Serangga dan Kekuatan Budaya Lokal Orang Sunda

Serangga dan Kekuatan Budaya Lokal Orang Sunda
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Ribuan serangga tiba-tiba memenuhi sepanjang jalan Diponegoro, Gedung Sate hingga Dago. Kupu-kupu, odeng (lebah), kararangge (semut rangrang), simeut (belalang), titinggi (kaki seribu), dan juga congcorang (belalang sembah) berkumpul, berparade, dan bersuka cita memenuhi jalanan kota Bandung dalam pesta karnaval serangga yang dipimpin oleh seekor papatong (capung).

Ya, ribuan serangga itu bukanlah binatang dalam arti sesungguhnya melainkan warga kota dan kabupaten dari berbagai wilayah Jawa Barat. Sedangkan capung adalah Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang telah habis masa jabatan pemerintahannya di tahun 2023 ini. Mereka semua ikut meramaikan Pekan Kebudayaan Daerah Jawa Barat menggunakan kostum unik dan kreatif berbagai jenis spesies serangga bertema ‘Kebudayaan untuk Merawat Bumi’, Insect of West Java (Serangga dalam Kekuatan Budaya Lokal di Jawa Barat). Berasal dari 27 kota/kabupaten, karnaval serangga yang diikuti sekitar 2.097 orang di acara West Java Festival tersebut menjadi momen besar ekspresi seni budaya dan kearifan lokal orang Sunda yang sangat kaya di Jawa Barat. Dalam acara tersebut mereka juga meresmikan sebanyak 54 kebudayaannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Jawa Barat.

Tema Insect of West Java dalam pekan Kebudayaan Jawa Barat sendiri rupanya membawa pesan filosofis penting dimana masyarakat Sunda di Jawa Barat diharapkan bisa lebih menghargai serangga sebagai cara menjaga keseimbangan alam. Karnaval serangga juga menyoroti pentingnya melestarikan kearifan lokal sebagai upaya merawat bumi. Dengan menghargai kehidupan serangga dalam menjaga keseimbangan ekosistem, orang Sunda diharapkan mampu mewariskan budaya tradisional Jawa Barat kepada generasi berikutnya di masa depan.

Mengenal Majelis Hukama Muslimin, Organisasi yang Punya Kantor Baru di Indonesia

Sejalan dengan tema besar Pekan Kebudayaan Nasional 2023 bertajuk “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan” yang menjadikan filosofi “lumbung” sebagai jiwa untuk pelaksanaannya, Pekan Kebudayaan Nasional tahun ini menekankan pentingnya gagasan bahwa keberlangsungan bisa terwujud jika budaya dan lingkungan alam bisa saling mendukung dan berjalan beriringan dalam harmoni. Orang Sunda sendiri yang dikenal sebagai masyarakat agraris sejak dahulu dimana kehidupannya sangat dekat dengan hutan, gunung, dan ladang, sangatlah tidak asing dengan istilah lumbung. Di Jawa Barat lumbung biasa disebut dengan “Leuit” yaitu sebuah ruangan khusus berbentuk rumah panggung yang berfungsi untuk menyimpan padi hasil panen warga. Leuit adalah bentuk ketahanan pangan dengan menyimpan cadangan padi sampai panen berikutnya. Leuit dibuat dari bahan bambu, ijuk, kayu dan daun kiray. Bentuknya seperti rumah panggung tanpa jendela dengan satu pintu terletak di bagian atas dekat atap. Dimensi bangunannya berukuran kecil di bagian bawah dan semakin besar ke bagian tengah dan atas (kemendikbud.co.id, 2017). Salah satu masyarakat yang masih melestarikan leuit adalah masyarakat adat Kampung Naga yang ada di Tasikmalaya.

Berbicara harmonisasi dengan bumi, orang Sunda percaya bahwa alam bukan untuk ditundukan, melainkan harus dihormati, dijaga, dan dipelihara. Sikap ini misalnya tercermin dalam perilaku orang Sunda di wilayah Baduy dimana mereka masih memelihara kepercayaan Leuweung Kolot (hutan tua/kramat) sebagai wilayah yang disakralkan dan dijaga kelestariannya. Hal yang sama juga hadir di hutan kramat Situ Panjalu dan Kampung Kuta Ciamis, Gunung Halimun Masyarakat Kasepuhan di Sukabumi Selatan, Kampung Naga Tasikmalaya dan hutan kramat Kampung Dukuh di Garut Selatan (Suparmini dkk, 2012).

