Penyurong: Kuliner Langka Dari Belitong

Penyurong: Kuliner Langka Dari Belitong
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Sobat GNFI tentunya tahu Belitong, yang kian dipopulerkan oleh Andrea Hirata dalam novel atau film Laskar Pelangi. Sebenarnya, nama Belitong merupakan nama lokal Pulau Belitung, salah satu pulau penghasil timah, bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Di pulau ini terdapat kuliner yang terbilang unik, tetapi langka untuk dijumpai di masa kini. Kuliner tersebut adalah penyurong, ada juga yang menyebutnya dengan surong-surong. Konon, nama tersebut diambil oleh proses memanggangnya yang desurong-surong (disorong-sorong) dan diputar-putar pada bara api.

Sejarah Ringkas Penyurong

Keberadaan penyurong berkaitan dengan tradisi berladang pindah masyarakat Melayu Belitong masa lampau, yaitu beume betaun. Dalam berladang, mereka tidak hanya menanam padi tegalan tetapi juga singkong, baik pada lahan tanam khusus atau dengan cara tumpang sari pada tanaman padi. Terdapat beberapa varietas lokal singkong yang dikenal masyarakat seperti mentega, empat bulan, ruti, yang paling enak adalah ruti pelandok.

Alasan ditanamnya singkong, adalah sebagai bahan makanan alternatif, pengganti beras ketika panen padi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan alasan lainnya, adalah untuk menjaga ketersediaan bahan makanan yang dapat diolah menjadi berbagai penganan.

Dua alasan tersebut, melekat pada penyurong, dalam penuturan Nasidi, Pegiat Budaya Belitung Timur menyebutkan, “penyurong memiliki dua fungsi yaitu, sebagai pengganti nasi jika beras terbatas karena belum panen atau karena gagal panen dan sebagai penganan atau makanan selingan peladang ketika menjaga ladang”.

Dalam membuatnya, peladang jarang melakukan seorang diri, biasanya bersama-sama. Dalam proses tersebut terjadi interaksi sesama peladang, berkisah, bersenda gurau dan saling tukar pengalaman sehingga mempererat hubungan sosial di antara mereka.

Sayangnya, seiring waktu berlalu, tradisi beume betaun semakin pupus bahkan terancam punah, tak banyak orang melakukannya. Hal ini menyebabkan jauh berkurangnya varietas singkong di masa lalu. Hingga akhirnya, kondisi ini berpengaruh besar terhadap penyurong, belum lagi gempuran makanan dari budaya asing yang lebih dianggap kekinian, sehingga menggerus keberadaan penyurong di tengah kehidupan masyarakat.

The Smilling Old Women, Kolaborasi Seniman Teater Indonesia dan Jepang

Bahan Penyurong

Bahan utama penyurong adalah singkong dalam kondisi yang baik, cirinya berupa dagingnya berwarna putih, tidak terdapat bercak kuning, kecoklatan atau jamur berwarna hitam. Selain itu, juga bersifat besaguk yang ditandai dengan keluarnya cairan yang agak kental ketika diparut atau setelah direndam. Kondisi tersebut akan yang melahirkan rasa gurih dan dapat merekatkan merekat sempurna pada kayu.

Selain singkong, bahan lain yang digunakan adalah garam. Berfungsi untuk memberi rasa asin dan memperkaya cita rasa khas singkong yang agak asam terutama akibat fermentasi.

Hasil parutan singkong sebagai bahan penyurong
info gambar

Proses Pembuatan Penyurong

Dalam pembuatan penyurong memerlukan kayu basah berukuran kecil dengan panjang sekitar 75 cm dari berbagai jenis pohon, seperti Putat dan Kandis (Garcinia xanthochymus). Mendekati bagian ujung kayu dikupas bersih, untuk menempelkan bahan sebelum dipanggang.

Dalam penyiapan bahan penyurong, singkong dapat terlebih dahulu di rendam semalaman dengan menggunakan karung pada air yang mengalir. Sedangkan, cara lainnya yang lebih mudah dengan cara diparut. Kedua cara ini, akan menghasilkan bahan yang berbeda. Cara yaitu singkong potong tipis sekitar 3 mm, kemudian direndam. Cara ini akan membuat daging singkong menjadi lebih lumat dan mudah dikepal-kepalkan pada kayu, sedangkan diparut agak sulit dan mudah terlepas dari kayu.

Bahan penyurong yang dikepal-kepalkan pad ujung kayu
info gambar

Setelah bahan siap maka langkah berikutnya adalah diberi garam secukupnya, kemudian diaduk hingga garam larut merata.

Koteka Papua, Pakaian Tradisional yang Punya Nilai Sosial dan Budaya Kaya

Bahan kemudian dikepal-kepalkan pada ujung kayu, sambal diremas-remas untuk mengurangi air, tetapi jangan sampai terlalu kering. Dalam tahapan ini butuh kehati-hatian, jika bahan tidak merekat maka bahan akan terlepas.

Kemudian dilakukan pemanggangan pada bara api, diputar-putar hingga matang merata. Dalam proses pemanggangan hanya membutuhkan panas dari bara api, sehingga perlu menjaga supaya bara tidak mengeluarkan api.

Setelah penyurong matang dengan berwarna kuning kecoklatan yang merata dan tidak ada lagi berwarna putih, maka penyurong diangkat dan dapat disajikan. Sebagai pelengkap dapat menggunakan ikan asin dan madu.

Suasana pembuatan penyurong oleh Komunitas Tebat Rasau
info gambar

Penyurong Sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia

Pada tahun 2021 penyurong telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia. Hal ini tentu sangat menggembirakan, tetapi dalam kondisinya yang terus dalam keterancaman akan kepunahan maka langkah strategis dalam pemajuannya perlu untuk dilakukan.

Pada saat ini, pemajuan penyurong masih dilakukan pada tahap pelindungan, sedangkan pengembangan belum maksimal. Pemanfaatan sebagai atraksi wisata, belum juga berjalan baik, begitupula dengan pembinaan Komunitas Tebat Rasau sebagai pegiat yang menjaga keberlangsungannya.

Pemajuan penyurong, tidak hanya menjaga keberlangsungannya, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap aspek sosial dan ekonomi pelestarinya. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam menjaga eksistensi penyurong sehingga dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Tingkatkan Produksi Kepiting soka, Unair Lakukan Pelatihan Modifikasi Pakan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AG
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini