'Untung' Dalam Melestarikan Kebudayaan

'Untung' Dalam Melestarikan Kebudayaan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Sebagai warga Indonesia yang terlahir di keluarga bersuku Tionghoa, tentunya saya sudah akrab dengan segala tetek-bengek mengenai adat istiadat yang dimiliki oleh suku kami. Terlebih setelah kami sekeluarga memutuskan untuk merantau ke kota Medan, yang dikenal dengan lengketnya kebudayaan Chinese. Cina Medan, begitu biasa orang-orang memanggil, memiliki keakraban yang sangat kental dengan adat istiadat serta kebudayaan Chinese, sama seperti para warga suku Tionghoa yang yang berada di Kalimantan, terutama Singkawang. Dan saya beserta dengan keluarga saya yang notabene berasal dari Pulau Jawa yang tidak begitu terikat dengan banyaknya kebudayaan dari suku Tionghoa, menjadi sentimen sendiri sekarang-sekarang ini apabila ada salah satu adat istiadat yang dilanggar atau tidak dipatuhi. Salah satu kebudayaan suku Tionghoa yang sangat terkenal di seluruh dunia adalah memakai pakaian berwarna merah untuk menarik hoki/keberuntungan.

Merah tidak hanya berarti bagi bangsa Indonesia semata sebagai perlambang keberanian dalam menumpas penjajahan. Merah juga mempunyai arti lebih yang mendalam bagi kami, suku Tionghoa. Merah menandakan keberuntungan. Merah berarti menarik hal-hal baik untuk masuk ke dalam kehidupan. Maka dari itu, setiap Hari Raya Imlek/Tahun Baru Cina datang, kami yang merayakan, akan memakai pakaian baru berwarna merah sebagai awal yang baru dan baik dalam menjalankan kehidupan. Kami juga percaya bahwa dengan mengenakan pakaian berwarna merah bisa memancing rejeki dan keberuntungan lainnya di sepanjang tahun.

Selain itu, memakai pakaian berwarna merah juga diyakini dapat mengusir roh-roh jahat yang bisa menganggu ketenteraman manusia. Maka dari itu pula, Angpau/red pocket/amplop merah yang terbuat dari kertas juga identik dengan warna merah yang melekat pada dirinya. Dengan isi beragam nominal uang, Angpau dipercaya bisa memberi kesuksesan dan kesejahteraan kepada penerimanya. Ini juga yang akhirnya memunculkan sebuah larangan di kebudayaan Chinese untuk tidak memakai pakaian berwarna hitam dan putih, ketika Hari Raya Imlek tiba. Mengenakan pakaian berwarna hitam dan putih diyakini bisa mendatangkan hal-hal buruk dan juga malapetaka sepanjang tahun itu. Itu karena warna hitam dan putih juga identik dengan warna yang dipakai pada saat acara duka/melayat.

Melacak Mitos Aji Saka Sebagai Pembangkit Kebudayaan Jawa

Namun ternyata, bukan hanya pada saat Hari Raya Imlek semata kami mengenakan pakaian berwarna merah ini. Di hari-hari raya Chinese lainnya, seperti Cap Go Meh/hari kelima belas setelah Hari Raya Imlek, juga sangat dianjurkan untuk mengenakan pakaian berwarna merah. Apakah hanya sampai di situ saja? Tentu tidak. Bahkan, warna merah juga sangat identik dengan pernikahan suku Tionghoa. Seperti di Hari Raya Imlek yang menganggap bahwa warna merah akan mendatangkan hal-hal baik di sepanjang tahun, maka demikian halnya dengan mengenakan warna merah di acara pernikahan, entah sebagai pengantin atau tamu. Mengenakan merah pada saat pernikahan juga dianggap dapat melancarkan segala prosesi dalam pernikahan, dan melanggengkan hubungan pengantin sampai maut memisahkan. Maka, tidak heran pula, bila dari gaun pengantin sampai dengan dekorasi acara pun akan terlihat sekali warna-warna merah yang menghiasi setiap sudutnya.

Tidak hanya identik dengan warna merah semata. Para suku Tionghoa, terutama yang berada di kota Medan, sangatlah identik dengan bahasa-bahasa yang ada di dalam berbagai klan lainnya dalam suku Tionghoa, seperti Khek, Hokkian, Tiociu, dan lainnya. Yang paling terkenal tentunya Hokkian sebagai bahasa daerah bagi suku Tionghoa di Medan. Bahasa Hokkian sendiri mirip dengan Bahasa Mandarin pada umumnya, yang mempunyai pelafalan sama dengan intonasi yang berbeda. Misalnya saja kata 'sui' yang bisa bermakna cantik atau asam.

Salah intonasi saja sudah bisa berbeda makna bagi orang yang mendengarnya. Kalimat "Lu ane sui" bisa bermakna "Kamu cantik sekali" atau "Kamu asam sekali". Bisa kacau ceritanya kalau sampai salah paham begini, Kawan GNFI. Inilah yang membuat kebudayaan Chinese khususnya di kota Medan menjadi lebih semarak dan khas dengan adanya bahasa-bahasa lain yang sudah mendominasi, seperti Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang utama, dan Bahasa Batak yang dikuasai oleh suku Batak yang tak kalah banyaknya di Medan.

Lalu, bagaimana cara saya melestarikan kebudayaan suku Tionghoa yang indah ini? Saya sendiri sempat merantau ke Jakarta selama beberapa tahun untuk bekerja. Dan saya juga mengetahui bahwa suku Tionghoa di pulau Jawa, terutama Jakarta, tidaklah fasih berbahasa Chinese seperti suku Tionghoa di kota Medan dari orang tua saya yang notabene juga berasal dari pulau Jawa. Maka dari itu, saya menggunakan kesempatan ini untuk mengajarkan beberapa kosakata Bahasa Hokkian kepada rekan-rekan di tempat saya bekerja, sekaligus memperdengarkan mereka cerita mengenai tradisi-tradisi yang biasa dilakukan suku Tionghoa di Medan, seperti perayaan besar-besaran pada saat Hari Raya Imlek dan Cap Go Meh.

Saya mempraktikkan sendiri beberapa kalimat yang sering saya gunakan ketika berbicara dengan teman-teman saya di Medan dan ternyata, mereka pun ikut antusias dan berusaha menirukan perkataan saya dan menghapalnya. Sebagai informasi, Bahasa Hokkian sendiri walaupun berbeda dengan Bahasa Mandarin, namun dapat digunakan ketika berkomuniaksi di beberapa negara Asia, seperti Malaysia, Singapura dan Cina. Tentunya, selain mengajarkan salah satu kebudayaan Chinese, saya juga ikut andil dalam mengajarkan mereka satu bahasa daerah lainnya.

Makin Banyak Panen Prestasi, Masyarakat Kian Optimis Akan Sektor Pendidikan dan Kebudayaan

Dan keuntungan yang saya dapat ketika melestarikan kebudayaan suku Tionghoa ini adalah menambahnya pemasukan di kantong saya dari rekan-rekan kerja saya yang membutuhkan penerjemah ketika mereka sedang berada di negara Asia yang saya sebutkan tadi atau ketika mereka membutuhkan bantuan untuk berkomunikasi dengan orang yang berasal dari Cina. Entah itu mendapat oleh-oleh atau beberapa perak rupiah sebagai tambahan uang jajan. Sudah melestarikan kebudayaan, beruntung pula. Mungkin ada teman-teman pembaca yang ingin belajar Bahasa Hokkian juga? Saya siap mengajari.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

CC
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini