Sumatra Utara, khususnya Kota Medan telah terkenal dengan pluralismenya, mulai dari agama hingga etnis. Hal ini menjadi wajar karena sejarah Medan sebagai titik temu dari berbagai golongan yang tinggal dan berinteraksi.
Dilihat dari Kompas, pluralismenya ini terlihat pada perayaan Imlek yang biasanya diadakan di Maha Vihara Maitreya Medan. Ribuan warga etnis China akan datang untuk bersembahyang hingga menonton hiburan dari barongsai dan lampion.
Mulai 18 Mei, Tarif Tol Medan-Binjai Naik hingga Dua Kali Lipat
Di saat bersamaan, ribuan warga dari berbagai etnis dan agama juga datang ke Vihara terbesar di Asia Tenggara itu. Mulai dari Jawa, Batak, Melayu, Islam, Kristen, Katolik, Buddha hingga Hindu ikut menikmati suasana.
Ada juga sekelompok remaja berjilbab yang berdiri berjajar menjadi penerima tamu. Sejumlah santri dari Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru ini menyatakan ingin belajar hidup rukun.
“Di sini semua ada, dari Sabang sampai Merauke. Kami belajar bersama dan hidup rukun,” ucap salah satu santri.
Kota pluralis
Dalam catatan sejarahnya, Belanda berinisiatif membangun kota dan peradaban di tengah lahan kosong yang kelak dinamai Medan pada awal abad ke 16. Desain kota ini dibuat dengan mendatangkan orang Jawa, China, Melayu dan Sigh.
Sejarawan Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari menyebut Belanda mendatangkan etnis ini karena keahliannya. Misalnya orang Sigh berikut sapinya untuk memenuhi kebutuhan akan susu.
15 Oleh-Oleh Khas Medan Paling Populer
Hal ini menyusul orang China yang diperkerjakan sebagai buruh di bidang angkutan. Sedangkan Suku Jawa banyak bekerja sebagai buruh perkebunan atau bidang kesehatan dan pendidikan.
“Belanda menjadi katalis dan proses ini. Belanda memasukan nilai-nilai internasional di Kota Medan yang lebih bercorak egaliter,” ucap Ichwan.
Mengelola konflik
Karena itulah, jelas Ichwan, Belanda sangat mengelola konflik yang bisa terjadi di Kota Medan. Upaya ini cukup berhasil bila melihat banyak priyayi Jawa yang tak segan minum kopi bersama di warung kopi dengan rakyat jelata.
“Padahal di Jawa saat itu feodalisme sangat kuat,” paparnya.
Kendaraan Umum di Kota Medan Perlu Perhatian
Karena itulah, hingga kini tak ada budaya yang dominan di Medan. Ketika orang Jawa bertemu sesama Jawa, mereka berbicara bahasa Jawa. Sementara bila orang China bertemu China akan berbicara bahasa mandarin.
Walau interaksi sosial antar suku dan agama selalu dinamis. Tetapi interaksi warga Medan begitu lentur sehingga tak sampai putus dan pecah konflik. Dalam konteks ini masing-masing kelompok memiliki filosofi dan kearifan sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News