Desa Wisata Jadi Daya Tarik Indonesia di IMT-GT Expo 2023

Serangga dalam Entomologi Budaya

Entomologi Budaya atau lebih jauh disebut dengan Etnoentomologi adalah ilmu tentang hubungan antara manusia dan serangga dengan lingkungannya. Melalui salah satu karya klasik Hans Zinsser berjudul Rats, Lice, and History (1935), ilmu yang berkembang sejak abad ke-19 ini menyebutkan serangga sebagai kekuatan penting dalam sejarah manusia (p2k.stekom.ac.id, 2023). Dalam pendekatan ilmu ini dipelajari secara luas bagaimana serangga memiliki peran penting dalam hidup manusia ketika mereka berinteraksi, berpikir, dan “mengolah” serangga dalam kehidupan sehari-hari (ipb.ac.id, 2017).

Misalnya, orang Sunda percaya bahwa gigitan capung di perut anak kecil bisa menyembuhkan kebiasaan anak mengompol di kasur. Orang Sunda juga kerap menjadikan serangga dalam metafora percakapan sehari-hari. Contohnya, istilah gaang (anjing tanah) katincak yang sering dijadikan metafora untuk menggambarkan keadaan diam atau sunyi. Dalam naskah kuno Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, manuskrip Sunda yang muncul di abad ke-16 atau sekitar tahun 1518 Masehi, serangga juga disebutkan dalam budaya orang Sunda di zaman itu yang masih mempraktikan ajaran Hinduisme dalam perilaku dan kehidupan sehari-harinya. Dalam transkripsi naskah yang disusun oleh pemimpin Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat tahun 1981, Drs. Atja dan rekannya Drs. Saleh Danasasmita, salah satu bab naskah misalnya menceritakan siloka tentang keindahan dan kenikmatan yang bisa diperoleh dalam hidup manusia. “Bila ingin tahu tentang harum dan manisnya bunga, tanyalah kumbang. Maksudnya: yang diibaratkan kumbang itu ialah orang dapat pergi mengembara, tahu perilaku orang lain; yang diibaratkan harum bunga ialah manusia yang sempurna tingkah lakunya, manis tutur katanya, selalu tampak tersenyum penuh kebahagiaan. Maksudnya jangan salah memilih tempat bertanya (Sanghyang Siksakanda Ng Karesian Bab XVI, 1981).“

KTT AIS Forum 2023 di Bali, Kepala Negara Mana Saja yang Dipastikan Hadir?

Lebih jauh naskah kuno tersebut juga menggambarkan pentingnya keseimbangan dan harmonisasi perilaku orang Sunda ketika berinteraksi dengan alam sebagaimana tertulis dalam Bab VII yang berbunyi: “Jika kita pergi ke hutan (jangan lupa) baju dan selimut. Bila tidak pergi bersama raja, perhatikan (petunjuk) Sanghyang Siksakandna Ng Karesian. Aturannya: jangan mengambil sayur-sayuran di ladang kecil kepunyaan orang lain, di kebun orang lain, karena tidak mungkin memintanya (lebih dahulu); tambang (tali) kerbai di hutan, kayu yang telah disusun, pohon buah yang telah ditandai ranting-ranting, tumpukan kayu bakar, cendawan yang telah diberi tutup (ditimbuni daun-daun), ciri ikatan pada sarang tawon, odeng, tabuhan (lebah), engang, ikan, parakan, segala yang disebut babayan, (diberi ciri dengan tali), jangan diambil.“

Bagi orang Jawa Barat Sunda tidak hanya sekedar nama suku, tapi Sunda adalah adalah identitas dan jati diri yang datang dari kearifan lokal warisan leluhur baik ketika berkomunikasi dengan Tuhan, berhubungan dengan sesama manusia, dan berinteraksi dengan alam. Karena itulah, budaya Sunda berpegang teguh pada nilai-nilai yang adaptif dan menghargai alam. Orang Sunda percaya dengan menjaga alam melalui tatanan budaya yang dilestarikan akan menciptakan keseimbangan yang saling menguntungkan. Mengutip salah satu tokoh adat Sunda kota Bandung, Ginanjar Akil, adat/budaya bukan hanya soal kearifan lokal, tapi juga menjadi instrumen dalam menjaga alam secara spiritual yang praktiknya bisa diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat (Hakiki Bani, 2022).***

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini