Urgensi Wujudkan Udara Bersih di Jakarta: Antara Kebijakan dan Realitas WFH

Urgensi Wujudkan Udara Bersih di Jakarta: Antara Kebijakan dan Realitas WFH
info gambar utama

Sudah bukan hal baru jika Jakarta dikenal sebagai salah satu kota dengan masalah serius terkait kualitas udara. Terlebih realita saat ini, di mana polusi terus berputar di langit Jakarta. Udara sesak seakan sudah lumrah ditemui sebagai konsumsi sehari-hari warga Jakarta. Tingginya polusi udara yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti kendaraan bermotor, industri, dan konstruksi telah sukses menjadikan kualitas udara di kota ini semakin memburuk.

Beberapa tahun terakhir upaya untuk mengatasi masalah ini juga tidak sedikit dilakukan, termasuk langkah-langkah seperti kebijakan Work From Home (WFH) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di DKI Jakarta yang saat ini diberlakukan kembali.

Pemberitaan tentang pemberlakuan WFH bagi ASN di DKI Jakarta seakan memberikan angin segar dalam upaya mengurangi dampak polusi udara. Langkah ini tampaknya sejalan dengan semangat untuk mengatasi masalah lingkungan yang semakin mendesak. Konsep WFH diharapkan dapat mengurangi aktivitas penyumbang kadar polusi di Jakarta.

Baca juga: Embun Beku Muncul di Dieng Selama Tiga Hari Berturut-turut, Apa Alasannya?

Namun, apakah dampak dari pemberlakuan WFH ini benar-benar signifikan terhadap penurunan polusi udara di Jakarta? Kritik mulai bermunculan terkait efektivitas langkah ini. Meskipun sejumlah ASN yang bekerja dari rumah mengurangi jumlah kendaraan di jalan, kenyataannya kemacetan lalu lintas masih menjadi masalah yang belum terpecahkan sepenuhnya.

Banyak postingan warganet yang menampilkan kondisi kemacetan Jakarta di hari pertama kebijakan WFH bagi ASN DKI Jakarta (21 Agustus 2023) seperti yang dilansir pada akun instagram @jktinfo perihal kondisi kemacetan di jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Postingan lain melansir dari akun Twitter @aminbukid yang menyindir soal indeks kualitas udara Jakarta lewat bukti screenshotIQAir.com yang menunjukkan data kualitas udara yang tidak sehat.

Baca juga: Kualitas Udara Menurun di Jakarta, Mengapa?

Komentar-komentar negatif juga bermunculan mempertanyakan latar belakang kebijakan WFH dan efektivitasnya, karena kenyataannya sebagian besar wilayah Jakarta masih mengalami kemacetan yang parah, sehingga emisi gas buang dari kendaraan tetap tinggi. Lalu, apakah dengan hal ini dapat mengurangi polusi udara?

Menyoroti fokus dari kebijakan Pemprov DKI Jakarta, terkesan hanya pada aspek lalu lintas saja dan secara tidak langsung menutup mata pada akar permasalahan, seperti pengendalian industri dan pemantauan emisi dari sumber-sumber besar lainnya.

Berdasarkan Pergub No. 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah yang Berketahanan iklim, Pemprov DKI Jakarta melakukan upaya mitigasi untuk mewujudkan target penurunan emisi gas rumah kaca di Wilayah DKI Jakarta dengan penetapan target pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dan penambahan Serapan Gas Rumah Kaca untuk mencapai tingkat emisi 30% (tiga puluh persen) di bawah Dasar Pengukuran pada tahun 2030; menetapkan target 50% (lima puluh persen) di bawah Dasar Pengukuran pada tahun 2030; dan menetapkan net zero emission pada tahun 2050.

Pada pelaksanaannya, Pemprov DKI Jakarta melalui Kegiatan Strategis Daerah berfokus dalam Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup, beberapa upaya diantaranya, implementasi rencana aksi mitigasi dan adaptasi bencana iklim, implementasi rencana aksi Pengendalian pencemaran udara, dan Peningkatan rasio dan persebaran Ruang Terbuka Hijau dengan integrasi infrastruktur hijau - biru.

Dalam hal ini, upaya Pemprov DKI Jakarta bukan hanya sekedar tentang rencana besar, melainkan tentang komitmen dan aksi nyata untuk Jakarta yang sehat, di mana ketika udara dihirup bukan lagi soal beban tetapi harapan untuk masa depan yang gemilang.

Penting untuk diakui bahwa kebijakan WFH tidak bisa menjadi solusi tunggal dalam mengatasi polusi udara yang kompleks. Perubahan nyata membutuhkan pendekatan holistik, melibatkan berbagai sektor termasuk transportasi, industri, dan tata ruang kota.

Baca juga: 9 Upaya Mitigasi dan Resolusi Peningkatan Emisi Karbon di Udara

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih komprehensif untuk mengurangi polusi udara, seperti peningkatan penerapan teknologi ramah lingkungan, promosi transportasi publik yang efisien, serta pengawasan ketat terhadap sumber-sumber polusi.

Warga Jakarta juga perlu berpartisipasi aktif dalam mengurangi polusi udara, misalnya dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi ramah lingkungan seperti berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan kendaraan umum.

Selain itu, dengan mendukung program penanaman pohon dan pemeliharaan taman kota, atau menghindari pembakaran sampah dan bahan bakar fosil yang tidak efisien, dan menggunakan produk ramah lingkungan dan hemat energi, serta secara aktif mengedukasi dan melibatkan komunitas dalam upaya kolektif untuk menjaga kualitas udara dan lingkungan yang lebih baik.

Dengan kolaborasi positif antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, Jakarta masih punya harapan untuk menjadi kota yang lebih hijau dan berkelanjutan. Alih-alih hanya bergantung pada kebijakan WFH, perlu adanya upaya bersama dalam menciptakan lingkungan yang sehat dan udara yang bersih. Karena semua hal besar pasti selalu lahir dari satu langkah kecil.

Mari kita dukung setiap langkah menuju udara bersih dengan lebih bijak dan mendukung inisiatif ramah lingkungan, serta berkontribusi dalam mengawasi implementasi kebijakan yang berdampak pada kualitas lingkungan kita.

Sumber referensi:

  • https://twitter.com/aminbukid/status/1693478107817361887?t=k5W8IlQudbEPTnBbCSdHJg&s=08
  • https://www.instagram.com/p/CwMBaWGvFlM/?igshid=MTc4MmM1YmI2Ng%3D%3D

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini