. Tahap pengirisan merupakan tahap untuk menghilangkan beberapa serat kain sehingga membentuk pola kotak-kotak kecil pada kain.

Selanjutnya, tahap penyulaman menyesuaikan dengan jenis karawo yang dibuat. Pada jenis karawo manila, proses yang dilakukan adalah menyulam kain dengan benang manila. Sementara itu, pada jenis karawo ikat prosesnya menggunakan benang jahit karena lebih kuat untuk diikat pada pola kotak-kotak.

Kemudian, pembuatan karawo difinalisasi dengan tahap amango yang merupakan kegiatan merapikan pinggir pola karawo.

Hasil kerajinan karawo bahkan diminati di Jepang | Sumber: Audie Lim Sing E
info gambar

“Pembuatan karawo ikat memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan karawo manila. Contohnya saja pada pembuatan motif karawo di jilbab, jenis karawo sulam akan menghabiskan waktu 2 hari sedangkan pada jenis karawo ikat akan menghabiskan waktu sampai 4 hari. Akan tetapi, lama pengerjaan ini juga dipengaruhi oleh kerumitan motif yang dibuat,” terang Norsi.

Tingkat kesulitan dan lama pengerjaan tentunya menjadi salah satu patokan dalam menentukan jasa pembuatan karawo. Pasalnya, karawo sendiri bisa dibuat pada berbagai produk seperti sapu tangan, syal, kemeja, dan jilbab serta dihadirkan dalam berbagai motif sehingga ada beragam jenis pesanan yang bisa dibuat.

Upah jasa yang diberikan kepada pengrajin sendiri berkisar pada rentang Rp 30.000,00 hingga Rp700.000,00 per produk. Umumnya, para pengrajin hanya membuat Karawo sesuai dengan pesanan dari para juragan yang menyediakan pola motif dan bahan sedari awal.

Salah satu pesanan terbesar yang pernah diterima Norsi sendiri adalah karawo ikat motif bentor (becak motor) dan bendi (delma) pada kain ukuran 200x90 cm dengan bahan toyobo. Karawo yang membutuhkan waktu pengerjaan sampai 1 bulan ini kemudian dikirim ke Jepang untuk dipamerkan dalam Karawo Ikat Exhibition yang diadakan di kota Kyoto dan Seiyo.

“Pesanan karawo dari Jepang sudah berjalan mulai dari akhir tahun 2021 walaupun tidak banyak tapi tetap berlanjut sampai tahun ini,” jelas Lailany, pemilik Toko Humairah Kerawang.

Baca Juga: Menyambut Bangkitnya Olahraga Senam di Indonesia

Adanya kesempatan untuk memamerkan karya dan kesenian lokal di kancah internasional tentunya merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi seorang pengrajin, termasuk Norsi yang telah mempelajari keterampilan karawo sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Sayangnya, ia juga menyampaikan bahwa minat anak muda untuk mempelajari karawo semakin menurun. Belum ada pula upaya signifikan dalam melestarikan keterampilan ini.

“Harapan saya, terdapat peran pemerintah untuk melestarikan keterampilan karawo dengan memasukkannya ke dalam pelajaran sekolah misalnya SMP,” harap Norsi.

Penulis: Audie Lim Sing E, Fakultas Teknologi Pertanian UGM

Redaktur: Geraldy Kianta, Fakultas Kehutanan UGM

Fotografer: Audie Lim Sing E, Fakultas Teknologi Pertanian UGM

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KP
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini